Dalam beberapa hari terakhir, media sosial ramai memperbincangkan dua judul film; Hanum & Rangga; Faith and The City dan A Man Called Ahok. Keduanya sama-sama rilis pada 8 November 2018. Berbagai komentar ditujukan untuk kedua film ini.
Masing-masing pengidola tak henti-hentinya memuji. Tak jarang, keduanya juga saling ejek. Di titik inilah patut menjadi perhatian bersama. Akankah bully-membully menjadi kebiasaan kita bersama. Jika awalnya bully sering terjadi di sekolah, kini bully juga terjadi di media sosial. Bahkan lebih mudah dan lebih sadis.
Membully adalah sikap, tindakan, ataupun perkataan yang membuat orang lain merasa tidak nyaman dan tertekan. Oleh beberapa pakar, mem-bully semakna dengan merundung dan merisak. Salah satu penyebabnya ialah adanya permusuhan dan perbedaan pendapat. Tujuannya ialah untuk mengancam atau merendahkan pihak lain. Praktiknya bisa melalui umpatan, hinaan, ataupun cacian.
Adalah wajar jika setiap kita menyampaikan pendapat dan penilaian, terlebih dengan kemudahan menyampaikannya melalui media sosial. Hanya saja, jika kebiasaan ini tidak kita waspadai, maka besar kemungkinan kita akan menganggap bully sebagai sesuatu yang wajar. Perbedaan pilihan politik, agama, ras dan golongan akan mudah dijadikan bahan saling mem-bully.
Sudah barang tentu kerugian akan kita tanggung bersama. Ikatan sosial antar sesama anak bangsa akan tersandera jika kita saling mudah merendahkan orang lain. Hal ini patut kita sayangkan. Sebagaimana kita juga tidak nyaman jika anak-anak atau adik-adik kita yang ada di sekolah terbiasa dengan saling bully.
Selain itu, secara sadar atau tidak, kebiasaan saling bully ini sebenarnya sudah banyak kita rasakan dampak negatifnya. Perbedaan pilihan politik lantas memudahkan kita untuk tidak bertegur sapa. Perbedaan ras dan golongan memudahkan kita untuk saling curiga. Perbedaan pemahaman agama mendorong kita untuk saling menyalahkan. Mulai dari saling membidahkan hingga saling mengafirkan. Jika hal ini kita teruskan, tentu tidak baik untuk masa depan berbangsa dan bernegara Indonesia.
Padahal, perbedaan politik, ras, dan agama telah diatur oleh undang-undang. Indonesia sedari awal didirikan untuk menjadi payung bagi keragaman. Negara Indonesia memiliki 17.000 pulau. Terdiri lebih dari 500 suku dan ras dengan keanekaragaman budaya masing-masing. Di dalamnya dianut 6 agama resmi dan beragam sistem kepercayaan lainnya.
Keragaman ini harus dikelola secara bijak. Perbedaan harus menjadi titik tolak saling mengenal dan bertukar gagasan. Bukan untuk saling merendahkan dan menyalahkan.
Larangan Bully
Pada prinsipnya, Islam melarang umatnya untuk saling menghina dan merendahkan. Baik antar sesama muslim ataupun dengan penganut agama lain. Di dalam surat al-An’am ayat 108 dijelaskan bahwa tidak diperbolehkan kaum mukmin mencaci sesembahan umat lain. Karena jika ini terjadi, maka akan timbul caci mencaci antar pemeluk agama. Masing-masing pasti tidak terima jika sesembahannya dilecehkan. Imbasnya adalah Allah ta’ala juga akan dilecehkan oleh pemeluk agama selain Islam.
Syaikh Wahbah al-Zuhaili (1932-2015) dalam kitab Tafsir al-Wasith menjelaskan bahwa larangan ini bersifat syar’i dan ‘aqli. Dalam artian, sangat masuk di akal bahwa jika satu pemeluk agama menghina agama lain, maka agama lain juga tidak tinggal diam. Mereka juga akan membalas dan berbuat serupa. Oleh karena itu, menghina sesembahan agama lain dilarang oleh Islam. Kita bisa tetap menyakini kepercayaan kita masing-masing, seraya tetap menghargai kepercayaan orang lain.
Demikian halnya, dalam hubungan sesama muslim. Saling mencaci ataupun merendahkan adalah perbuatan terlarang. Membully karena perbedaan amaliah ataupun beda kelompok pengajian adalah hal yang perlu kita sudahi. Begitu juga membully hingga saling membid’ahkan dan mengafirkan.
Dalam hadis sahih riwayat Imam al-Bukhari (194-256 H), dinyatakan bahwa Nabi Muhammad SAW menegaskan barang siapa mengafirkan saudaranya, maka salah satu di antara dua orang itu pasti telah kafir. Jika tuduhan seseorang tidak benar, maka ia sendirilah yang kafir.
Dalam penjabarannya, Imam Ibnu Hajar al-‘Asqalani (852 H) dalam kitab Fath al-Bari menyatakan bahwa hadis di atas oleh sebagian ulama dipahami sebagai bentuk larangan keras terhadap ujaran saling mengafirkan antar sesama muslim. Perbedaan tidak lantas harus saling mengafikan. Tetapi saling bermusyawarah dan saling menasihati.
Demikian halnya, Rasulullah SAW pernah bersabda bahwa derajat seseorang bisa dilihat dari kebiasaannya. Kerendahan diri seseorang adalah ketika ia mudah merendahkan derajat orang lain. Sebaliknya, seseorang akan dinilai tinggi derajatnya jika menghormati sesama, menghargai pendapat dan keberadaan orang lain.
Hal ini sebagaimana termaktub dalam kitab Sunan Ibni Majah karya Imam Ibnu Majah (207-275 H) yang bersumber dari sahabat Abi Hurairah.
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ قَالَ حَسْبَ امْرِيءٍ مِنَ الشَّرِ أَنْ يَحْقِرَ أَخَاهُ المُسْلِمَ (رَوَاهُ اِبْنُ مَاجَه)
Diriwayatkan dari Abi Hurairah ra, Rasulullah saw bersabda: “Cukuplah keburukan seseorang jika ia menghina saudaranya sesama muslim.” (H.R. Ibnu Majah)
Karena itu, penting kiranya kita sadari bersama bahwa mem-bully adalah kebiasaan yang mesti kita hindari. Perbedaan pilihan politik, agama, ras, dan suku jangan sampai menjadi penyebab untuk saling mengejek, saling merendahkan dan apalagi mencari kesalahan-kesalahan pihak lain.
Perbedaan adalah sebuah keniscayaan. Keragaman Indonesia harus menjadi pangkal untuk saling erat bergandeng tangan, bertukar ide dan gagasan untuk membangun kemajuan bangsa. Jika terdapat silang pendapat, maka harus diselesaikan dengan jalan yang bermartabat, di antaranya ialah dengan musyawarah mufakat.
Terkait dengan ramainya media sosial menyikapi dua film di atas, baik kiranya kita jadikan pelajaran. Saling mem-bully antara dua pihak di balik dua judul film tersebut adalah ibarat gunung es.
Dalam beberapa tahun terakhir, seiring dengan mudahnya akses teknologi dan jejaring internet, kita secara tak sadar hampir menganggap wajar bully-membully. Baik karena perbedaan pilihan politik ataupun praktik beragama. Akan tetapi bukan berarti terlambat untuk berbenah.
Merajut Silaturahmi
Di antara langkah sederhana untuk memulainya ialah mempererat tali silaturahmi, dimulai dengan contoh dari para elit hingga masyarakat pada umumnya.
Sebagai misal, pertemuan kedua calon presiden Indonesia pada momen Asian Games beberapa bulan yang lalu, betapa sangat menyejukkan, begitu juga pertemuan antara tokoh lintas agama, mereka saling berdialog dan bercengkrama. Keakraban di antara para tokoh tersebut tentunya akan menjadi contoh yang baik bagi masyarakat, terlebih bagi generasi muda penerus bangsa.
Silaturahmi adalah salah satu ajaran penting dalam Islam. Bahkan dalam banyak riwayat hadis, Rasulullah SAW menjanjikan kelapangan rezeki dan panjang usia bagi siapa saja yang suka bersilaturahmi.
Barang siapa yang ingin dilapangkan rezeki dan dipanjangkan usianya, maka perbanyaklah silaturahmi. Rezeki di sini tidak hanya bersifat materi, akan tetapi juga non-materi, semisal bertambahnya persaudaraan dan pengetahuan.
Selain itu, silaturahmi juga dapat meredakan salah sangka. Meredam prasangka buruk dan saling curiga. Karena itu, sudah waktunya, segenap anak bangsa memperbanyak momen-momen silaturahmi, mengurangi rasa curiga dan prasangka.
Jika saling curiga terus dibina, tentu persatuan akan melemah. Jika persatuan melemah, maka masa depan bangsa juga akan terancam. Maka dari itu, mari kita berhenti untuk saling mem-bully, sebaliknya, mari kita memperbanyak silaturahmi.
Wallahu A’lam.