Cerpen: Salahkah aku jika mencintaimu?

Cerpen: Salahkah aku jika mencintaimu?

Cerpen: Salahkah aku jika mencintaimu?

Pagi-pagi sekali ia berdandan. Tidak seperti beberapa waktu belakangan. Ia sengaja menyolek dirinya seindah mungkin. Ia semprotkan parfum ke tubuhnya. Sesekali ia melihat cermin, memastikan agar jilbab yang dikenakan tidak mencong ke sana kemari.

Di luar rumah cuaca tengah mendung. Tetapi suasana hati perempuan itu sedang berbunga-bunga. Sudah dua bulan cahaya redup dari wajahnya. Matanya yang sayu mulai kembali terlihat segar.

“Kamu jadi ikut, Nduk?”

Inggih, Umi.”

Dua perempuan itu berjalan menuju mobil yang sudah dinyalakan mesinnya. Seorang bersarung membukakan pintu. Sembari mempersilakan kedua perempuan itu masuk, kepala lelaki itu menunduk. Lelaki itu segera menutup pintu dan menuju kemudi.

“Kang, nanti mampir ke toko Bu Fatma dulu, ya. Saya mau ambil pesanan.”

Inggih, Umi.”

Mobil pun berjalan melewati ruas pedesaan. Orang-orang yang mengenal pelat nomor kendaraan itu langsung menunduk. Seorang pedagang cilok yang tengah melayani pembeli belia tak luput dari kebiasaan orang setempat ketika melihat mobil berwarna silver itu lewat. Beberapa yang luput mengamati kemudian dibisiki orang di sebelahnya.

“Eh, Bu Nyai lewat.”

“Sama putrinya yang janda muda itu?”

“Hush!”

“Lha gimana?”

“Ya ndak usah bawa-bawa itu!”

***

Seantero kampung sempat dibuat geger dengan berita perceraian puteri kiai paling disegani di kampung tersebut. Ning Ulya, yang baru menikah tujuh bulan, tiba-tiba menggugat cerai suaminya di pengadilan agama. Semua terhenyak dengan kabar itu. Apalagi Ning Ulya adalah anak satu-satunya Kiai Basir yang tersohor.

Desas-desus pun muncul. Ada yang menganggap Ning Ulya tidak nurut sama suami sehingga suami enggak kumpul dengannya. Karena tidak tahan didiamkan, Ning Ulya menceraikan suaminya. Ada pula yang mengatakan bahwa mantan suaminyalah yang menceraikan Ning Ulya terlebih dahulu. Talak tiga lagi. Karena gengsi sebagai anak kiai besar yang sekolah sampai pascasarjana, Ning Ulya kemudian duluan lapor ke pengadilan agama. Nyatanya, mantan suami Ning Ulya sudah menikah tak lama setelah dicerai.

“Begitulah kalau perempuan terlalu diberi keleluasaan untuk sekolah tinggi. Jadinya melawan terus sama suami,” ucap Pak Wibowo, pria berkacamata sembari merokok. Ia kemudian bercerita pernah mendengar pertengkaran antara Ning Ulya dan Gus Azmi di rumahnya. “Saya mah amit-amit punya menantu seperti itu”.

Versi yang lebih kurang ajar menganggap Ning Ulya nafsunya sangat besar. Suaminya yang terlihat seperti orang baik-baik dianggap tidak mampu menandingi.

“Kan nafsu perempuan delapan banding satu. Apalagi Ning Ulya itu punya kumis tipis,” ujar Pak Seno, seorang penjual kerupuk keliling ketika rumpian di warung makan menjurus ke perceraian Ning Ulya.

“Wah, enggak lah. Bagaimana pun lelaki kan yang paling tahan kalau begituan ha ha ha,” kata Misno, pengunjung warung makan sembari menyeruput teh panas.

“Hush. Ndak boleh begitu. Kualat nanti sampeyan-sampeyan,” tegur Bu Marni, pemilik warung makan yang terletak di tikungan, mencegah pengunjung warungnya ngelantur ke mana-mana.

***

Pemuda itu keluar dari kamar dan menyapa beberapa tamu dengan senyuman. Tampak sekali guratan lelah terpancar di wajahnya. Ia baru saja sampai beberapa jam yang lalu. Delay pesawat saat transit membuatnya harus sampai lebih lambat beberapa jam. Hari ini keluarganya mengadakan syukuran kecil-kecilan karena ia baru menyelesaikan kuliah di Timur Tengah.

“Monggo. Monggo,” ucapnya mempersilakan para tamu untuk menikmati hidangan ala kadarnya.

“Nak Fuad apakah sudah punya gambaran mau bagaimana setelah di Indonesia?” tanya salah seorang tamu. Di kampung tersebut memang masih sangat jarang pemudanya bersekolah tinggi, apalagi di luar negeri. Fuad adalah satu-satunya putra kampung yang sudah mendapat titel sarjana dari Timur Tengah.

“Sementara masih di rumah saja dulu, Pak. Mau bantu-bantu bapak.”

“Kamu mau bertani? Wah, hebat sekali. Di saat banyak pemuda menjual sawah keluarga untuk beli mobil, kamu yang lulusan luar negeri masih mau bertani,” sahut tamu lainnya.

“Ngomong-ngomong nih, Nak Fuad apakah sudah punya calon?” tanya salah seorang ibu paruh baya yang langsung disambut tawa. Tampak semua mata tertuju pada sosok Fuad. Sudah menjadi risiko pemuda seperempat abad sepertinya mendapat pertanyaan demikian. Fuad hanya menjawab dengan senyuman.

“Wah, pasti belum, kan. Bagaimana kalau saya kenalkan sama keponakan saya?” ucap ibu yang lain.

“Anak saya saja. Sekarang lagi hafalan Quran. Bentar lagi lulus. Cocok jadi pendamping Nak Fuad dunia akhirat.”

“Jangan. Masih terlalu muda. Mending sama sepupu saya. Alumni kampus Yogyakarta.”

“Jangan mau, cah bagus. Anak lulusan kampus biasanya suka ngelawan. Tetangga saya ada yang salehah, pinter ngaji, cantik, dan tidak waninan kayak Ning Ulya. Cantik kok menceraikan suami.”

“Hush!” Hampir seluruh isi ruangan meminta agar seorang ibu berjilbab merah itu untuk menahan ucapannya. Tampak ibu tadi menaruh telapak tangan di mulutnya, mengisyaratkan dirinya keceplosan.

Raut wajah Fuad tiba-tiba berubah. Sudah lama dia tidak mendengar nama itu. Kini setelah sekian tahun hilang, nama itu kembali didengarnya. Hah, bercerai? Ia bertanya-tanya.

Assalamualaikum,” ucap seseorang dari luar. Seluruh warga yang ada di dalam ruang tamu menunduk hormat sembari menjawab salam. Beberapa warga memberi jalan agar Bu Nyai dan putrinya bisa leluasa menuju sosok Fuad. Bu Nyai Basir mengucapkan selamat kepada Fuad dan kemudian menuju ke sosok ibu Fuad yang sedari tadi berada di dapur. Mereka saling berpelukan hangat. Beberapa kali Bu Nyai mengucapkan selamat dan mendoakan agar anaknya bisa menjadi tokoh agama yang baik di kampungnya.

“Sembari mengucapkan salam dari suami saya yang sedang umroh. Semoga Nak Fuad mau membantu pesantren kami yang sedang membutuhkan guru bahasa Arab.”

Percakapan antar dua orang ibu itu tidak didengar oleh Ulya yang pikirannya entah ke mana saat melihat sosok Fuad. Fuad pun demikian. Ada letupan amarah sekaligus kerinduan yang tiba-tiba membuatnya teringat satu hari sebelum ia pergi ke Timur Tengah untuk menuntut ilmu. Keduanya tidak berucap satu pun patah kata. Diam. Hening. Sampai Bu Nyai mengajak putrinya itu kembali ke rumah.

Dalam perjalanan pulang, Ning Ulya melamun sampai Bu Nyai beberapa kali menegur.

“Kamu kenapa tho, Nduk?”

“Ndak apa-apa, Umi.”

“Kok terlihat murung?”

“Mungkin karena hampir dua bulan saya dikurung di rumah.”

“Kamu bukan dikurung. Tapi kamu menjalani masa ‘iddah”.

“Ya, tapi kan enggak boleh ke mana-mana, Umi.”

“Namanya juga kita perempuan. Punya aturan syariat yang harus dipatuhi.”

“Tapi mengapa bekas suami saya langsung bisa menikah setelah dua minggu bercerai?”

“Lha memang tidak ada larangan.”

“Tapi kenapa perempuan ketatnya seperti ini, Umi?”

“Hush. Sudahlah. Ndak perlu tanya-tanya hal yang membuat kita jadi su’dzon sama Gusti Allah.”

“Tapi, Umi…”

“Sudahlah. Istighfar.”

***

Malam ini menjadi malam yang berat bagi Ning Ulya. Ia masih sangat ingat kali terakhir dirinya bertemu dengan Fuad sebelum betolak ke Timur Tengah. Mereka bertemu di koperasi pesantren dan hanya saling pandang. Tak lama kemudian ia memberi Fuad sepucuk surat yang boleh dibuka ketika sudah sampai di negeri tempatnya menimba ilmu.

Di dalam surat itu, ia meminta agar Fuad selalu diberi kesehatan. Dijaga dari segala mara bahaya. Juga dijaga pandangannya agar satu hari mereka bisa bertemu kembali dengan niatan yang suci. Betapa tersanjungnya Fuad, seorang santri biasa, mendapat surat istimewa dari anak kiainya.

Fuad benar-benar menjaga harapan itu. Berkali-kali ia dikenalkan, berkali-kali pula ia mengabaikan. Ia bahkan dikenal sebagai orang yang dingin terhadap teman perempuan. Sepanjang masa belajarnya itu, Fuad sama sekali tidak membina hubungan dengan siapapun. Ia merasa sudah memiliki tambatan hati yang harus dijemput sesegera mungkin. Fuad pun menjadi seorang pelajar yang tekun dan lulus lebih cepat dari teman-teman yang lain.

Sementara Ning Ulya memutuskan untuk kuliah di kota. Ia masuk ke universitas Islam terkemuka dan aktif di berbagai komunitas. Hingga satu hari, setelah dirinya lulus, Kiai Basir menjodohkannya dengan putra sahabatnya dari Jawa Timur. Ning Ulya berkali-kali menolak karena alasan tidak mengenal si lelaki, tetapi abahnya kekeh. Sang abah menyebut bahwa Gus Azmi sudah memenuhi prasyarat yang dibutuhkan. Seorang santri yang sejak kecil mengkaji kitab. Sangat cocok untuk menjadi penerus pesantrennya.

Di lubuk hati paling dalam, Ning Ulya mengingat Fuad. Namun ia tidak berani mengutarakan kepada abahnya. Ia memang sangat tertutup perihal pilihan hati. Karena berbagai tekanan, Ning Ulya menyerah dan bersedia menikahi Gus Azmi.

Namun kehidupan rumah tangganya tidak berjalan mulus. Perbedaan tajam pola pikir dan pendapat-pendapat keagamaan membuat keduanya sering bertengkar. Hingga di satu titik, Ning Ulya menggugat cerai suaminya, sebuah sikap yang ditentang oleh keluarga besar mereka.

“Saya rela disebut apapun demi jauh-jauh dari lelaki kurang ajar ini,” ujar Ning Ulya satu waktu ketika dimediasi.

Astaghfirullah. Kasar sekali kamu. Ndak sopan sama suami kayak gitu!”

“Dia yang kurang ajar. Saya mau diperkosa!”

Istighfar, nduk. Istighfar. Mana ada suami memperkosa istrinya? Lha wong kalian sudah nikah. Sudah halal.”

“Saya haramkan tubuhku dikuasai lelaki tidak tahu adab ini!!”

Karena sikap Ning Ulya yang menjadi-jadi, keluarga akhirnya menyerah.

“Perceraian itu diperbolehkan walau sangat dibenci oleh Allah,” ucap Kiai Basir terbata-bata di hadapan anak dan menantu serta beberapa keluarga inti. Kedua keluarga bersepakat untuk tidak membuka apapun ke dunia luar perihal perceraian ini. Biar aib ini menjadi aib keluarga yang bisa diambil hikmahnya.

Ning Ulya kemudian ingat pertemuannya dengan Fuad siang tadi. Ia melihat ada kekecewaan yang melekat di bola mata pemuda itu. Ia merasa bersalah. Ia tak kuasa menahan air mata yang sudah siap untuk membanjiri munajatnya.

Sementara pemuda bernama Fuad tak kalah sengsaranya. Bagaimana ia bisa tidak tahu ada peristiwa besar yang menghancurkan hatinya? Mengapa teman-temannya tidak pernah bercerita jika Ning Ulya menikah dengan seseorang? Entahlah. Semakin ia meratap, semakin sakit rasanya hati ini. Sekian lama ia menjaga diri, tetapi di belakang begitu mudah harapannya melayang. ‘Tapi sekarang dia sudah sendiri!’ teriak batinnya. ‘Tapi dia berkhianat!’ ujar sisi lainnya. Fuad pun berusaha memejamkan mata. Berharap hari ini tidak pernah terjadi. Ia ingin kembali pada hari di mana ia pertama kali bertemu dengan Ning Ulya. Ia ingin menghapus episode itu agar tidak pernah mengalami rasa sakit yang luar biasa.

***

Tiga hari setelah acara syukuran,  Fuad beserta ibu dan bapaknya sowan ke pesantren. Kiai Basir baru saja tiba dari tanah suci. Seperti pada umumnya warga, mereka meminta doa barokah dan sedikit air zam-zam.

“Bagaimana kabarnya, Nak Fuad?”

Alhamdulillah, Pak Kiai.”

“Tambah gagah walau pun semakin gelap sekarang he he he,” ujar Kiai Basir.

Alhamdulillah, Pak Kiai. Berkat restu panjenengan.”

Kiai Basir bertanya perihal kehidupan di Timur Tengah. Ia kemudian bercerita tentang kehidupan di Makkah pada saat ini yang disebut berubah drastis dari saat pertama ia pergi ke sana di tahun 1990-an.

Di balik ruang tamu, Ning Ulya mendengar percakapan itu dengan antusias. Hingga pada satu waktu dadanya berdegup kencang ketika abahnya bertanya perihal jodoh kepada Fuad.

“Kalau kamu belum punya calon, nanti saya carikan.” Kalimat ini membuat Ning Ulya bergetar. Abahnya akan menjodohkan Fuad dengannya? Ia lihat wajahnya dari pantulan kaca lemari di ruang keluarga. Ia membenahi jilbabnya. Ia menghitung hari. Memastikan masa ‘iddah-nya selesai. Ia sudah siap dipinang. Apalagi oleh orang yang dulu pernah ia tinggalkan. Ah, bukan meninggalkan. Abahnya yang memaksa! Tapi jika jujur, mungkin abah akan mempertimbangkan hal yang berbeda! Ah, jangan mengandai-andai!

Jiwanya bergejolak. Bergulat. Menanti-nanti namanya disebut kembali.

Namun ia bagai disambar petir ketika abahnya menyebut nama Farah, sepupunya, untuk diperistri Fuad. Ia mencuri-curi pandangan. Ingin memastikan Fuad menolaknya. Ia melihat bola mata Fuad. Berharap matanya menunjukkan kata tidak. Ia galau. Ia tidak tenang. Abah, mengapa kau berikan lelaki itu pada sepupuku? Bukankah putrimu butuh pendamping yang dicintai? Yang tidak kurang ajar? Yang punya adab?

Ia melihat Fuad menunduk. Ya Allah, beradab sekali. Ia bandingkan dengan mantan suaminya yang tampak beringas. Ia teringat di malam pertama ketika suaminya memintanya untuk menanggalkan pakaiannya. Ia tidak mau. Lelah karena seharian sudah menemui banyak tamu undangan. Suaminya memaksa. Ia tolak. Satu tamparan mendarat di pipinya. Tamparan dari lelaki yang baru dijumpainya dua kali seumur hidup.

“Abahku tidak pernah menamparku!”

“Makanya, sama suami nurut!”

“Aku tidak mau. Aku capek!”

“Kamu harus nurut sama suamimu. Kalau tidak nanti Allah murka. Ada malaikat yang siap menghukummu jika kamu tidak nurut.”

“Aku lebih baik dihukum malaikat!”

“Istri iblis!”

“Hey, jaga mulut kamu!”

Ia ingin keluar dari kamar yang dipenuhi bunga namun terasa busuk baginya. Ketika suaminya mendekat, ia serasa didatangi seorang monster yang akan menerkam. Ketika ia berusaha berlari, suaminya berhasil menyergap dan memaksakan hubungan yang tidak dikehendaki. Ia merasakan sakit yang luar biasa. Batinnya merintih mendapat perlakuan sedemikian biadabnya.

Di pagi hari ia mengadu pada ibundanya. Ibunya meminta agar dia sabar dan berusaha menerima bahwa lelaki itu jodohnya. Namun Ning Ulya menolak. Ia ingin bercerai.

Astaghfirullah. Baru dua hari kamu menikah. Apa kata banyak orang jika kamu minta cerai? Sudah. Jalani saja. Umimu juga dulu tidak suka sama abahmu. Tetapi nyatanya kamu lahir dari buah cinta kami.”

“Umi, saya disakiti. Saya mendapat perlakuan seperti binatang yang mau disembelih.”

“Sabar, anakku. Sabar. Kamu pasti bisa melewati ini semua.”

Ning Ulya hanya bertahan beberapa hari saja. Ia tak mau lagi tidur satu kamar dengan suaminya. Hingga pada akhirnya mereka berpisah.

Ning Ulya kembali melihat Fuad yang terlihat santun di depan abahnya. Namun ia marah. Kenapa abahnya begitu tega menjodohkan Fuad dengan sepupunya? Apakah sakit hati abahnya belum terobati? Apakah abahnya ingin mengirimkan dirinya kepada neraka kedua? Bah, Fuad adalah cinta sejatiku! Raungnya dalam hati.

Badannya bergetar menahan amarah sekaligus keinginan untuk datang ke ruang tamu dan melamar Fuad. Bahkan meminta dinikahi hari itu juga. Ia tidak ingin kehilangan untuk kedua kalinya. Pikiran liarnya merasuk. Ia menoleh kanan kiri. Mencari sosok uminya. Ia ingin meminta petunjuk. Ia hanya percaya uminya. Tapi di mana umi?

Ketika uminya tiba-tiba keluar dari kamar untuk menuju ruang tamu, Ning Ulya mencegah. Ia mengutarakan maksud dan rencananya. Sebuah rencana yang membuat uminya kaget. Melamar? Kegilaan macam apa lagi yang ingin diciptakan putri tercintanya?

“Tapi aku memang suka sama dia, Umi.”

“Sejak kapan?”

“Sebelum ia pergi ke Timur Tengah!”

“Mengapa tidak kamu utarakan sejak lama?”

“Apakah aku pernah diberi kesempatan untuk mengutarakan? Apakah aku punya wewenang untuk menolak perjodohan laknat itu? Aku ini perempuan, Umi. Perempuan!”

Astaghfirullah. Istighfar, Nduk. Istighfar.” Uminya menangis melihat bagaimana anak semata wayangnya itu seperti orang linglung. “Eh eh. Kamu mau ke mana?”

Uminya berusaha mengejar anak semata wayangnya yang dengan langkah tegap memasuki ruang tamu. Namun ia terlambat. Ning Ulya sudah berada di depan abahnya. Ia bersimpuh. Ia tatap wajah abahnya. Memelas. Ia pegang kedua tangan abahnya. Orang-orang yang berada di ruangan itu hanya bisa mengamati tanpa berani bersuara. Fuad pun terkejut dengan kehadiran Ning Ulya secara tiba-tiba dengan berurai air mata.

Ruang tamu itu menjadi semakin bisu ketika sebuah kalimat meluncur dari bibir Ning Ulya. “Bah, nikahkan aku dengan Kang Fuad. Sekarang!”

Selesai.

Yogyakarta, November 2019.