Said bin Musayyab, Tabiin Penjaga Sunnah

Said bin Musayyab, Tabiin Penjaga Sunnah

Beliau merupakan satu dari beberapa poros hadits (madarul hadits) di Madinah.

Said bin Musayyab, Tabiin Penjaga Sunnah
Kitab Fathul Bari merupakan salah satu karya Ibnu Hajar al-Asqalani

Sa’id bin Musayyab bin Hazn bin Abi Wahb bin ‘Amr bin ‘Aid bin Imran bin Makhzum al-Qurasyi al-Makhzumy adalah seorang alim cendekia sekaligus penghulu kalangan tabi’in. Dilahirkan di Madinah dua tahun pasca sahabat Umar radiyallahu anhu didaulat sebagai khalifah.

Hidup sezaman dengan beberapa sahabat Nabi, semisal Umar ra., Utsman ra., Ummul Mukminin Aisyah ra. dan lain sebagainya. Perangainya yang mulia dan pekertinya yang santun membuat dirinya begitu dihargai oleh lingkungan dimana ia tinggal.

Bukan hanya itu, diungkapkan bahwa beliau merupakan satu dari beberapa poros hadits (madarul hadits) di Madinah. Kredibilitas dalam transmisi sunnah Rasulullah telah mengantarkannya menjadi seorang perawi yang cukup disegani. Dalam berbagai literatur hadits namanya kerap tergabung dalam rantai sanad periwayatan. Tak ayal, namanya abadi abadi di lembar-lembar kutubut-tis’ah ( kitab hadits sembilan ; Shahih Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Abu Daud, Sunan Tirmidzi, Sunan Nasa’i, Sunan Ibnu Majah, Sunan Ad-Darimi, Musnad Ahmad, Muwattha’ Imam Malik), dan lain sebagainya. Sumbangsihnya dalam perkembangan dunia hadits adalah perniagaan sukar ditakar, pengorbanannya dalam menghidupkan Sunnah adalah berlian tak ternilai.

Sa’id berguru menimba riwayat dari sahabat Abi Dzar ra., Alikw., Aisyah ra., Abu Hurairah ra., Shafwan bin Umayyah ra., dan lain-lain. Nama-nama besar seperti Amr bin Dinar, Az-Zuhri, Qatadah, Ibnul Munkadir adalah sederet pendengar sekaligus periwayat hadits-hadits Sa’id bin Musayyb.

Qudamah bin Musa menuturkan bahwa Sa’id Musayyab berfatwa sedang sahabat masih mengandung nyawa. Ibnu Umar, perawi hadits kedua terbanyak khazanah literatur hadits sunni setelah Abi Hurairah, mengukuhkan bahwa Sa’id bin Musayyab adalah orang yang bertakwa. Hammad bin Zaid, tokoh tabi’in berpengaruh juga mengatakan, Sa’id Musayyab merupakan seorang yang gemar menyinambungkan puasa.

Umar bin Abdul Aziz, khalifah masa keemasan dinasti Umayyah, mengungkapkan bahwa hampir pada setiap perkara yang akan ia putuskan, ia selalu meminta petuah dan saran dari tokoh yang juga merupakan pakar dalam tataran fiqh Umar radiyallahu anhuini

Sa’id cendekiawan yang senang syair, mengkhidmati setiap bait sastra bak seorang pengagum musik tenggelam dalam gesekan senar biola. Perawakannya berkumis pendek, tidak banyak tertawa, kerap memberi nama anak nya dengan nama-nama para Nabi. Al-Quran Kalamullah, adalah anugerah terbesar Tuhan yang tak kuasa ia beri penafsiran.

Bulir Air Mata Luruh Merenungi Kebesaran-Nya
Sufyan Ats-Tsauri, dengan sanad kokoh, menukil perkataan Said bin Musayyab, “Tidaklah seorang muadzin mengumandangkan azan selama 30 tahun kecuali aku sudah berada dalam masjid.”

Kehati-hatiannya dalam bertindak patut diacungi jempol. Tak ada suara yang menyapa telinganya melainkan Sa’id bin Musayyab memforsirnya dengan ketat. Hatinya bersih terjaga, lidahnya basah dengan dzikrullah,” jelas Sallam bin Miskin dalam Tahdzibut-Tahdzib karya Ibnu Hajar al-Asqolani.

Imam Suyuthi dalam Tarikh Khulafa, menuturkan, bahwa Sa’id bin Musayyab berkata, “Bukanlah ibadah itu dengan banyaknya salat dan puasa. Melainkan ibadah adalah tafakkur atas perintah Allah dan senantiasa mnejaga diri dari yang Allah haramkan.”

Pada masa senja, Sa’id bin Musayyab buta. Sekian banyak manik-manik air matanya luruh ke bumi. Tangis syukur dan ratapan penyesalan dosa adalah penyebabnya. Sedemikian Wara’ beliau, ditengah banyak manusia menyanjung kekhusyu’an ibadahnya kepada Allah, ia daratkan keningnya ke tanah, mengadukan betapa kecilnya dia di hadapan Allah Swt bunga-bunga pujian yang dialamtkan padanya, dianggapnya dusta yang tak bisa ia ingkari dihadapan sang Mahatahu segalanya.

Menerima Cambukan
Waqidi, sejarawan muslim kenamaan, menyatakan, tatkala Abdul Aziz bin Marwan wafat, naik Abdul Malik bin Marwan menggenggam tampuk kepemimpinan, dengan Hisyam bin Ismail sebagai gubernur Madinah. Berbondong-bondong manusia membaiatnya, namun tidak dengan Sa’id bin Musayyab. Dikarenakan satu dan lain hal, hatinya enggan melafalkan ungkapan Baiat kepada Hisyam bin Ismail.

Buah dari tindakannya tersebut, ia dijatuhhkan hukuman 60 cambukan. Dilekatkan kepadanya pakaian berbulu kemudian disuruhnya keliling, kemudian dijebloskan ke dalam penjara. Rombongan yang haus pengetahuan dilarang untuk hadir memenuhi majlis pengajiannya.

Meski demikian, seusai salat tak bosan-bosan ia panjatkan doa dan harapan kepada Allah Swt untuk kesejahteraan Bani Marwan. Baginya, berdo’a untuk kebaikan pemerintah adalah hal mutlak yang wajib dilakukan. Kiranya Allah Swt memberikan jalan petunujuk menuju kemenangan.

Yang Alim Agama Lagi Piawai Menyibak Tabir Mimpi
Mempelajari bunga tidur sambil berusaha menyingkap hikmah rahasia didalamnya bukanlah perkara biasa. Hal itulah yang juga merupakan keistimewaan yang diberikan oleh Allah Swt. Kepada sosok Sa’id bin Musayyab.

Sallam bin Miskin meriwayatkan: Hasan bin Ali menyaksikan dalam mimpinya bahwa diantara kedua matanya terdapat lafaz beruliskan “Qul Huwallahu Ahad.” Matanya berbinar gembira. Kemudian diceritakanlah kisah tersebut kepada Said bin Muusayyib, Sa’id menerangkan, “Jika memang benar engkau bermimipi seperti itu, kemungkinan tak akan lama lagi tiba ajal menjemput.

Dalam hitungan hari pasca penyingkapan tabir mimpi, Hasan mengembuskan nafas terakhir, beranjak menuju Rahmatullah.

Meninggalnya Said bin Musayyab
Abdurrahman bin Harits menceritakan, manakala sakit yang didera oleh Sa’id bin Musayyab semakin parah, maka masuklah Nafi’ bin Jubair menjenguknya, seraya menutup mata Sa’id bin Musayyab. Nafi’ melanjutkan, “arahkanlah dia,” maka mereka mengubah posisi Sa’id bin Musayyab, lalu beliau tersadar, kemudian bertanya, “”Siapa yang menyuruh kalian mengubah posisi ranjangku ke kiblat? Apakah Nafi’?” “Iya,” jawab Nafi’. Sa’id bin Musayyab, “Seandainya aku tidak berada di atas kiblat dan millah (Islam), maka tak akan bermanfaat pemindahan kalian atas ranjangku (menuju kiblat) ini.”

Sa’id meninggal pada tahun 94 H, pada masa pemerintahan al-Walid bin Abdul Malik (86-96 H). Beberapa sejarawan menuturkan, pada saat itu adalah masa dimana fuqoha’ banyak wafat

Penghayatan Ritual Keagamaan
Sa’id bin Musayyab, tokoh yang telah kita singgung sedikit kisah perjalanannya, telah mengajarkan kepada kita konsep bagaimana hidup ideal melalu sikap sederhana dan senantiasa memacu kedekatan kita dengan Tuhan.
Dalam satu kesempatan, Wahbah Zuhaili, Pemikir Islam besar abad ke 21 kelahiran Syria mengungkapkan, bahwa hidup adalah seberapa dekat kita dengan Allah Swt. Semakin kita dekat, semakin kita tuai ketenangan dan ketentraman. Semakin kita jauh, semakin resah dan gelisah liku perjalanan yang akan kita pijak.

Di saat dunia tengah limbung, digoyang ombak-ombak pemahaman sekuler dan liberal yang meletakkan Hedonisme sebagai prinsip kehidupan, maka berjalan mengikuti apa yang tokoh Sa’id bin Musayyab lakukan soal menghadapi kehidupan adalah langkah yang jitu, cerdas dan bernas!

Penyimpangan yang telah bermutasi menjadi janji-janji yang menggiurkan janganlah membingungkan kita. Paham jahiliah modern, yang mengusung paham materialisme telah bermetamorfosis menjadi doktrin-doktrin yang terkesan indah di mata namun tersimpan belati di baliknya, siap menikam akidah kita.

Eratkan pegangan pada al-Quran dan Sunnah. Integrasikan keduanya dalam gerak kehidupan. Kala godaan setan datang, hati bisa dengan cekat membacanya. Ketika Iblis hendak meniupkan bisikan-bisikan beracunnya, kita bisa dengan tegas menghentaknya keras-keras. Meminta tuntutan dari Allah Swt yang Maha Pemberi Hidayah.

Semoga kita semua mampu meneladani tokoh Sa’id bin Musayyab dalam menyusuri kehidupan yang penuh aral melintang ini. Amin.

Wallahu A’lam

 

Artikel ini sebelumnya dimuat di Majalahanabawi.com