Rocky Gerung, Orang-Orang Dungu dan Kisah Sufi yang Mungkin Tidak Ia Mengerti

Rocky Gerung, Orang-Orang Dungu dan Kisah Sufi yang Mungkin Tidak Ia Mengerti

Rocky Gerung sering berkata soal dungu, tapi tahukah ia makna itu dari kisah sufi dan kitab-kitab?

Rocky Gerung, Orang-Orang Dungu dan Kisah Sufi yang Mungkin Tidak Ia Mengerti
Rocky Gerung kerap berbicara kata Dungu, tapi ada banyak yang tidak tahu makna kalimat ini

Entah, sejak sering diucapkan oleh Rocky Gerung, kata “dungu” jadi terdengar amelioratif. Malah jadi terdengar unyu. Kedengarannya saja sih. Kalau dikatain “dungu”, orang tetap bakal tersinggung juga.

Kata “dungu” kesukaan Rocky Gerung mengingatkan saya pada kitab klasik karya Ibnu al-Jauzi (abad ke-6 Hijriah) berjudul “Akhbar al-Hamqa wa al-Mughaffalin”—jadi kitab itu ditulis sekitar 900 tahun sebelum Rocky Gerung pertama kali mengucapkan kata “dungu” dan 900 tahun lebih sedikit lagi sebelum pilpres 2019.

Judul “Akhbar al-Hamqa wa al-Mughaffalin” itu kira-kira artinya “Kabar Tentang Orang-orang Dungu”.

Kitab itu berisi tentang … ya tentang kedunguan dan orang-orang dungu. Menurut kitab itu, kedunguan itu tabiat. Namanya juga tabiat; susah dicarikan obat.

Menurut saya, “Akhbar al-Hamqa wa al-Mughaffalin” ini salah satu kitab klasik yang isinya cukup kocak. Beberapa isinya bikin ngikik penuh hikmah. Apa itu ngikik penuh hikmah? Gak tau juga. Pokoknya gitulah.

Jika Anda pernah mendengar ungkapan “dungu tidak mengenal batas” atau yang mirip seperti itu, jangan-jangan ungkapan tersebut berasal dari kitab ini. Artinya, ungkapan itu telah berusia 900 tahunan. Dalam kitab itu disebutkan, seorang Muktazilah ditanya apa batas kedunguan. Dia menjawab, “Saaltani ‘an ma laisa lahu haddun.” Dalam mode Rocky Gerung, kalimat Arab itu artinya: “Ente nanya tentang sesuatu yang gak ada batasnya tuh.”

Ibnu al-Jauzi mencatat, ada 40 sinonim dari kata “dungu” dalam bahasa Arab. Nah ini kocak juga. Menurutnya, kalaupun orang dungu tidak punya keutamaan [yang bisa dibanggakan], dia bisa merasa cukup [bangga] dengan banyaknya istilah dungu untuknya.

Selain kalimat-kalimat yang bikin ngikik penuh hikmah, dalam kitab ini Ibnu al-Jauzi juga memuat kata-kata eksplisit yang kadang bikin ingin ketawa tanpa takut dosa. Semisal ungkapan ini: “Jangan berteman dengan orang dungu. Orang dungu itu kadang bersungguh-sungguh ingin menolongmu, tapi salah; kadang dia ingin bermanfaat buatmu, tapi malah bikin celaka. Dia lebih baik diam daripada bicara. Lebih baik jauh darinya. Dan … orang dungu lebih baik mati.” *Ngakak!*

“Jangan marah kepada orang dungu. Percuma; marah kepada orang dungu malah bikin sengsara sendiri.” *Ngakak lagi*.

“Menjauhi orang dungu itu mendekatkan kepada Allah.” *Astaghfirullah. Ngakak lagi.*

“Ada empat orang: tiga, silakan ajak bicara; yang satu, jangan. Tiga orang itu: pertama, orang tahu dan dia tahu bahwa dia tahu; silakan ajak bicara. Kedua, orang yang tahu tapi dia melihat dirinya tidak tahu; silakan ajak bicara juga. Ketiga, orang yang tidak tahu dan dia melihat dirinya memang tidak tahu; silakan ajak bicara juga. Satu orang itu: orang yang tidak tahu tapi sok tahu; jangan ajak bicara—dia orang dungu.” O, begitu.

Tentu saja, kutipan eksplisit berikut ini bikin orang-orang jenggotan kebakaran jenggot:

الحمق سماد اللحية فمن طالت لحيته كثر حمقه

“Kedunguan itu pupuk untuk jenggot. Orang yang makin panjang jenggotnya berarti kedunguannya makin banyak.” Setelah menulis kalimat ini, saya langsung elus-elus jenggot sendiri.

Familiar dengan kalimat itu?

Iya, betul. Setelah sekitar 900 tahun ungkapan itu berlalu, Anda baru mendengarnya dari Kiai Said Aqil Siroj di abad ke-21 ini. “Semakin panjang jenggot, semakin goblok!” Begitu kan kira-kira.

Jadi, sebenarnya, bukan Kiai Said yang mencetuskan ungkapan itu. Bisa jadi beliau pernah membaca kitab “Akhbar al-Hamqa wa al-Mughaffalin”—saya yakin itu.

Bahkan, mundur puluhan sebelum Ibnu al-Jauzi mengutip ungkapan “panjang jenggot makin goblok” itu, Imam al-Ghazali sudah menulis kutipan serupa dalam “al-Ihya”:

كلما طالت اللحية تشمر العقل

“Saat jenggot panjang, otak jadi berkurang.”

Bahkan, lagi, mundur sekitar tiga abad sebelum Imam al-Ghazali menulis, konon, Imam al-Syafii juga mengatakan,

كلّما طالت اللحية، تكوسج العقل

“Saat jenggot panjang, otak jadi pendek.”

Disebut “konon”, sebab, sejauh ini, kutipan tersebut bukan bersumber karya-karya Imam al-Syafii sendiri, melainkan dari kitab “al-Wafi bi al-Wafayat” karya al-Safadi.

Apa artinya? Jadi, perkara kutipan “jenggot dan kedunguan” itu semestinya populer di kalangan kaum Sunni seperti mayoritas Anda-Anda sekalian. *Ngikik.* Sunni semua tuh yang mengutip ungkapan tersebut. Dikutip para ulama besar Sunni yang dapat diduga jenggotan semua, begitu Kiai Said Aqil yang mengutip, pada kebarakan jenggot, yang kebakaran jenggot orang-orang Sunni juga. Bisa gitu?! *Ngikik.* Apa perlu dibikin akun SunniGarisLucu untuk menampung kelucuan kesunnian yang tercecer? Biar orang Sunni sendiri kenal khazanah Sunni kaffatan wa guyonan.

Oke, perkara jenggot ini kita cukupkan.

Intinya adalah, jika belakangan ini Anda mendengar kata “dungu” dari Rocky Gerung dan para pengagumnya dengan contoh-contoh kedunguan yang “sekuler” dan “politis”, cobalah perkaya pengetahuan Anda perihal kedunguan dengan membaca kitab klasik dari khazanah Islam karya Ibnu al-Jauzi, “Akhbar al-Hamqa wa al-Mughaffalin” tadi, agar Anda dapat melihat kedunguan dengan tatapan penuh hikmah dan kebijaksanaan d̶a̶l̶a̶m̶ ̶p̶e̶r̶m̶u̶s̶y̶a̶w̶a̶r̶a̶t̶a̶n̶ ̶p̶e̶r̶w̶a̶k̶i̶l̶a̶n̶, bukan melihat dan melontarkan “dungu” secara dungu sebagai makian—biar gak jadi keliatan dungu juga kan ya.