Saatnya Masjid Memakmurkan Masyarakat

Saatnya Masjid Memakmurkan Masyarakat

Saatnya Masjid Memakmurkan Masyarakat
Ilustrasi salah satu masjid di Bandung (Hexa R/ISLAMIDOTCO)

Saat menjadi pengurus takmir masjid sekitar enam tahun dulu, saya diajak studi banding di Masjid Jogokariyan Yogyakarta. Kami belajar manajemen pengelolaan masjid di sana. Kami menyimpulkan saatnya “masjid memakmurkan masyarakat” tanpa harus tercerabut dari akar.

Masjid memakmurkan masyarakat merupakan konsep masjid yang dikelola untuk memberi manfaat, kontribusi urusan ukhrawi dan duniawi bagi semua masyarakat. Mulai dari aspek ibadah, edukasi, sosial, bahkan ekonomi.

Kontekstualisasi peran dan fungsi masjid ini harus dipahami semua muslim agar menyelaraskan kepentingan akhirat dan dunia. Tentu ini tak semua masjid bisa menerapkannya. Konsep ini membuka wacana masa depan bagi takmir, Dewan Masjid Indonesia (DMI) dan semua pihak untuk membuat manajemen, dan blueprint agar masjid menyesuaikan zaman.

Muslim (2004: 109) meneliti, dalam memasuki era modern, masjid harus menata diri dengan menampilkan sosok mengagumkan dari segi bangunan fisik, arsitektur, seni dan sarana-sarananya. Masjid harus dikelola dengan manajemen modern dan mencontoh fungsi masjid pada zaman Rasulullah. Caranya, aktualisasi pemahaman, dari pemahaman tekstual, menuju kontekstual sampai yang konseptual.

Saat umat Islam mayoritas, yang dilakukan masjid bukan lagi masalah fisik dan kuantitas, melainkan kualitas. Jika berbicara masjid tak lepas dari takmir, kiai, marbut, jemaah, dan kegiatan selain ibadah. Mereka harus melek zaman dan mampu menerapkan gagasan ini.

Bukan Kuantitas

Jika diklasifikasikan, ada dua fase perkembangan Islam era Nabi Muhammad sampai sekarang. Pertama, fase Islam berkembang yang pemeluknya sedikit. Visi masjid, mendorong muslim memakmurkannya agar pemeluk Islam bertambah. Fase ini bisa dipetakan sejak Nabi Muhammad sampai kedatangan Walisongo ke Nusantara.

Kedua, fase Islam banyak pemeluknya. Yaitu era Walisongo sampai sekarang. Saat ini, jumlah pemeluk Islam di dunia, khususnya di Nusantara ini mayoritas. Visinya bukan lagi masyarakat memakmurkan masjid, namun masjid harus memakmurkan masyarakat.

Mengapa? Era Rasullah sampai periode Walisongo saat menyebarkan Islam ke Nusantara, fungsi masjid lebih pada syiar Islam. Caranya, rajin salat jemaah, mengaji, pengajian, tahlilan, yasinan, dan semua kegiatan dipusatkan di masjid. Ketika umat Islam mayoritas, maka masjid sudah seharusnya memakmurkan masyarakat.

DMI sampai 2017 mencatat ada 800.000 di Indonesia (Kompas.com, 4/3/2017). Masjid bukan masalah kuantitas, namun lebih pada kualitas yang bisa dilakukan dengan memakmurkan umat. Tak hanya Islam, namun semua orang di sekitar masjid. Tak peduli agama, suku, warna kulit, dengan adanya masjid, mereka harus makmur.

 Memakmurkan Masyarakat

Konsep masjid memakmurkan masyarakat ini bisa kita lihat di beberapa masjid yang sudah didesain tak hanya keperluan ibadah. Kita bisa berkiblat pada Masjidil Haram di Mekah atau Masjid Nabawi di Madinah. Di sana, meski urusannya dekat pelayanan haji, secara substansial merepresentasikan fungsi masjid memakmurkan masyarakat. Jutaan orang haji dan umrah, secara ekonomi, mereka makmur khususnya di sekitar masjid.

Dulu Walisongo menyebar Islam dan pemeluknya masih sedikit dan wajar jika doktrin memakmurkan masjid menjadi porosnya (Saifuddin, 1998:35). Tujuannya sederhana, agar masjid ramai dan umat Islam bertambah. Pembangunan tak hanya fisiknya, melainkan rohaninya.

Di era 21 ini, doktrin memakmurkan masjid harus menyesuaikan spirit zaman. Contohkan saja Masjid Agung Jawa Tengah (MAJT), Masjid Jogokariyan Yogyakarta, Masjid Istiqlal Jakarta, masjid besar di tiap kabupaten/kota, dan masjid di kompleks makam Walisongo.

Pemahaman ini harus dipahami DMI, takmir, dan ikatan remaja masjid. Artinya, masjid tak sekadar tempat ibadah dan mengaji saja. Sebab, masjid itu kunci kemajuan dunia dan bisa memakmurkan masyarakat.

Pada April 2018, Kementerian Pariwisata melakukan MoU dengan DMI untuk mengembangkan masjid menjadi wisata religi bertaraf internasional. Ada beberapa masjid akan dijadikan objek wisata religi internasional. Mulai Masjid Istiqlal, Masjid Agung Sunda Kelapa, Masjid Jakarya Islamic Centre, dan Masjid Jendral Besar Soedirman.

Sejak tahun 2001, konsep masjid memakmurkan masyarakat sudah diterapkan MAJT di Semarang. Tak hanya ibadah, namun MAJT menjadi objek wisata religi bertaraf dunia. Saat peresmian dulu, konsep “masjid memakmurkan masyarakat” yang digagas KH. Sahal Mahfudz menjadi visi MAJT yang diimplementasikan hingga kini.

Banyak kegiatan seperti prewedding, resepsi pernikahan, wisuda, seminar, rapat akbar dilakukan di MAJT. Demikian contoh masjid memakmurkan masyarakat. Tanpa harus ada embel-embel Islam, substansi dakwah tersampaikan dan bisa dinikmati semua orang tanpa pandang agama.

DMI dan takmir harus mengubah cara berpikir mewujudkan visi “masjid memakmurkan masyarakat” dengan beberapa langkah. Pertama, konsep masjid memakmurkan masyarakat menjadi tujuan pokok pembangunan masjid, baik dari segi jasmani maupun rohani.

Kedua, tak semua masjid bisa menerapkan gagasan ini. Minimal, masjid yang memiliki nilai A secara fasilitas fisik. Di tiap kabupaten/kota, masjid andalan bisa didesain DMI, takmir, Dinas Pariwisata untuk kepentingan umat. Meski tak bisa digarap semua, minimal fungsi edukasi, literasi agama, wisata religi di tempat itu dipusatkan di sana.

Ketiga, membuat paket wisata masjid sesuai kebutuhan zaman. Selain manajemen dan SDM, lahan parkir, akses jalan, penitipan barang, toilet, data statistik, objek foto selfie, kerudung untuk turis/non muslim, area wifi, menara, auditorium, perpustakaan, monumen/museum, objek belanja/oleh-oleh, dan lainnya harus dibangun. Kebutuhan ini dipilih karena tak semua masjid bisa menerapkannya.

Minimal, ke depan semua masjid di tiap kabupaten/kota bisa didesain menjadi wisata religi/sejarah. Utamanya masjid tertua, peninggalan wali/pendiri kota yang memiliki nilai historis tinggi. Dari sana, masjid bisa menjadi objek riset, perkembangan kajian literatur, pembangunan SDM dalam aspek religi dan sejarah Islam.

Konsep ini tak sekadar wisata religi saja. Namun bisa diterapkan pada penguatan kelembagaan serta SDM. Masjid harus mandiri dengan membuat koperasi, pusat belanja, atau unit usaha. Masjid wajib mandiri dan memakmurkan orang di sekitarnya. Tak zamannya lagi masjid memohon bantuan pada pemerintah/lembaga. Maju dan tidaknya bergantung manajemen, pengelola dan SDM takmirnya.

Meski tak bisa dijadikan wisata religi, namun semua masjid hakikatnya bisa memakmurkan umat. Saat Ramadan seperti ini, misalnya, semua masjid memberi manfaat bagi semua orang, baik muslim mapun non muslim. Seperti pemberian jaburan (makanan) saat berbuka puasa, pesantren Ramadan, pengajian, dialog lintas agama dan lainnya.

Bahkan, masjid yang saya kelola dulu menyuguhi makanan sejak buka puasa, usai tadarus, hingga menjelang sahur meskipun hanya minuman dan wedang. Bagi umat Islam yang ingin iktikaf di masjid, memburu lailatul qadar, maka masjid menyediakan air minum, wedang, dan makanan kecil untuk mereka.

Masjid yang siap manajemen, SDM, dan fasilitas fisik harus memakmurkan masyarakat. Tujuannya, anak-anak muda zaman now dekat, rindu, dan menggantungkan hati pada masjid. Jika mereka dekat dengan masjid, maka terbangun jiwa religius, ramah, dan bisa memutus mata rantai radikalisme. Jangan sampai masjid dikuasi kaum radikal yang membawa misi menyebar ajaran teror.

Saatnya masjid memakmurkan masyarakat. Jika tak sekarang, kapan lagi?