RUU Ketahanan Keluarga: Sebuah Upaya Pelemahan Perempuan di Sektor Publik

RUU Ketahanan Keluarga: Sebuah Upaya Pelemahan Perempuan di Sektor Publik

Apabila RUU ini akan disahkan, tidak akan ada lagi perempuan-perempuan seperti Megawati yang pernah menjadi Presiden, atau Khafifah Indar Parawansa sebagai Gubernur, dan kepala daerah perempuan lainnya.

RUU Ketahanan Keluarga: Sebuah Upaya Pelemahan Perempuan di Sektor Publik

Wacana RUU Ketahanan Keluarga telah masuk dalam Prolegnas Prioritas DPR tahun ini. Meskipun hanya diusulkan oleh empat orang dari tiga fraksi, namun tetap masuk dalam pembahasan DPR tahun ini. Maka tidak heran apabila RUU ini menuai pro kontra karena sebelum rapat pun RUU ini tidak didukung oleh mayoritas DPR.

Ada yang menarik dalam RUU ini ketika mengartikan fungsi dan peran seorang suami-istri. Dalam RUU tersebut dikatakan bahwa seorang suami bertanggungjawab untuk mempertahankan keluarga serta memberi nafkah kepada istri dan anak-anaknya. Sementara itu istri memiliki peran untuk mempertahankan keluarga serta bertanggung jawab kepada suami dan anak-anaknya.

Dalam tulisan ini, kita akan membahas fungsi suami-istri yang didefinisikan dalam draf RUU tersebut. RUU mengartikan laki-laki aktif di luar rumah, sementara sang istri mengatur dan mengelola rumah tangga. Singkatnya urusan rumah hanya diperankan oleh perempuan.

Definisi perempuan ini justru memperkuat adanya pembagian kerja yang lazim dikenal oleh masyarakat Jawa tentang peran 3R perempuan, yaitu sumur, dapur, dan kasur. Rumus ini menggambarkan bagaimana perempuan tidak diberi peran dan fungsi untuk mengatur urusan luar. Urusan luar hanya diperankan oleh seorang laki-laki. Apabila definisi ini masih diberlakukan tanpa ada upaya mengkritisi maka diskriminasi terhadap perempuan akan terus terjadi.

Apa yang ditakutkan apabila RUU dengan definisi perempuan seperti ini adalah adanya penolakan kuat terhadap peran perempuan di sektor publik. Perempuan akan didorong untuk masuk lagi ke rumah. ia tidak diberi tempat di luar rumah. Keadaan ini berbanding terbalik. Mengingat bahwa di era kapitalis saat ini, kalangan pekerja juga melibatkan perempuan, dan banyak pempimpin-pemimpin perempuan yang memiliki kinerja yang bagus. Maka dari itu, RUU ini sangat kontradiksi dengan realitas sosial saat ini.

Apabila RUU ini akan disahkan, maka negara akan menghegemoni peran perempuan di sektor publik. Tidak akan ada lagi perempuan-perempuan seperti Megawati yang pernah menjadi Presiden, atau Khafifah Indar Parawansa sebagai Gubernur, dan kepala daerah perempuan lainnya.

Sebenarnya hegemoni perempuan yang termuat dalam RUU tersebut bukan hal baru dalam diskursus gender di Indonesia. Dalam buku Ibuisme Negara (2011) yang ditulis oleh Julia Suryakusuma mengatakan bahwa sejak era Orde Baru, penguasa mencoba mengawinkan antara sistem kapitalisme dan feodalisme yang menyebabkan diskriminasi dan eksloitasi tubuh perempuan.

Di era reformasi, keadaannya tidak jauh berubah. Apabila di era Orde Baru negara memilik peran penting dalam menghegemoni perempuan, namun di era saat ini agama (Islam) yang memiliki peran penting dalam menghegemoni perempuan. Para pemuka agama yang memiliki pandangan patriarki akan menarik peran perempuan dari sektor publik.

Hal ini dibuktikan dengan adanya penolakan sejumlah kelompok Islam terhadap pemimpin perempuan. Pada saat Megawati menjadi presiden, FPI dan aliansinya mengadakan demonstrasi untuk menurunkan presiden. Mereka beranggapan bahwa perempuan tidak boleh menjadi seorang pemimpin. Mereka mendasarkan argumentasinya melalui ayat an-Nisa : 34.

Melalui ayat tersebut, ada sebagian kelompok muslim yang melarang menjadikan wanita sebagai pemimpin, baik pemimpin daerah maupun negara. Dalam kacamata politik FPI, untuk menjadi seorang pemimpin harus berasal dari laki-laki yang ahli agama. Maka dari itu, mereka menolak calon pemimpin perempuan, lebih-lebih menerima pemimpin yang perempuan.

Apa yang dikhawatirkan apabila RUU ini disahkan adalah adanya penguatan legitimasi bagi kelompok seperti FPI. RUU ini akan dijadikan sebagai legitimasi penguat penolakan mereka terhadap pemimpin perempuan dan karir perempuan di sektor publik.

Bagi masyarakat Indonesia yang dikenal dengan religiusitasnya, maka hegemoni agama terhadap perempuan akan cenderung lebih kuat dibanding dengan hegemoni negara. Meskipun sifatnya sama-sama menghegemoni, namun peran agama jauh lebih besar dibandingkan dengan peran agama. Hal ini akan membahayakan bagi masa depan Indonesia. Sebab, tujuan adanya keadilan tidak akan tercapai selama budaya hegemoni terhadap perempuan dan patriarki tidak bisa diselesaikan secepat mungkin.

 Dengan demikian, maka definisi perempuan dalam RUU Ketahanan Keluarga bisa mengdatangkan diskriminasi dan memperkuat legitimasi kelompok Islam yang menolak kepemimpinan perempuan. Maka dari itu, sudah sepantasnya memang RUU ini tidak disahkan meskipun nantinya akan dibahas dalam sidang parlemen. Hal ini bertujuan untuk mengantarkan Indonesia jauh lebih adil dan bijaksana dalam urusan perempuan.