Ruang Menyusui dalam Pandangan Islam

Ruang Menyusui dalam Pandangan Islam

Ruang Menyusui dalam Pandangan Islam

Ruang publik, selayaknya nyaman bagi setiap pihak, terlebih bagi perempuan dan anak-anak. Fasilitas umum yang ramah perempuan dan anak kiranya patut menjadi perhatian pengampu kebijakan, baik di tempat kerja, rumah peribadatan, maupun ruang terbuka seperti taman atau stasiun kereta.

Ruang laktasi, menurut Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) nomor 15 tahun 2013 tentang Tata Cara Penyediaan Fasilitas Khusus Menyusui Dan/Atau Memerah ASI, tujuan pentingnya pengaturan ruang laktasi di ranah publik adalah memberikan perlindungan kepada ibu dalam memberikan ASI, khususnya ASI eksklusif, serta pemenuhan hak anak mendapatkan ASI.

Mengapa ASI, khususnya ASI ekslusif, penting diperhatikan? ASI eksklusif adalah ASI yang diberikan kepada bayi pada enam bulan pertama pasca kelahiran. Jika ibu dan bayi bugar dan sehat, berdasarkan rekomendasi WHO, dimulai Inisiasi Menyusui Dini (IMD) oleh ibu kepada bayi, dan selanjutnya selama enam bulan setelahnya ASI diberikan tanpa tambahan makanan dan minuman lain.

ASI eksklusif enam bulan pertama ini menjadi asupan yang cocok dengan perkembangan fisik bayi, sejalan dengan kebutuhan gizinya. Pemberian ASI ekslusif ini di samping menjadi sumber nutrisi sang bayi, juga dinilai dapat mendekatkan ibu dan anak secara emosional. Selain itu, pemberian ASI ini tentu lebih higienis dan ekonomis.

Ruang laktasi, atau yang dalam Permenkes di atas disebut Ruang ASI, berperan sebagai fasilitas untuk menyusui bayi. Begitupun aktivitas lain terkait ASI, seperti menampung ASI yang akan disimpan di perjalanan maupun menjadi sarana edukasi ASI untuk publik, juga bisa menjadi peranan ruang ASI.

Bagaimana pandangan Islam soal ASI? Anda dapat membaca tafsir seputar Surah Al Baqarah ayat 233 yang menyebutkan perihal masa ibu menyusui, serta pemenuhan masalah hak anak.

“Para ibu menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan menjadi kewajiban atas bayi itu yang dilahirkan untuknya (ayah sang bayi) memberi rezeki (makanan) dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma‘rûf…” (QS. Al Baqarah ayat 233)

Pun dari segi fikih, selain perhatian akan pentingnya peran menyusui bagi seorang ibu, patut dicatat bahwa kenyamanan dan keamanan saat menyusui patut menjadi perhatian.

Saat menyusui, diperlukan ruang yang aman dan nyaman untuk ibu dan juga bayi. Payudara adalah aurat bagi perempuan. Kendati batas aurat untuk perempuan itu berbeda di kalangan ulama, namun payudara jelas merupakan bagian tubuh yang mesti ditutupi bagi perempuan.

Dalam menyusui, kenyamanan dan keamanan patut diperhatikan. Bagi sang ibu, tersingkapnya bagian tubuh yang mesti tertutup jelas membuat risih. Imam an Nawawi menyebutkan dalam Syarh Shahih Muslim terkait penjelasan dalam hadis terkait menutupi aurat saat buang air, membuka aurat itu hanya diperkenankan jika dalam keperluan tertentu dan dalam lingkungan tertutup, seperti mandi, buang air, atau kebutuhan pemeriksaan penyakit.

Jika berada di tengah keramaian, membuka aurat ini menjadi suatu hal yang dilarang. Dalam kitab Mughnil Muhtaj karya Imam Muhammad As Syirbini misalnya, jika di sekitar seseorang terdapat orang lain yang bukan mahram, terlebih juga berpotensi menimbulkan gangguan, maka menutupi bagian aurat adalah wajib. Terlebih terkait aktivitas menyusui, hal ini tentu kiranya perlu diperhatikan.

Begitu pula kondisi yang kondusif akan membuat bayi dapat menyusu dengan tenang. Kembali pada urgensi ruang laktasi di ruang publik, ibu dan bayi bisa dijauhkan dari bahaya baik yang mungkin terjadi dari orang sekitar, maupun dari kebisingan dan polusi udara. Adanya fasilitas ini bisa meningkatkan rasa aman dan nyaman untuk ibu menyusui, serta mendukung aspek kesehatan ibu dan anak.

Wallahu a’lam.