Hengkangnya jilbab dari kepala Rina Nose belum lama ini sepertinya menemukan momentumnya untuk kita kembali diriuhkan dengan fenomena identifikasi kesalehan seseorang berdasarkan norma-norma simbolik. Terlebih bagi mereka yang maniak berjejaring dengan media sosial.
Tak ayal, sang aktris pun kebanjiran hujatan meski pada saat yang sama ada juga yang mencoba mendukungnya. Termasuk upaya dukungan dari Abi Khirsna, kembarannya yang meminta publik agar tidak menghakimi (detik.com, 17/11).
Berbondong-bondong sekelompok orang kemudian menyajikan dalil-dalil agama, baik di kolom komentar sosial media, atau minimal status whatsapp dan insta story untuk menjustifikasi bahwa jilbab merupakan simbol kaffah-nya seorang muslimah, dan oleh karena itu, wajib untuk dibalutkan ke sekujur tubuh. Bila perlu sampai ke sandal-sandalnya.
Dalam hal ini, memang benar, bahwa ada nash yang mensyaratkan perintah berjilbab. Saya pun mengimaninya. Ya, Q.S. al-Ahzab [33]: 59 selalu dijadikan garda depan dalam menghakimi mereka yang belum bahkan tidak berhijab.
“Hai, Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu, dan wanita-wanita orang mukmin agar mereka mengulurkan atas diri mereka jilbab mereka. Itu menjadikan mereka lebih mudah dikenal sehingga mereka tidak diganggu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”, demikian kira-kira bunyi firman Tuhan versi lengkap jika mengacu pada terjemahan Alquran Kemenag RI.
Dalam konteks Indonesia hari ini, sepertinya ayat itu semakin seksi saja. Selain untuk kepentingan tadi, ayat ini juga seringkali memenuhi kolom komentar warganet kita dengan harapan bahwa yang dikomentari akan bertaubat kemudian berhijab, atau minimal sebatas menggugurkan kewajiban ber-amar ma’ruf nahi munkar supaya terlihat lebih islami. Bahkan, tak jarang juga kita jumpai ayat itu menghiasi iklan atau baliho-baliho industri per-jilbab-an.
Yang kemudian menjadi masalah adalah jika ayat ini dipahami secara parsial lalu sekonyong-konyong meniscayakan secara tekstual. Padahal ayat ini memiliki sisi historisitas yang cukup kental dan tidak sederhana. Istilah yang lebih syar’inya adalah sebab-sebab turunnya ayat (asbab al-nuzul), yang dalam salah satu riwayat (berkaitan dengan surat al-Ahzab 59) menyebutkan berkaitan dengan Istri-istri Nabi yang keluar rumah dan kebetulan mendapat gangguan dari sekelompok munafik. Lalu, turunlah ayat itu.
Jika kita telaah lebih jauh, antara riwayat sebab turunya ayat dengan kondisi sosial pada waktu itu, ada semacam elan vital, ketercocokan semangat. Ya, apalagi kalau bukan identitas sosial bagi muslimah masa lalu agar tidak diganggu.
Sementara, dalam keterangan yang penulis peroleh dari pakar tafsir kita, Quraish Shihab (2012), beliau menyatakan tidak hanya muslimah, ada banyak kelas sosial termasuk non-muslimah budak yang saat itu lazim menggunakan jilbab (penutup kepala). Jadi, agar ada ciri tegas untuk membedakan muslimah merdeka dengan kaum budak serta non-muslimah, perintah “mengulurkan” jilbab dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan riil masa dan keadaan tersebut.
Selain itu, jangan dibayangkan kalau indikator sesuatu sehingga dapat dikatakan “mengganggu” antara Arab dengan kita itu sama. Demikian kiranya realitas psiko-sosial yang memang tidak sama antara kita dan orang Arab. Psiko-sosial suatu masyarakat yang memang terbentuk oleh habitus yang khas, unik, dan memang beragam. Karena itu agar kita li ta’arafu, saling mengenal, saling tahu.
Pada titik ini maka, bisa kita mafhumi mengapa penulis kitab tafsir al-Tahrir wa at-Tanwir berdarah Tunisia, Ibn ‘Asyur, mengajukan pandangan bahwa soal model jilbab diserahkan kepada selera masing-masing individu sepanjang tujuan dan semangat Q.S. Al-Ahzab [33]: 59 (“… sehingga mereka tidak diganggu”) tercapai. Perkara ini sama halnya, misalnya, dengan perintah qisash bagi kasus pencurian yang dalam hukum positif kita diwujudkan tidak dengan potong tangan, melainkan dengan hukuman penjara.
Karena itu, mengenai para muslimah Indonesia zaman now yang memang menghendaki belum atau bahkan memilih tidak untuk berhijab untuk alasan tertentu, selama ia mampu menerapkan semangat “…sehingga mereka tidak diganggu” saya kira tidak perlu dipermasalahkan, apalagi untuk mengukur tingkat kesalehan seseorang.
Anwar Kurniawan, Aktivis Perdamaian dari Klaten.