
Dalam pandangan almarhum Prof. Dr. KH. Ali Mustafa Yaqub, Imam Besar Masjid Istiqlal sebelum Prof. Nasaruddin Umar, bahwa yang dimaksud dengan “haji akbar” adalah haji yang memakai wukuf di Arafah, terlepas apakah wukufnya bertepatan dengan hari Jum’at atau tidak, para ulama tidak mempermasalahkan hal itu. Tidak ada pendapat yang kontroversial di kalangan mereka tentang hal itu. Kecuali barangkali pendapat dari orang-orang awam, yang sayang sekali, justru mendominasi masyarakat muslim di negara kita.
Pernyataan ini pertama kali beliau lontarkan dalam artikel berjudul “Konotasi Haji Akbar”, yang dimuat di Harian Umum Pelita tahun 1994 dan kemudian dimasukkan ke dalam buku Islam Masa Kini (Pustaka Firdaus, 2008). Meski telah berlalu lebih dari dua dekade, topik yang diangkat oleh KH. Ali Mustafa Yaqub dalam artikel ini tetap relevan, bahkan terasa semakin penting untuk diangkat kembali ke ruang publik saat ini. Apalagi, belakangan ini kembali beredar anggapan yang menyatakan bahwa ibadah haji tahun ini termasuk dalam kategori Haji Akbar, semata karena wukuf di Arafah bertepatan dengan hari Jumat.
Berikut tulisan lengkap dari KH. Ali Mustafa Yaqub, disalin ulang dari buku Islam Masa Kini.
*******
Konotasi Haji Akbar
Sebagian umat Islam berpendapat bahwa ibadah haji yang wukufnya jatuh pada hari Jumat disebut haji akbar. Menurut istilah kebahasaan haji akbar berati haji yang lebih besar dibanding haji-haji yang biasa yang wukufnya tidak jatuh pada hari Jum’at. Tetapi benarkah ibadah haji yang wukufnya jatuh pada hari Jum’at itu disebut haji akbar
Haji Wida’ (perpisahan)
Bahwa istilah haji akbar itu ada, al-Qur’an memang menyebutnya. Dalam surat al-Taubah ayat 3, disebutkan: “Dan inilah suatu pemakluman dari Allah dan Rasul-Nya kepada manusia pada hari haji Akbar bahwa Allah dan Rasul-Nya berlepas dari orang-orang musyrikin.”
Demikian pula Nabi Muhammad SAW menyebut istilah ini dalam suatu hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ibnu Jabir, dari Abi Barkah, ketika masuk hari kesepuluh bulan Dzulhijjah tahun 10 H. Nabi Muhammad SAW mempertanyakan kepada para sahabat, hari apakah ini? Bukankah hari ini adalah hari haji akbar?
Menurut para ahli tafsir, yang dimaksud dengan “haji akbar” dalam ayat dan hadis tersebut adalah haji yang dikerjakan Rasulullah SAW dan para sahabat beliau, yang sering disebut dengan haji wida (haji perpisahan), karena 81 hari setelah wukuf beliau wafat. Haji wida’ itu wukufnya jatuh pada hari Jumat. Dari sini kemudian timbul anggapan apabila ibadah haji itu wukufnya jatuh pada hari Jumat, maka haji itu disebut “haji akbar”.
Haji Orang Miskin
Ada juga beberapa hadis nabawi yang diduga dipergunakan oleh sementara orang untuk membenarkan pendapat bahwa ibadah haji yang wukufnya jatuh pada hari Jumat itu disebut haji akbar. Misalnya hadis, “Hari Jumat itu adalah haji bagi orang-orang faqir.” Karenanya, apabila ibadah haji jatuh wukufnya pada hari Jumat, maka itu berati semua orang-baik yang kaya dan yang miskin- melakukan ibadah haji. Itulah “keakraban” yang dimaksud dalam ayat al-Qur’an dan hadis Nabi SAW di muka tadi. Dan inilah alur pikiran pendapat tersebut.
Ditilik dari kualitasnya, kedua hadis tadi sebenarnya dhaif [lemah], dan sekiranya hadis itu shahih, tentu yang dimkasud dengan “haji” dalam hadis itu adalah “pertemuan”, tak ubahnya Arafah merupakan tempat pertemuan bagi orang-orang yang mampu pergi ke sana. Masalahnya, orang-orang miskin itu tidak diwajibkan haji, karenananya juga tidak perlu ada ibadah tertentu sebagai pengganti haji bagi mereka.
Dua macam haji
Nabi Muhammad saw tidak pernah menafsirkan bahwa yang dimaksud dengan “haji akbar” yang wakufnya jatuh pada hari Jumat. Begitu pula para ahli tafsir kenamaan, baik dahulu maupun sekarang, tidak ada yang melakukan hal itu. Apabila demikian halnya, maka apa yang dimaksud dengan “haji akbar”. Seperti yang disebutkan oleh al-Qur’an maupun hadis di muka tadi?
Haji adalah suatu rangkaian ibadah tertentu yang dikerjakan di tanah suci Mekah dan sekitarnya. Apabila ibadah haji itu hanya terdiri dari tawaf (mengelilingi Ka’bah) dan Sa’i (berjalan bolak-balik antara bukit Shafa dan Marwa), maka ia disebut “haji asghar” (haji kecil), sementara apabila ibadah itu terdiri dari tawaf dan sa’i, ditambah wukuf di Arafah, bermalam di Muzdalifah, melempar jamrah [bukan jumrah], dan bermalam di Mina, maka ia disebut haji akbar (haji besar). Haji asghar dapat dilakukan setiap saat, sementara haji akbar hanya dapat dilakukan pada saat-saat tertentu (bulan Syawal, Dzulqaidah, dan Dzulhijjah), bahkan beberapa amalan tertentu hanya dapat dilakukan pada bulan Dzulhijjah saja.
Dengan demikian, maka ibadah haji yang dikerjakan oleh umat Islam sedunia dengan melakukan wukuf di Arafah itu sebetulnya adalah “haji akbar”. Jadi haji akbar akan selalu ada setiap tahun, terlepas apakah wukufnya jatuh pada hari Jum’at atau tidak.
Apabila demikian halnya maka kenapa al-Qur’an dan Nabi Muhammad sendiri menyebutkan “haji akbar”? bukankah hal itu menunjukkan adanya kekhususan bagi “haji akbar” itu? Jawabannya ialah, karena pada waktu itu, saat turunnya ayat itu, orang-orang terbiasa menyebutkan “haji asghar” bagi rangkaian ibadah yang terdiri dari hanya thawaf dan sa’I, yang kemudian lazim dikenal dengan ibadah umrah. Jadi untuk membedakan antara haji yang memakai wukuf di Arafah dengan haji yang tidak memakai wukuf, maka untuk jenis pertama disebut “haji akbar”, sementara jenis yang kedua disebut “haji ashgar”.
Masalah kontroversial
Bahwa yang dimaksud dengan “haji akbar” adalah haji yang memakai wukuf di Arafah, terlepas apakah wukufnya bertepatan dengan hari Jum’at atau tidak, para ulama tidak mempermasalahkan hal itu. Tidak ada pendapat yang kontroversial di kalangan mereka tentang hal itu. Kecuali barangkali pendapat dari orang-orang awam, yang sayang sekali, justru mendominasi masyarakat muslim di negara kita.
Namun para ulama berbeda pendapat tentang hari haji akbar seperti yang disebut dalam al-Qur’an dan hadis Nabi di muka. Jadi para ulama tidak berbeda pendapat tentang konotasi haji akbar melainkan mereke berbeda pendapat tentang konotasi hari haji akbar.
Ahli tafsir kondang Imam Ibnu Katsir menuturkan bahwa sejumlah sahabat terkemuka seperti Umar bin Khattab berpendapat bahwa hari haji akbar (yaum al-hajj al-akhbar) itu adalah hari Arafah, yaitu tanggal 9 Dzulhijjah. Sementara sahabat yang lain seperti Ali bin Abi Thalid berpendapat bahwa yang dimaksud hari akbar itu adalah hari nahr (yaum al-nahr), yaitu pada tanggal 10 Dzulhijjah.
Para ahli tafsir terkemuka seperti Imam Ibnu Jarir al-Thabari (w. 310 H) dan Imam Ibnu Katsir (w. 774 H) yang disebut itu tampaknya cenderung untuk menarjihkan (mengunggulkan) pendapat Ali bin Abi Thalib. Bahkan, Ibnu Katsir memberikan ulasan, bahwa hari itu merupakan hari yang paling mulia dan paling besar dibanding dengan hari-hari haji yang lain.
Sementara Nabi Muhammad SAW sendiri, seperti disebut di depan, menambahkan hari nahr itu sebagai hari haji akbar. Akan halnya pendapat Sayyidina Umar bin Khattab bahwa haji akbar itu adalah hari Arafah, maka tampaknya juga beralasan. Karena puncak dari amalan haji adalah di Arafah, seperti disabdakan Nabi SAW al-Hajju Arafah, sehingga pantas apabila hari Arafah itu disebut sebagai harinya haji.
Sementara itu, ada orang yang berpendapat bahwa kata akbar dalam surat al-Taubah ayat 3 dan hadis Nabi itu merupakan kata sifat untuk kata yaum (hari). Sehingga maksud yaum al-hajj al-akbar dalam ayat dan hadis itu adalah “hari” yang besar pada waktu “haji”, jadi bukan haji yang akbar, melainkan harinya.
Pendapat itu tidak tepat, sebab seandainya kata al-akbar itu menjadi sifat bagi kata yaum, maka ayat itu akan berbunyi “yaum al-hajj al-akbara” dengan “ra” dibaca “fathah”. Sementara yang tertulis dalam mushaf al-Qur’an adalah “yaum al-hajj al-akhbari” dengan “ra” dibaca “kasrah”.
Dominasi pemikiran Awam
Apabila masyarakat awam masih berpendapat bahwa yang dimaksud dengan haji akbar itu adalah haji yang wukufnya jatuh pada hari Jum’at, maka hal itu bisa berati bahwa pendapat masyarakat awam masih banyak mendominasi peristilahan keagamaan di negeri ini. Dan ini adalah salah satu fenomena adanya hal tersebut.
Sementara, masih berkaitan dengan haji, banyak juga istilah-istilah yang sebenarnya sudah “salah kaprah”. Seperti melontar “jumrah” dengan “u”, padahal yang benar adalah “jamrah” dengan “A”. Meskipun demikian, sekali lagi, kesalahan semacam itu justru sangat mendominasi, bahkan papan-papan petunjuk tempat melontar jamrah di Mina sana juga terpaksa “bertekuk lutut” dengan kesalahan awam ini. Sehingga dalam papan-papan itu tidak ditulis “jamrah” melainkan “jumrah”. Suatu bukti bahwa pemikiran aam itu sangat mendominasi, sampai ke kalangan resmi.
Sekilas, hal-hal itu tampaknya sangat sepele. Apalah artinya, antara jamrah dengan jumrah; yang penting melontarkannya itu. Apalah artinya mempermasalahkan istilah haji akbar, yang penting hajinya itu. Pendapat itu sah-sah saja. Tidak ada yang melarang. Tetapi masalahnya tidak sesederhana itu. Kesalahan atau kekeliruan itu sering timbul dari kurangnya ketelitian dalam memahami ajaran agama. Dan apabila itu dibiarkan berlanjut, maka tidak mustahil akan muncul kekeliruan-kekeliruan lain dalam memahami agama yang boleh jadi menyangkut masalah-masalah prinsip. Dan inilah yang tidak boleh terjadi.