Rohis dan Satu Sisi Wajah Pelajar Kita

Rohis dan Satu Sisi Wajah Pelajar Kita

Rohis dan Satu Sisi Wajah Pelajar Kita

Dalam diskusi dengan pelajar dan mahasiswa Pulau Seribu, saya mengajukan data yang tak baru dan mungkin sudah diketahui banyak orang: Hasil riset Rohis tahun 2016 kerjasama Wahid Foundation-Kemenag RI. Sekedar untuk melihat satu sisi tantangan di kalangan pelajar.

Dalam catatan dan kesimpulan, saya mengatakan data ini tidak dapat disimpulkan jika setiap anggota Rohis intoleran dan berpikir radikal. Tidak sedikit aktivis Rohis yang tidak setuju dan tidak mendukung cara pandang dan intoleran dan radikal.

Rohis juga hanyalah satu wajah pelajar di Indonesia dan tidak pula dapat disimpulkan pelajar Islam di Indonesia diwakili pandangan keagamaan yang dikembangkan Rohis. Tapi setidaknya, kita juga tak bisa mengabaikan indikasi memang ada “masalah” dalam sebagian cara pandang keagamaan mereka.

Dalam banyak forum saya sering mendapatkan pernyataan atau pertanyaan mengapa hanya Islam. Jawaban sederhananya karena untuk konteks Indonesia dan negara-negara berpenduduk muslim, faktor Islam tak bisa dilepaskan begitu saja.

Pernyataan dan pertanyaan itu seringkali, ini kesan saya, untuk lari dari kenyataan kekerasan, terorisme, memang dilakukan oleh mereka yang mengaku Islam, terlepas bahwa mereka salah menafsirkan agamanya. Atau kesan saya yang lain adalah bahwa pernyataan itu lahir dari kecurigaan, setidaknya asumsi, bahwa riset-riset tentang kekerasan dalam Islam merupakan cara orang lain menjelek-jelekan Islam.

Saya mengatakan, salah satu masalah terbesar kita adalah ketika kita mengabaikan dan menolak untuk menerima kenyataan dan menyadari memang ada masalah dalam tubuh sebagian internal umat Islam. Ini sama dengan si sakit yang merasa tak sakit.

Bahwa Islam tak mengajarkan kekerasan, ini pernyataan klasik dan klise. Agama dan keyakinan di dunia inipun mengklaim demikian. Sama halnya kenyataan banyak agama didera masalah radikalisme dan sangat mudah kita ketahui jika kita mau membaca. Pertanyaannya mengapa ada radikalisme dan intoleransi atas nama agama? Itu masalah kita. Dan masalah paling besar justru pada penyangkalan radikalisme dan intoleransi duri dalam daging umat Islam.

Tentu saja tugas berat kita yang lain adalah menunjukan hal-hal yang baik dari sejarah dan praktik kehidupan umat Islam.