Robohnya Kuil Kami: Catatan Santri Kelana di Jepang

Robohnya Kuil Kami: Catatan Santri Kelana di Jepang

Saat di Jepang, boro-boro untuk makan, untuk ibadah saja susah. Kami perlu berjalan jauh untuk menemukan masjid di pusat kota.

Robohnya Kuil Kami: Catatan Santri Kelana di Jepang
Gerbang Torii (Torii gate) di Kuil Itsukushima, Miyajima Jepang. Penanda dimensi spiritual agama di Jepang

Tak pernah terbayangkan oleh Afzal, santri di Pesantren Bumi Cendekia, bahwa pengalamannya tinggal di jepang akan mengubah pandangannya terhadap identitas keislamannya.

Kebanggan-kebangaanya sebagai muslim, runtuh, tapi terbangun ulang di saat yang bersamaan. Selama ini, ia hidup sebagai muslim mayoritas di Indonesia. Di negara ini dia mendapatkan banyak ‘kemewahan’, mulai dari mudahnya mencari makan, tempat ibadah, hingga pasangan.

Saat di Jepang, boro-boro untuk makan, untuk ibadah saja susah. Kami perlu berjalan jauh untuk menemukan masjid di pusat kota. Itu di kota, jangan tanya saat kami di desa. Tidak ada masjid, kami bisa sholat di penginapan kami dengan sepi.

Sebagai muslim yang belajar di pesantren, pengetahuan agama Afzal cukup di atas rata-rata orang Indonesia, tapi untuk praktik kesehariannya, ternyata tak ada salahnya ia belajar dari budaya yang berbeda. Interaksinya dengan alam dan manusia jepang selama dua minggu dalam program international volunteer membuatnya merenungi beberapa keadaan umat Islam.

Hal pertama yang paling terasa adalah masalah urusan kebersihan. Dalam pengamatannya, tidak ada sampah yang berserakan. Hampir semua hal tertata rapi. Selaras dengan “Annadzofatu minal iman”. Kebersihan sebagian dari Iman. Kontras dengan negara-negara mayoritas muslim yang beberapa diantaranya terkenal dengan tata kota dan kelola sampah yang buruk. Siapa yang punya jargon, siapa yang melaksanakan. Mereka memperhatikan urusan kebersihan ini sampai detail, sedetail bagaimana di toilet disediakan tombol khusus agar keluar suara yang bisa menyamarkan aktivitas orang di dalamnya.

Kedua, Komitemen. Jamak di dengar kalau orang jepang tepat waktu. Afzal dan kawan-kawan cukup sering kena omel di masa awal-awal adapatasi dengan budaya jepang yang serba tepat waktu. Mereka begitu detail merencanakan ruang antar kegiatan.

Tapi ada hal lain yang menarik sebagai contoh. Jadi begini, selama di Jepang, kami sama sekali tidak tidur di hotel. Kami tidur di rumah warga lokal di pedesaan Jepang. Rumah yang kami huni ini adalah rumah lawas yang sistem toiletnya saja mungkin ketinggalan 30 tahun dibandingkan rumah-rumah lain di daerah sana.

Satu ketika, seorang tetangga mengetuk pintu kami dengan muka masam. Tanpa bahasa yang kami mengerti (orang Jepang memang payah Inggrisnya), ia menunjukkan gesture mencium bau tak sedap dengan menunjuk satu bagian di samping rumah yang kami tempati. Ternyata, saptic tank kami meledak! Jumlah kami yang ber 14 dan sistem toilet lama membuat combo ini bisa terjadi. Kami melaporkannya pada pemilik rumah, Tatsuya namanya.

“Okay, I will fix it

Dengan respon begitu, kami lega. kami kembali beraktivitas biasa, siap-siap diri untuk kerja lapangan.

Beberapa saat kemudian, bau busuk menyengat. Kami tengoklah di samping rumah. Ternyata, Tatsuya, dengan dua ember di tangannya, meneteng kotoran kami secara manual. Bukannya meminta bantuan pada sedot wc, tapi ia memilih menanggungnya sendirian. Kami tersentak, bukan saja karena dia sudah cukup tua umurnya, tapi itu pekerjaan yang harusnya tidak dilakukan oleh Direktur lembaga konservasi semacam dia.

Dalam satu malam kami tanya kepada Tatsuya-san. Kenapa dia mau melakukan itu?

“Itu adalah tanggung jawabku, komitmenku, adalah menjaga kalian tetap nyaman di sini”. Padahal bisa saja dia minta staffnya untuk melakukan.

Tapi jepang juga bukan negara paripurna tanpa masalah. Jika indonesia punya cerpen terkenal yang judulnya “Robohnya Surau Kami”, mungkin orang jepang menghadapi situasi yang hampir sama, “Robohnya Kuil Kami”.

Dalam kunjungan kami ke beberapa kuil shinto di pedesaan jepang, tidak hanya satu kami temukan kuil-kuil yang hampir roboh. Seperti nyaris beberapa dekade tidak dikunjungi.

Moro-san, teman Jepang saya selama di sana, cerita. Ia tak pernah memikirkan masalah agama sampai akhirnya dia pergi ke luar jepang dan mengetahui bahwa agama menjadi alasan sekaligus solusi bagi perpecahan umat manusia. Ketika saya tanya,

“Moro-san, apa agamamu?” (saya berani tanya ini karena kami dekat)

“Saya tidak pernah memikirkan itu, saya juga tak yakin apa agama saya”

“Terus, gimana caramu menikah?”

“Orang tua saya menikah di kuil, tapi teman-teman semasaku menikah di gereja,” ujarnya.

“Berarti kamu Kristiani?”

“Tidak juga, itu hanya karena style yang sedang tren. Kami melihatnya keren di televisi”

“Jadi, kamu menikah secara kristen tapi bukan kristiani?”

“Iya, seperti kami merayakan natal untuk bersenang-senang.”

Percakapan ini membuat saya penasaran dengan apa yang terjadi dalam dunia spiritual orang Jepang. Maka, saat sharing night dengan kawan-kawan Jepang, kami tanyakan dua hal yang tabu ditanyakan di sana: agama dan perang. Pertanyan pertama kami, “Dari apa yang saya lihat, agama tidak menjadi bagian penting dalam kehidupan kalian, mengapa?”

Sebelum menjawab pertanyaan itu, mereka saling pandang dulu, mungkin tak menyangka seberani itu kami bertanya.

“Dulu kami percaya bahwa Kaisar adalah dewa, maka ketika kami kalah perang di tahun 1945 membuat kaisar ‘memperlihatkan wujud’ manusianya, seketika kesakralan itu sirna,” ujar mereka.

“Kami bekerja keras sekali untuk membangun Jepang kembali. Namun, ketundukan kepada kaisar bukan tidak ada bekasnya. Jepang bisa tertib hari ini, tak lepas dari sejarah samurai dan kekaisaran. Kami taat pada aturan, tapi di saat yang sama, anak-anak jepang biasanya tidak kreatif atau kritis”. Kami memang melihatnya begitu, saat kami berkegiatan di sekolah jepang, anak-anak di sana diam, tidak aktif di kelas.

Karena mereka sudah singgung perang, maka saya bahas lah itu (meskipun sebelumnya kami dipesani oleh mitra program untuk tidak menanyakan itu). “Apakah kalian tahu bahwa Jepang pernah menjajah Indonesia?”

Pertanyaan ini dijawab oleh Moro-san, “Kakek saya adalah seorang tentara, ketika saya berkeliling dunia, terutama ke negara-negara di Asia, saya mendapati bahwa mereka punya kesan yang buruk dengan Jepang di masa lalu. Mungkin ini tak membantu, tapi saya minta maaf apa yang telah terjadi di masa lalu. Maafkan kakek saya.”

Permohonan maaf ini jujur menggetarkan saya, entah mengapa. Kata-kata sederhana yang diucapkan, seakan menjadi sihir yang membuat haru pertemuan malam itu. Seorang cucu dari negara penjajah, meminta maaf kepada cucu negara yang dijajah.

Kami adalah anak-anak zaman yang berusaha move on dari masa lalu. Dan move on bukan berarti ‘berpindah’ masa saja, tapi juga menyelesaikan urusan masa lalu dengan membahas dan saling meminta maaf. (AN)