Sadar Penuh Hadir Utuh, Mari Bertumbuh di Bulan Ramadhan

Sadar Penuh Hadir Utuh, Mari Bertumbuh di Bulan Ramadhan

Sadar penuh hadir utuh di bulan Ramadhan. Tidak perlu terlalu frontal dalam berubah, yang penting ada proses yang istiqamah.

Sadar Penuh Hadir Utuh, Mari Bertumbuh di Bulan Ramadhan

Kata “sadar penuh hadir utuh” barangkali lebih sering kita temui dalam forum workshop atau pelatihan. Saya pun mengenal jargon itu dari sebuah forum pelatihan. Bisa jadi itu diambil dari sebuah judul buku, saya kurang tahu. Namun dalam kesempatan ini, yang ingin lebih saya tekankan adalah sebuah bentuk adaptasi dari kata “sadar penuh hadir utuh” untuk menemani jalannya proses kita selama satu bulan di bulan Ramadhan yang penuh barokah dan maghfirah. Kata-kata itu penting untuk dipraktekkan dan diamalkan agar bulan kawah Candradimuka ini tidak lewat begitu saja.

Pada mulanya, sadar penuh hadir utuh adalah sebuah konsep agar seseorang dalam mengikuti suatu pelatihan benar-benar menaruh fokus dan perhatian pada setiap rangkaian pelatihan yang diberikan. Tidak hanya badan yang hadir di tengah forum pelatihan. Tetapi yang sangat lebih penting dari itu, fokus, perhatian, dan pikiran juga tidak berkeliaran ke mana-mana. Otak, hati dan pikiran benar-benar bersatu padu dalam memperhatikan dan menangkap setiap sari-sari pelatihan.

Kenapa hal ini perlu kita adaptasi dan diterapkan selama Ramadhan? Hal ini karena setiap momen ramadhan adalah momen di mana semangat kita dalam beribadah akan tumbuh berkali-kali lipat. Semangat kita shalat, semangat membaca dan semangat mencari ilmu seketika tumbuh subur bak biji yang ditanam di tanah cukup hara dengan tingkat kelembapan udara yang pas dan ditambah suplemen pertumbuhan kelas wahid.

Konon, semangat beribadah itu tumbuh karena setan penggoda manusia selama Ramadhan ini diikat, entah itu sungguhan atau sebatas dorongan untuk anak-anak agar lebih bersemangat mengaji dan tidak menyia-nyiakan bulan ramadhan. Namun pada kenyataannya, memang Ramadhan selalu membuat siapa saja, dari yang muda sampai yang tua menjadi sangat bersemangat dalam beribadah. Itu fakta.

Sebulan ini hitungan kuantitas ibadah kita akan tumbuh menjadi amat banyak sekali, namun cukup sayang kalau hanya banyak secara kuantitas tetapi tidak memiliki nilai kualitas yang baik pula. Sehingga dari sana, saya kira sadar penuh hadir utuh bisa menjadi sebuah jalan untuk meningkatkan kualitas setiap ibadah yang kita lakukan selama sebulan ini.

Tak terhitung banyaknya ganjaran yang diberikan Tuhan selama sebulan ini pada umat Muhammad, hal ini kemudian dikonversi dengan semakin memperbanyak ibadah. Hal itu kita lakukan tak lain dan tak bukan untuk mempersiapkan amal yang akan digunakan sebagai  bekal menghadap Tuhan di hari pembalasan. Karena amal kita akan kita gunakan sebagai bekal, tentu kita juga tidak ingin bahwa apa yang kita bawa hanya sekedar banyak secara jumlah tetapi tidak memiliki kualitas yang mumpuni. Sehingga alangkah beruntungnya apabila kita punya bekal yang tidak hanya banyak secara kuantitas tetapi juga memiliki nilai kualitas yang baik pula.

Dari sana, tepat kiranya kita mulai melakukan perbincangan dengan diri kita masing-masing. Kita melakukan evaluasi dan perenungan pada apa yang sudah kita lakukan selama ini, ditambah momen yang pas karena bulan Ramadhan kali ini memiliki nuansa yang lebih sunyi dan kontemplatif dibanding Ramadhan sebelumnya.

Pertanyaan seperti “apakah selama ini ibadah kita memang sudah menaruh perhatian penuh kepada Sang Khalik atau baru sampai di tahap menggugurkan kewajiban?” atau “Seberapa lama kita bisa tahan untuk tetap menjaga pikiran tetap terpaut pada yang Maha Hidup?” penting untuk ditanyakan pada diri kita masing-masing.

Taruhlah contoh saat kita melaksanakan shalat, seberapa lama isi kepala dan hati kita benar-benar terisi ingatan-ingatan tentang gerakan shalat dan makna bacaanya. Sudahkan kita sadar penuh dan hadir utuh bahwa kita sedang takbir, lalu membaca fatihah, lalu rukuk, kemudian sujud, lalu duduk disambung sujud lagi dan seterusnya sampai salam. Seberapa lama kita hadir utuh bahwa dalam setiap lafaz yang kita rapalkan ada sebuah makna yang terkandung dan kita sadar penuh atas maksud-maksud dari doa saat kita shalat.

Kalau saat ini kita tidak mengerti semua maksud dari doa yang dirapalkan saat shalat, minimal saat ini kita mulai belajar tentang tafsir surat Al-Fatihah dan makna-makna lain dalam bacaan wajib shalat. Apa yang seharusnya otak dan hati kita siapkan dalam membaca surat al fatihah. Sehingga al fatihah tidak hanya hanyut dan lewat begitu saja. Sehingga nantinya kita benar-benar bisa merasakan komunikasi hamba dengan Khalik yang memang seharusnya selalu dirasakan setiap kali kita membaca surat Al-Fatihah.

Contoh yang lain semisal ibadah puasa. Seberapa lama kita hadir utuh sadar penuh bahwa seharian kita sedang melaksanakan ritual penahanan hawa nafsu yang notabene setiap manusia memiliki tarikan hawa nafsu yang berbeda-beda. Untuk Sebagian orang yang memang nafsunya adalah pada makanan, tentu puasa diartikan secara harfiah saja bisa menjadi bentuk latihan yang pas. Namun semisal kita adalah golongan manusia yang sebenarnya tidak terlalu tertaut nafsunya pada makanan, namun lebih tertaut pada bergunjing dan menyebarkan informasi yang meresahkan, selain menahan nafsu makan, pada puasa ini kita juga bisa dengan sadar berlatih untuk menahan hasrat namimah.

Tentu level kita sebagai hamba ini berbeda-beda, dan Islam juga sudah mewanti-wanti bahwa Tuhan tidak menghendaki umatnya susah. Kita bisa mengukur sejauh mana kualitas yang kita miliki. Anggap saja saat ini level ibadah shalat kita berada di level 10 persen karena hanya tahu rukun-rukun shalat tanpa tahu semua makna dan posisi hati harus seperti apa dalam merapalkan doa, ya kita bisa tingkatkan menjadi 15 persen terlebih dahulu misalnya dengan membenarkan cara takbiratul ihram, apa yang harus disiapkan hati dan pikiran setiap kali kita mengucap lafaz takbir.

Tidak perlu terlalu frontal dalam berubah, yang penting ada proses yang istiqamah.

Pada akhirnya, tumbuh adalah sebuah tanda-tanda kehidupan. Kita akan terkaget dan heran apabila melihat pohon yang baru kemarin sore ditanam tetapi hari ini sudah menjulang tinggi dan berbuah. Pun demikian diri kita, salah satu cara untuk mensyukuri nikmat hidup dari Tuhan adalah dengan tetap memberikan tanda-tanda pertumbuhan seperti terus berkembang. Saat selama ini ibadah kita hanya fokus pada kuantitas, saat ini mari memulai hidup dengan seimbang antara kuantitas dan kualitas. Sedikit-sedikit saja tanpa memberatkan diri dan terus berkembang.

Selamat berpuasa! [rf]