Riuh “Cendol Dawet” yang Mengalahkan “Togog-Kadrun”

Riuh “Cendol Dawet” yang Mengalahkan “Togog-Kadrun”

Setelah riuh Cebong-Kampret usai, muncul istilah togog dan kadrun, namun Sobat Ambyar tak mau kalah dengan Cendol Dawet-nya.

Riuh “Cendol Dawet” yang Mengalahkan “Togog-Kadrun”
Sumber twitter official Didi Kempot

Bergabungnya Prabowo dalam pemerintahan Jokowi tidak juga menyelesaikan masalah.  Ternyata masih ada saja pihak pihak yang memiliki kepentingan menjaga suhu masyarakat tetap terbelah, entah untuk kepentingan politik, kelompok ataupun golongan, yang jelas fakta menunjukkan polarisasi masyarakat khususnya di media sosial masih terjadi. Kini bukan lagi Cebong VS Kampret melainkan berevolusi menjadi Kadrun VS Togog.

Kadrun adalah akronim dari kadal gurun. Hewan ini hidup di hamparan Gurun Timur Tengah dan Afrika Utara. Diskursus narasi politik identitas yang memanaskan suhu politik tanah air pasca gelaran pilpres menjadi salah satu sabab musabab lahirnya penyebutan Kadrun. Kadrun ini disematkan untuk kelompok yang setidaknya memiliki atribut di antaranya terlalu latah dengan Arab, pro terhadap NKRI bersyari’ah (bahkan disebut pro khilafah), tidak pro terhadap pemerintahan Jokowi dan cenderung sektarian.

Sementara Togog, di samping akronim dari tolol dan goblog merupakan nama dari tokoh pewayangan yang identik dengan sifat jahat. Secara kebetulan, gambaran tokoh ini berada di belakang Jokowi ketika santap siang bersama Prabowo pasca-pertemuan MRT. Prabowo sendiri kala itu membelakangi tokoh Semar. Semar ini dalam epos pewayangan Jawa adalah pemimpin kaum pandawa atau kesatria baik, sementara Togog adalah tokoh yang memimpin ksatria jahat atau Kurawa. Togog ini kemudian disematkan sebagai julukan bagi pendukung Jokowi dan pemerintahan barunya.

Jika kita amati di media sosial, secara umum bentuk perseteruan antara Kadrun VS Togog tersebut bergeser sudah tidak lagi seputar pilpres. Namun trhiller lanjutan pasca gelaran pilpres selesai. Kubu pendukung kelompok penguasa dituduh mendukung cara-cara iliberal dan otoritatif guna menjaga status quonya. Di sisi lain, kubu kelompok oposisi dituduh menggunakan cara-cara non-demokratis untuk menantang sang penguasa.

Polarisasi evolutif dua kelompok di atas (baca: Cebong dan Kampret menjadi Kadrun dan Togog) tak pelak lagi mengkristalkan kebekuan yang sempat hampir mencair, utamanya di media sosial. Dampaknya, narasi politik identitas masih tetap saja mendominasi ruang publik kita. Kasus dugaan pencekalan dan overstay HRS yang dimainkan lagi oleh pihak-pihak yang kecewa dengan merapatnya Prabowo ke pemerintah memantik polarisasi diskursus publik yang sebelumnya sudah mulai mencair. Disusul dengan dugaan pelecehan Nabi Muhammad oleh Sukmawati dan Gus Muwafiq seolah menjadi kayu bakar baru yang terus memanaskan kembali perseteruan tersebut.

Jika kita tengok teori Identitas Sosial milik Henri Tajfel dan John C. Turner misalnya, bisa kita dapati bahwa kategorisasi sosial berdasarkan komparasi antar kelompok secara efektif dapat menghasilkan pembedaan antara kelompok sendiri (in-group) dan kelompok lain (out-group). Yang dimaksud identitas sosial di sini adalah suatu bentuk eksplorasi identitas sosial yang dimiliki oleh masing-masing individu maupun suatu kelompok yang turut bermain dalam dinamika politik utamanya politik praktis elektoral.

Di samping sebagai penegasan akan eksistensi diri dan kecenderungan identitasnya, kelompok-kelompok identitas ini akan saling berupaya melindungi (atau meningkatkan) posisi dan status kelompoknya masing-masing. Upaya tersebutlah pangkal dari polarisasi bahkan konflik tak berkesudahan pasca gelaran pilpres 2019. Residu politik ini tentu dikhawatirkan akan memecah belah sendi-sendi persatuan bangsa.

Berbagai pendekatan yang bersifat struktural telah diupayakan baik oleh akademisi, agamawan, praktisi politik bahkan guru bangsa melalui berbagai gerakan kolektif untuk menguatkan kembali persatuan dan nasionalisme kebangsaan serta merajut kembali keretakan antar komponen bangsa yang pernah terjadi. Massifnya upaya struktural ini tentu akan dinilai positif oleh banyak fihak meskipun tak jarang malah memicu friksi baru.

Di tengah jengahnya masyarakat terhadap polarisasi tersebut, publik dihibur dengan trendingnya Didi Kempot yang hadir dengan tagline cendol dawet dan sobat Ambyarnya. Disamping menjadi fenomena baru karena ia sanggup mengusung genre musik campursari yang dianggap milik kelas bawah ke level Nasional, tournya ke berbagai daerah dan kota di Indonesia menjadi tontonan viral di kanal youtube dan nyatanya beberapa kali menjadi trending topic di berbagai platform medsos.

Meskipun masih terlalu dini untuk menilai Didi Kempot telah mengubah lanskap polarisasi dan keterbelahan publik, namun setidaknya narasi Kadrun VS Togog kini memiliki penyeimbang baru yakni cendol dawet dan sobat ambyar.

Sebagaimana kita amati bersama, konser Didi Kempot akhir akhir ini selalu penuh sesak dengan pengunjung. Dengan berbagai latar belakang dan kecenderungan politik yang berbeda, secara tidak langsung The Godfather of brokenheart ini telah memainkan peran mengorkestrasi persatuan bangsa secara kultural melalui musiknya dan lebih dari itu ia juga punya andil dalam menggeser narasi-narasi perpecahan di ruang publik kita.

Orkestrasi kulturalnya melalui musik campursari mampu menembus sekat sekat tebal perbedaan yang ada di tubuh masyarakat yang selama ini bisa jadi sulit ditembus oleh upaya lembaga dan institusi baik milik pemerintah, pendidikan bahkan agama.

Diametralnya jurang perbedaan emosi publik akibat perseteruan panjang di media sosial pasca gelaran pilpres larut dan luruh dalam konser sang legenda. Kampret, Cebong, Kadrun dan Togog pun menggema bersama dalam teriakan cendol dawet dan sobat ambyar.

Sekali lagi, meskipun masih terlalu dini dan prematur untuk menilai pergerakan Didi Kempot sebagai salah satu bentuk upaya moderatif kultural utamanya dalam belantara hiruk pikuk perseteruan di sosial media akibat residu pilpres, namun nyatanya cendol dawet dan sobat ambyar cukup menggeser wacana Kadrun VS Togog dari ruang publik medsos kita. (AN)