Raden Mas Panji Sosrokartono (1877-1952), kakak kandung Raden Ajeng Kartini yang belakangan dikenal sebagai Eyang Sosro, adalah cendikiawan nusantara generasi pertama yang berkarir di luar negeri. Saat usianya masih 22 tahun dan merasa kurang cocok kuliah di sekoloah Teknik Tinggi (Polytechnische) di Delft, Eyang Sosro muda pindah ke Fakultas Sastra dan Filsafat (Faculteit van de Letteren en Wijsbegeerte) di Leiden jurusan Sastra Indonesia (Letterkunde van de Oost-Indische Arciple). Setelah mendapatkan gelar Docterandus in de Oostersche Talen dari Leiden tersebut, dia mengembara ke beberapa negara di Eropa dengan menjelajahi pelbagai pekerjaan.
Selama perang dunia I dia bekerja sebagai wartawan perang pada koran New York Herald dan New York Herald Tribune. Setelah perang usai dia sempat bekerja sebagai penerjemah di Wina, bekerja sebagai ahli bahasa di kedutaan Perancis di Den Haag, sebelum akhirnya menjadi penerjemah untuk kepentingan Perserikatan Bangsa-bangsa di Jenewa.
Semasa bekerja di New York Herald Tribune, RMP Sosrokartono sempat membuat gempar masyarakat internasional. Kala itu, entah bagaimana caranya, dia berhasil meliput rapat rahasia para pemimpin dunia dan memberitakannya di koran. Sebagai polyglot yang sedikitnya menguasai 17 bahasa dan cukup cerdas bahkan jenius, karirnya di luar negeri memang sangat terbuka lebar. Begitupun secara akademis, untuk menjadi professor sangatlah niscaya. Karena itulah maka atas masukan Christiaan Snouck Hurgronje, seorang sarjana Belanda yang sangat menguasai budaya oriental, khususnya nusantara, pemerintah kolonial Hindia Belanda pun membatasi geraknya.
Dengan alasan demi memenuhi panggilan untuk berbakti kepada Nyai Ngasirah, ibundanya yang sudah sepuh, pada bulan Juni tahun 1925 RMP Sosrokartono meninggalkan semua pekerjaan dan peluangnya berkarir di luar negeri. Dia kembali ke tanah air. Tentu saja pemerintah Belanda kian mengaggap kepulangannya sebagai ancaman. Maka ditawarilah dia berbagai jabatan tinggi yang cukup prestisius untuk ukuran orang pribumi kala itu. Namun semua tawaran itu ditolaknya dengan halus. Ingin istirahat dulu, katanya.
Falsafah Kantong Bolong
Kantong bolong adalah laku hidup Eyang Sosro. Setelah mendapatkan restu ibundanya, RMP Sosrokartono menetap di Bandung. Awalnya dia tinggal di hotel Pasundan, namun karena statusnya sebagai pimpinan Sekolah Menengah Nasional (Nationale Middlebare School), ia mendapatkan sebuah kamar di gedung Taman Siswa. Yaitu gedung yang didirikan atas prakarsa RM Soerjoadipoetro, Ketua Taman Siswa Jawa Barat, adik Ki Hajar Dewantara. Para pengajar di Sekolah Menengah Nasional tersebut antara lain: Ir. Soekarno, Dr. Samsi, Soenarjo SH, Suwandi, serta para mahasiswa.
Setelah tidak lagi menjadi pengajar, Eyang Sosro sempat berpindah-pindah, tinggal di rumah beberapa orang yang dengan senang hati memberikan tumpangan untuknya. Antara lain adalah keluarga Tomowirjo dan Ibrahim Tirtosapoetro yang waktu itu masih sama-sama melajang. Di rumah yang ditumpanginya tersebut, RMP Sosrokartono fokus melanjutkan memberikan pengobatan kepada siapa saja dengan media air putih. Tamu-tamu yang datang minta diobati terus bertambah hingga tak tertampung di dalam rumah yang ditinggalinya. Dan semua tamu-tamu yang datang untuk mendapatkan kesembuhan tersebut, sama sekali tidak dipungut bayaran.
Pada tahun 1930, ketika Perguruan Taman Siswa pindah dari Jl. Pungkur ke Jl. Cikakak, atas prakarsa sahabat-sahabatnya yang menjadi pengurus Budi Oetomo Bandung, maka didirikanlah perkumpulan Monosoeko. Ikatan kekeluargaan itulah yang akhirnya berinisiatif menyewa rumah bekas gedung Taman Siswa di Jl. Pungkur No. 7. Sebagai tempat tinggal RMP Sosrokartono dan sekaligus tempat melayani masyarakat yang mengharapkan kesembuhan dari berbagai penyakit yang mereka derita.
Tidak hanya itu, tempat tersebut juga difungsikan sebagai perpustakaan umum. Dimana buku-bukunya merupakan sumbangan dari berbagai kalangan. Antara lain adalah dari dua orang insinyur perusahaan kereta api Staats Spoorwegen, tiga orang partikelir bangsa Belanda, dan beberapa orang lainnya dari Jawa dan Tionghoa. Ia menamai “padepokan”-nya tersebut sebagai Daroes-Salam yang berarti Wisma Keselamatan.
Eyang Sosro tidak sempat menikah sepanjang hayatnya. Sejak tahun 1942 separuh badannya lumpuh, namun tetap melakukan praktik pengobatan kepada orang-orang yang dating kepadanya sampai dengan hari Jumat Paing tanggal 8 Pebruari 1952, dimana dia telah menghembuskan nafas terakhirnya di “padepokan”-nya Daroes-Salam.
Karena itu di kalangan pengkaji sosrokartanan, kantong bolong tidak pernah dianggap hanya sebatas falsafah. Menurut R. Mohammad Ali misalnya, dalam bukunya yang bejudul Ilmu Kantong Bolong; Ilmu Kantong Kosong; Ilmu Sunyi dikatakan bahwa ilmu kantong bolong bukan sebuah falsafah karena ia tidak sekedar daya fikir manusia tetapi adalah rumusan dari sebuah laku, yaitu laku hidup Eyang Sosrokartono. Menurut Ali, falsafah hanyalah semata-mata rumusan pemikiran ahli filsafat yang terpisah dengan prilaku perumusnya. Ali mencontohkan Arthur Shopenhauer yang melahirkan falsafah pesimistis dalam “memperlakukan” dunia. Menurutnya, sang filsuf menyerukan pengingkaran terhadap kemewahan dunia tetapi kehidupan pribadinya justru bergelimang harta.
“Menolong sesama manusia tanpa memerhatikan waktu, perut, kantong. Bila kantong berisikan sesuatu, isi itu dengan pasti dan senantiasa mengalir kepada sesama manusia.”
Ungkapan Eyang Sosro itulah yang kemudian digunakan oleh para pengkaji kebijakan sosrokartanan menamai laku hidup RMP Sosrokartono sebagai Ilmu Kantong Bolong, Ilmu Kantong Kosong, atau Ilmu Sunyi. Yang sesungguhnya merupakan terjemahan innaa lillaahi wa innaa ilayhi raaji’uwn dalam laku kehidupan sehari-hari. Wallaahu a’lamu bisshawaab.