Hikayat ini pasti ada di suatu kitab, entah yang mana. Dikisahkan oleh Simbah Kyai ‘Ali Ma’shum pada suatu pengajianRiyaadlush Sholihin beberapa puluh tahun yang lalu.
Seorang waliyyullah yang bertajarrud(menjauhkan diri dari kesibukan dunia) membekali diri hanya dengan seekor sapi perah untuk penghidupannya sehari-hari. Dengan susu sapi itu saja ia menutup hajat lapar dan hausnya. Maka ia senantiasa menuntunnya ke mana-mana.
Suatu ketika, ia salat di sebuah masjid. Sapi ditambatkannya dekat-dekat situ. Dan bertawakkal. Tapi saat keluar masjid, ia dapati Gusti Allah menyuguhkan cobaan baginya: sapinya hilang!
Sang Wali pun berikhtiar mencari kesana-kemari, hingga akhirnya ia temui seorang asing menuntun si sapi.
“Maaf, Kisanak, dimana Anda menemukan sapi ini?”
Orang asing merengut garang,
“Nemu gimana? Ini sapiku sendiri!”
“Sudah bertahun-tahun saya hidup bersama hewan ini. Saya hapal betul ciri-cirinya. Ini sapi saya. Tadi kuikat di pohon dekat masjid sana”.
“Jangan sembarangan ngomong! Ada berapa juta sapi di dunia ini? Manusia saja banyak yang mirip. Apa sapi nggak boleh mirip?”
Keduanya tak mau menyerah, lantas sepakat membawa persoalan ke pengadilan Kadi.
Tuan Kadi merasa prihatin melihat keadaan Sang Wali yang sudah tua dan lemah badannya. Apalagi mendengar pengakuan bahwa sapi itulah satu-satunya bekal hidupnya.
“Apakah Bapak membawa bukti atau saksi bagi hak Bapak atas sapi ini?” Tuan Kadi bertanya sebagaimana seharusnya.
“Tidak, Yang Mulia. Tapi saya hapal betul. Tak ada keraguan sama sekali. Ini sapi punya saya!”
Tuan Kadi makin prihatin, tapi harus melanjutkan pemeriksaannya.
“Dan kau, Orang Asing”, ia berpindah, “sungguhkah ini sapimu sendiri?”
“Benar, Yang Mulia!” orang asing mantap sekali.
“Engkau sanggup bersumpah?”
“Siap, Yang Mulia! Demi Allah, ini sapi saya sendiri!”
Tuan Kadi menghela napas. Walaupun berat hati, ia harus menjalankan ketentuan hukum. Bahwa penggugat harus menyediakan bukti atau saksi, sedangkan bila bukti atau saksi itu tiada, pengingkaran tergugat sudah cukup kuat dengan sumpah saja. “Al bayyinatu ‘alal mudda’iy wal yamiinu liman ankara”.
“Aku tak bisa mengabulkan gugatanmu, Pak Tua”, katanya.
Sang Wali merasa nelangsa. Didekatinya sapi dan dielusnya dengan kasih-sayang yang kelihatan sekali.
“Pi… kamu ini sapiku, ‘kan?”, Sang Wali berbisik ke telinganya.
Sapi melirik majikannya dan mengangguk.
“Maukah kau katakan itu pada Tuan Kadi?”
Dengan izin Allah atas karomah Sang Wali, si sapi angkat bicara.
“Maaf, Yang Mulia! Saya ini memang milik Syaikh ini!”
Tuan Kadi kaget alang-kepalang.
“Wah! Ini bukan orang sembarangan!” batinnya. Diam-diam gemetar lututnya. Sejurus tak tahu harus berkata apa.
Setelah sejenak tertegun, tampak kepalanya menggeleng lemah,
“Tidak bisa…. Aku tetap harus menolak gugatanmu, Pak Tua…”
Sang Wali yang lantas mendesah sedih.
“Yaa Allaaahh…”, hatinya berkeluh kesah, “Tuan Kadi ini bingung… tapi tak mau terima bukti hakiki. Sebingung apakah dia? Bukankah singgasananya pun tak berputar seperti kitiran?”
Ajaib! Singgasana Kadi tiba-tiba terangkat dan berputar layaknya baling-baling! Dan Tuan Kadi seperti as roda di atasnya!
Tak terbayangkan kecut hati Tuan Kadi. Ketakutan setengah mati. Ia tahu telah membikin kecewa seorang wali. Dan membuat Kekasihnya tak terima.
Tapi Tuan Kadi tak lupa, bahwa bahkan terhadap orang yang kurang mulia seperti dirinya, Tuhan tak akan melewatkan suara hatinya. Penolakannya terhadap kesaksian sapi tidak salah sama sekali. Karena syarat saksi harus ‘aqil (berakal). Kesaksian ghoirul ‘aqil (yang tidak berakal), apakah manusia gila atau binatang, tidak berlaku di pengadilan.
“Yaa Allaaah…”, ganti Tuan Kadi mengadu, “hamba bukannya tak tahu Bapak Tua ini kekasihMu…. Bukannya hamba hendak menghadang murkaMu. Tapi hamba sekedar menjalankan hukumMu…”
Dan kursi pun berhenti. Tuan Kadi lega hati. Ia yakin, Tuhan menerima alasannya.