Terlepas dari bola pingpong antara Kemenag dengan DPR terkait RUU Pesantren, membaca draft RUU bikinan DPR bikin ingin berkomentar. Walau, sebagaimana kita tahu, draft ini belum jelas akan ke mana nasibnya.
Kemenag pun masih membuat draft versinya sendiri, ini belum termasuk jalan panjang diskusi dan perdebatan serta lobi politik di Senayan.
Sebagai lembaga pendidikan Islam (tradisional dan informal) tertua di Indonesia, pesantren diyakini menjadi benteng NKRI, dimotori oleh santri di bawah komando kiai.
Dengan demikian, RUU Pesantren dapat dianggap sebagai tindak lanjut dari rekognisi terhadap kontribusi santri untuk negeri setelah penetapan Hari Santri Nasional dan (wacana) penunjukkan Menteri Bidang Pesantren.
Kabar baik dari RUU ini, sejauh yang saya pahami, adalah pengakomodasian pada hal-hal yang selama ini jadi kritik bagi pesantren. Pertama, pesantren sering dianggap sebagai lingkungan pendidikan yang homogen, yang menciderai atau membatasi semangat toleransi dalam keberagaman di Indonesia.
Ketidakterbiasaan para santri terekspos dalam pergaulan yang heterogen memperkecil kemampuan mereka merekognisi sudut pandang yang kaya. Kritik ini direspon dengan penekanan unsur ‘multikultural’ dalam prinsip pendirian pesantren (BAB 2 Pasal 2), selain toleransi antar agama, dan karakter taawun, tawazun, tawasuth (Pasal 3 poin A).
Hanya memang konteks multikultural lebih banyak ditekankan pada perbedaan suku bangsa, padahal situasi ini sejatinya telah terakomodasi pesantren sejak lama. Para santri yang mondok di asrama pesantren diajarkan hidup seatap dengan santri dari pelbagai latar belakang kultur; dengan kata lain, pesantren telah multikultur sejak lama.
Yang mono biasanya adalah mazhab. Perlu ada dorongan untuk dialog antar school of thought berbeda demi pendewasaan; mengikis pelan-pelan jejak kultur eksklusivisme yang ditopang oleh kontrol ketat pemilihan guru. Beberapa pesantren beruntung punya lembaga bahtsul masail yang mapan, atau terekspos dengan keberagaman melalui misalnya, kunjungan dari komunitas non-Muslim. Sisanya yang banyak tidak punya privilege seperti itu.
Kedua, ada itikad formalisasi pesantren, melalui penerbitan syahadah dan dorongan pengintegrasian pesantren dengan lembaga pendidikan Islam yang formal. Dalam hal ini fungsi pesantren dibedakan menjadi tiga: lembaga pendidikan Islam, lembaga dakwah Islam, dan lembaga pemberdayaan masyarakat.
Dalam konteks pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam inilah pesantren diarahkan untuk membentuk madrasah berbagai jenjang dengan sertifikat kelulusan yang ‘diakui’ di ‘industri’.
Pengakuan ini penting mengingat semenjak rezim ijazah sekolah formal, sekuat apapun pemahaman keilmuan santri, tetap dianggap ‘kalah jual’ dari lulusan sarjana perguruan tinggi Islam.
Persoalan pengakuan kompetensi ini dapat menjadi pemutus mata rantai ‘masa depan suram’ yang selama ini dilekatkan pada santri. Pasalnya, tidak semua santri berhasil menjadi ustaz atau kiai besar. Tidak semua dari mereka ‘sukses’ melanjutkan misi besar pesantren.
Banyak santri yang akhirnya selesai mondok harus berjibaku dalam persaingan industri yang menjadikan mereka menjadi pihak yang dikalahkan. Di sisi lain, tidak semua pesantren tradisional membekali para santri kemampuan berwirausaha, berniaga. Sebagian mungkin membekali dengan kemampuan bertani, tetapi dengan himpitan industrialisasi di mana gaji pabrik jauh lebih menggiurkan ketimbang upah buruh tani, kesejahteraan pada akhirnya menjadi persoalan.
Ketiga, pendidikan kewarganegaraan (Pasal 124). Sebetulnya dengan adagium hubbul wathon minal iman, semua selesai. Tetapi adagium itu baru ngehit belakangan. Utamanya sebagai narasi alternatif terhadap kampanye khilafah.
Sebelum kampanye khilafah semasif belakangan, jarang para santri dengan gagah berani menyanyikan yalal wathon, misalnya. Sebagian pesantren malah mungkin masih mengkultivasi gagasan bahwa Pancasila tidak (terlalu) Islami.
Tetapi, karena ancaman disintegrasi dan perpecahan menyusul klaim kebenaran tunggal yang provokatif, mendorong kesadaran pentingnya pendidikan kewarganegaraan.
Bangsa ini bukan hanya rentan terhadap gempa bumi, kata Yudi Latif, tetapi juga gempa sosial. Mengajarkan para santri patriotisme ala Resolusi Jihad barangkali dapat menjadi salah satu alternatif terbaik.
Dengan segala itikad baik dan ideal-ideal yang menggiurkan, RUU Pesantren menghadapi sejumlah tantangan. Pertama, RUU ini menerapkan sejumlah persyaratan bagi pesantren, mulai dari ketersediaan asrama, Masjid, santri, kiai, dan kitab kuning, hingga keharusan terdaftar di Kantor Kecamatan, berbadan hukum, dan punya izin operasional.
Hal tersebut baik demi keberlangsungan pesantren, kemudahan mereka mendapatkan dana hibah untuk menyokong operasionalitas pendidikannya. Tetapi, seberapa banyak yang sudah mampu memenuhi persyaratan-persyaratan tersebut, berapa banyak yang perlu didorong dan ditarik?
Persoalan legalitas ini agak tricky mengingat sifat pesantren yang kiai-sentris, otonom, dan unik satu dengan yang lain. Kita dapat menduga, jika RUU ini disahkan dan pemerintah secara serius memfasilitasi legalitas pesantren, maka pesantren-pesantren yang berafiliasi ke NU akan dengan ‘mudah’ menyambut baik (itupun debatable mengingat sifat NU yang desentralistik).
Tetapi bagaimana dengan pesantren yang berafiliasi dengan organisasi yang selama ini oposisi terhadap pemerintah? Misalnya, FPI. Apakah proses pengaturan ini akan dianggap sebagai itikad baik atau rencana pemerintah mendomestifikasi pesantren melalui serangkaian peraturan yang ‘memenjarakan’?
Yang kedua, apakah dengan pengaturan yang demikian lengkap dan birokratis, akan ada overlap otoritas sebagaimana terhadap Madrasah Tsanawiyah dan Madrasah Aliyyah? Tentu dengan mempertimbangkan sejarah panjang otonomi yang dinikmati oleh pesantren dalam banyak hal; termasuk kurikulum.
Sekarang, dengan ketentuan akreditasi demi standar mutu, muncul persoalan pengelolaan kurikulum. Juga muncul persoalan khas yang biasa muncul di seputar penilaian akreditasi di sekolah umum formal.
Tetapi tentu itikad demikian diambil demi meningkatkan akuntabilitas dan kredibilitas pesantren, secara formal. Pembiaran otonomi pesantren secara mutlak sejauh ini memang menjadikan sebagian pesantren tidak mampu bersaing dengan modernitas, kalah sigap menyikapi tsunami informasi dan candu sosial media, serta membuat pesantren tradisional rata-rata hanya bertahan 2-3 generasi.
Irfan L. Sarhindi, Pengasuh Salamul Falah, Alumnus University College London dan Associate Researcher Akar Rumput Strategic Consulting