Saat Terjadi Musibah: Masyarakat Butuh Empati Bukan Caci Maki

Saat Terjadi Musibah: Masyarakat Butuh Empati Bukan Caci Maki

Saat terjadi musibah, berikanlah empati, jangan kait-kaitkan dengan politik, apalagi mencaci-maki.

Saat Terjadi Musibah: Masyarakat Butuh Empati Bukan Caci Maki
Ibu dan anak adalah kelompok rentan dalam sebuah bencana, seperti dalam foto ini, beberapa anak dan perempuan yang berada di RS Tanjung, Lombok Utara. ANTARA FOTO/Zabur Karuru/wsj/18.

Patut disayangkan, sikap sebagian saudara kita yang tidak empatik terhadap musibah Lion JT 610. Sesaat setelah pesawat jurusan Jakarta-Pangkal Pinang itu dinyatakan jatuh di perairan Karawang, sejumlah pernyataan kurang laik bermunculan di media sosial. Peristiwa yang terjadi hari Senin 29 Oktober 2018 itu adalah duka bersama. Bukan sebagai bahan untuk menyudutkan ataupun menyalahkan.

Musibah yang menewaskan 188 orang tersebut tega dikaitkan dengan suasana persaingan politik menjelang Pilpres 2019.

Jatuhnya pesawat tersebut, tegat-teganya dikaitkan dengan bencana gempa bumi NTB, Palu, Donggala, kinerja pemerintah, hingga insiden pembakaran bendera bertuliskan kalimat tauhid di Garut.

Beberapa pernyataan tersebut, semisal: “Lihatlah, azab datang lagi. Mengapa tidak berhenti membenci Islam?”, “Setelah Lombok, Palu, dan Donggala, kini pesawat jatuh. Rezim ini dimurkai oleh Allah!”, demikian pula ada pernyataan yang menjurus berbau politis. “Sejak SBY lengser, musibah dan bencana terus silih berganti menimpa negeri kita. Mohon doa untuk bisa berubah suasana lebih baik di 2019. Insya Allah, negeri kita kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi. Atas Ridha Ilahi. Amin.”

Persaingan politik adalah hal yang wajar. Memenangkan perebutan suara dijamin undang-undang. Sistem demokrasi menjamin keberadaannya. Kampanye dan pemilu adalah sarana yang telah ditetapkan bersama. Hanya saja, harus dengan cara yang elegan dan bermartabat.

Pernyataan di atas tentunya tidak baik jika didengar oleh keluarga yang sedang beduka. Terlebih dalam mengupayakan solidaritas sosial.

Selaiknya, kita berkabung bersama. Memanjatkan doa untuk para korban agar ditempatkan di sisi-Nya. Keluarga yang ditinggalkan diberi ketabahan. Ke depan, bangsa Indonesia dapat memetik hikmahnya. Kita bergandeng tangan mewujudkan sistem transportasi yang lebih baik. Mengembangkan dan menguasai kemajuan teknologi. Meskipun kita tidak bisa lari dari ketentuaan Yang Maha Kuasa, akan tetapi kita diperintahkan memaksimalkan usaha.

Lantas bagaimana seharusnya kita menyikapinya?

Husnudhan di Tengah Musibah

Diceritakan dalam hadis shahih riwayat Imam al-Bukhari (194-256 H), Rasulullah SAW memberi teguran keras kepada sahabat ketika ada yang mengaitkan gerhana matahari dengan kematian seseorang.

Peristiwa ini terjadi saat putra Nabi Muhammad SAW yang bernama Ibrahim meninggal dunia. Mengaitkan kematian dengan fenomena alam atau sebaliknya adalah tradisi Jahiliyah. Islam datang untuk meluruskan tauhid. Mengesakan kebesaran Allah semata.

Dalam banyak riwayat lain, dijelaskan bahwa Rasulullah SAW sangat mengingkari kebiasaan masyarakat Arab yang mengaitkan turunnya hujan dengan bintang. Begitu juga meyakini terjadinya azab karena fenomena alam. Rasulullah saw menegaskan bahwa barang siapa yang mempercayai hal ini, berarti orang tersebut telah mengingkari ajaran Islam.

Islam mengajarkan prinsip tauhid. Segala sesuatu tidak akan terjadi kecuali dengan izin Allah SWT. Seorang hamba diperintahkan untuk mengimani. Ketentuan baik dan buruk pasti ada hikmahnya. Bahkan kualitas iman seseorang dapat naik kualitasnya jika sabar dan tabah menghadapi ujian.

Dari hal ini, musibah harus disikapi dengan senantiasa mengedepankan husnudhan. Baik sangka terhadap ketentuan Allah, serta baik sangka kepada sesama makhluk. Husnudhan kepada Allah merupakan wujud keimanan. Musibah besar ataupun kecil tak lepas dari ketentuan-Nya. Bahkan keabsahan iman kita akan teruji saat menghadapi musibah.

Dalam sebuah hadis qudsi riwayat Imam al-Bukhari, dinyatakan:

عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ قَالَ اللهُ أَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِي بِيْ (رَوَاهُ البُخَارِي)

Diriwayatkan dari Abi Hurairah RA, Rasulullah SAW bersabda: “Allah ta’ala berfiman: “Aku menurut persangkaan hamba-Ku.” (H.R. al-Bukhari)

Imam Badr al-Din al-‘Aini (885 H) dalam kitab ‘Umdah al-Qari menjelaskan bahwa hadis di atas menandaskan ampunan dan siksaan Allah terwujud erat dengan persangkaan seorang hamba. Jika seseorang berprasangka baik, maka Allah juga akan memberikan kebaikan.

Sebagai misal, jika seseorang yakin mengharap ampunan, maka Allah SWT dengan mudah akan mengampuni dosanya. Begitu juga jika seorang hamba berprasangka jelek. Semisal menyangka Allah akan menimpakan siksa atasnya. Oleh karenanya, kita diperintahkan untuk senantiasa berbaik sangka. Optimis bahwa Allah ta’ala adalah Maha Pengasih dan Maha Pengampun.

Demikian halnya, Islam juga menganjurkan umatnya untuk berbaik sangka kepada sesama. Serta memerintahkan menjauhi prasangka jelek. Karena buruk sangka tidak lain adalah dosa. Hal ini sebagaimana dalam firman Allah swt surat al-Hujurat ayat 12.

Larangan ini tentu menyimpan manfaat yang kembali kepada manusia itu sendiri.

Dalam kehidupan sehari-hari, saling berburuk sangka adalah awal dari perpecahan dan permusuhan. Karena itu, mengaitkan bencana alam dengan kinerja pemerintah ataupun pihak lain adalah tidak dapat dibenarkan.

Terkait dengan musibah, banyak sekali riwayat hadis yang menjelaskan bahwa sekecil apapun ujian, jika diterima dengan sabar dan ikhlas, maka akan menjadi penghapus dosa. Demikian pula, orang yang dikenai musibah bukan berarti Allah murka kepadanya. Bahkan mungkin sebaliknya. Musibah tersebut akan meninggikan derajat di sisi-Nya.

Musibah penyakit, kecelakaan, ataupun karena tenggelam mungkin bagi kita nampak sebagai azab. Akan tetapi, di sisi Allah, orang yang meninggal karena beberapa sebab tersebut ternyata mendapat pahala mati syahid.

Dalam riwayat Imam al-Bukhari, Rasulullah saw menyebutkan lima orang yang dihukumi mati syahid.

عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الشُّهَدَاءُ خَمْسَةٌ المَطْعُوْنُ وَاْلمَبْطُوْنُ وَاْلغَرَقُ وَصَاحِبُ الْهَدَمِ وَالشَّهِيْدُ فِيْ سَبِيْلِ اللهِ (رَوَاهُ البُخَارِي)

Diriwayatkan dari Abi Hurairah ra, Rasulullah saw bersabda: “Orang yang mati syahid itu ada lima; orang yang mati karena wabah, orang yang mati karena menderita sakit perut, orang yang mati karena tenggelam, orang yang mati karena tertimpa reruntuhan, dan orang mati syahid di jalan Allah.” (H.R. al-Bukhari)

Hadis ini menegaskan bahwa korban musibah karena kecelakaan pesawat yang tenggelam, serta mati karena tertimpa reruntuhan adalah mati syahid. Pahalanya sederajat dengan orang yang meninggal dalam perperangan di jalan Allah.

Adalah sesuatu yang pantas bagi sesama muslim untuk saling mendoakan dalam kebaikan. Satu muslim dengan muslim lainnya tak ubahnya adalah satu jasad.

Jika ada satu bagian tubuh yang sakit, maka seluruh tubuh ikut merasakannya. Demikian halnya, musibah gempa bumi di Lombok, Palu, Donggala, serta musibah jatuhnya pesawat Lion di atas.

Bijak Menyikapi Perbedaan

Indonesia adalah negara yang majemuk. Hal ini adalah fakta sosial yang tidak bisa dimungkiri. Sudah barang tentu, di balik keragaman tersebut terdapat perbedaan pendapat, kepentingan, dan keinginan. Semuanya wajar adanya.

Perbedaan ini sudah disediakan tata cara untuk menyelesaikannya. Salah satunya adalah dengan jalur musyawarah mufakat. Teknisnya berupa pelaksanaan pemilu. Di antaranya untuk memilih Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Presiden.

Persaingan politik melalui jalur yang demokratis tersebut harus ditempuh bersama. Selain untuk memilih pemimpin, yang tak kalah penting adalah untuk merumuskan strategi terbaik guna mewujudkan cita-cita bersama dan menghadirkan kesejahteraan dan keadilan sosial. Oleh karena itu, proses ini harus diyakini sebagai ajang adu gagasan antar anak bangsa. Kesemuanya memiliki niat baik, yakni berbakti kepada nusa dan bangsa.

Ada baiknya, rangkaian musibah yang terjadi akhir-akhir ini dijadikan sebagai ajang memperkuat tenggang rasa dan persatuan. Bukan sebagai bahan persaingan perebutan kekuasaan.

Sebagaimana telah disinggung di atas, kita adalah ibarat jasad yang satu. Musibah yang menimpa wilayah atau orang lain harus kita sikapi dengan bijak. Kita asah rasa empati. Serta kita petik hikmahnya. Dengan sikap ini, kita akan menjadi bangsa yang besar. Bangsa yang adil beradab. Bangsa yang berkeadilan sosial.

Mari kita saling berempati, bukan saling mencaci maki.

***

Tulisan ini juga dimuat dalam: Buletin Muslim Muda Indonesia, Edisi 42/Jum’at, 2 November 2018