Sabar Tidak Hanya Saat Ditimba Musibah, Dalam Kondisi Ini Juga Dianjurkan Sabar

Sabar Tidak Hanya Saat Ditimba Musibah, Dalam Kondisi Ini Juga Dianjurkan Sabar

Sabar Tidak Hanya Saat Ditimba Musibah, Dalam Kondisi Ini Juga Dianjurkan Sabar
Ilustrasi hati.

Kapan kita ingat harus bisa memiliki sifat sabar? Mungkin, paling sering ada saat terkena musibah. Musibah tersebut adalah taqdir Allah sudah tak bisa kita tolak. Misalnya, kehilangan sepeda montor. Ringkasnya, saat kita sudah tidak bisa melakukan apa-apa itulah saat dimana kita harus sabar. Tapi benarkah sifat sabar sebaiknya dimiliki hanya pada waktu ada musibah? Saat semua keinginan dapat terpenuhi perlukah kita memiliki sifat sabar? Dan sabar atas apa?

“Ketahuilah bahwa seluruh apa yang ditaqdirkan pada seorang hamba dalam hidupnya tidak lepas dari dua macam: yang sesuai dengan keinginannnya, dan yang tidak sesuai bahkan ia benci. Kedua-duanya memerlukan sifat sabar. Dalam segala keadaanya, seorang hamba tidak bisa lepas dari dua macam hal ini. Sehingga hamba tersebut tidak bisa lepas dari sifat sabar” begitulah ungkap Al-Ghazali. Sehingga sabar mutlak terus menerus harus dimiliki. Lalu kalau yang ada di hadapan kita semuanya sudah sesuai dengan keinginan, apa yang perlu kita sikapi dengan sabar?

Al-Ghazali mencontohkan hal-hal yang sesuai keinginan manusia dengan bentuk diberi kesehatan, diberi keselamatan, memiliki harta banyak, memiliki pangkat tinggi, memiliki banyak pendukung, punya banyak hal yang bisa digunakan untuk melakukan banyak hal yang diinginkan, dan banyak lagi kenikmatan dunia. Semua hal ini sebenarnya menuntut disikapi dengan sifat sabar. Sabar yang seperti apa? Sabar dengan menahan diri agar tidak semaunya sendiri, menuruti keinginan sesaat yang berakibat berlebihan dalam menggunakan sesuatu.

Semaunya sendiri dan menuruti keinginan sesaat dapat diartikan tidak memenuhi perintah atau larangan Allah dalam nikmat yang ia berikan. Sebab segala sesuatu memiliki hak yang harus dipenuhi. Seperti haknya harta adalah zakat dan infaq, sedang haknya perut adalah tidak diisi berlebihan sehingga membahayakan kesehatan tubuh.

Inilah yang menurut al-Ghazali disebut dengan istilah fitnah harta, pasangan (suami/istri) dan anak dalam surat al-Munafiqun ayat 9:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُلْهِكُمْ أَمْوَالُكُمْ وَلَا أَوْلَادُكُمْ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ

Artinya:

“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah harta serta anak-anak kalian membuat lupa akan Allah”

dan surat at-Taghabun ayat 14:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّ مِنْ أَزْوَاجِكُمْ وَأَوْلَادِكُمْ عَدُوًّا لَكُمْ فَاحْذَرُوهُمْ

Artinya:

“Sesungguhnya dalam pasangan serta anak-anak kalian ada musuh. Maka berhati-hatilah dengan mereka”

Seorang lelaki yang memiliki keislaman sempurna menurut al-Ghazali adalah lelaki yang bersabar atau dapat menahan diri dari kesejahteraan yang sempurna. Arti dari kesabaran tersebut adalah tidak terlalu menginginkan, dapat mengontrol diri saat diberi, menjaga hak-haknya Allah dalam hartanya dengan infaq, dalam badannya dengan menolong sesame, dalam lisan dengan berkata jujur dan semacam itu dalam nikmat-nikmat Allah yang lain.

Kesabaran atas nikmat yang diberikan, menurut al-Ghazali, bertalian erat dengan sikap syukur. Dan sabar jenis ini lebih berat dari sabar sebab tidak terpenuhinya keinginan. Karena sabar jenis ini disertai kemampuan yang mudah dilakukan untuk melanggarnya. Al-Ghazali mencontohkan, seorang yang sedang kelaparan saat ketiadaan makanan, akan lebih mudah bersabar dari seorang yang sedang kelaparan sementara di sisinya ada makanan lezat, yang bisa ia nikmati.