Richard Dawkins dan Mentalitas Defensif Muslim

Richard Dawkins dan Mentalitas Defensif Muslim

Twit Richard Dawkins telah memicu kontroversi. Bagaimana kita mesti menyikapinya?

Richard Dawkins dan Mentalitas Defensif Muslim

Richard Dawkins dan Mentalitas Defensif Muslim

AE Priyono (Peneliti pada Public Virtue Institute)

 

Baru-baru ini, seorang tokoh atheis terkemuka dari Inggris, Richard Dawkins, menulis sebuah tweet melalui akun twitternya. Entah untuk iseng atau sekadar nyinyir, atau memang sebuah ungkapan tulus menyambut kaum Muslimin yang sedang merayakan Idul Fitri, tweet yang ditulis 8 Agustus lalu, sekitar jam 9 pagi waktu Inggris, itu berbunyi begini:  “Dunia Muslim mempunyai pemenang Nobel lebih sedikit dibandingkan (yang pernah dimiliki) Universitas Trinity, Cambridge. Meski demikian mereka pernah melakukan hal-hal besar pada Abad Pertengahan.”

Tweet itu menimbulkan berbagai reaksi. Di-retweet sebanyak 1,438 kali dan dijadikan favorit oleh 656 follower-nya, tweet itu dikecam oleh para pemilik akun twiter Muslim sebagai ungkapan rasis dan anti-Islam.

Para tweeps lain yang lebih netral menanggapi keributan itu dengan santai. Rata-rata mereka menertawakan reaksi berlebihan tweeps Muslim yang seperti tersolot itu. Bukankah tweet Dawkins itu hanya “statemen tentang fakta?” Mengapa meributkan statemen faktual dan objektif, dengan reaksi emosional dan subjektif?

Mereka membela Dawkins. Dengan menyebut “Dunia Islam,” Dawkins tidak sedang mengartikan itu sebagai suatu ras. “Dan Dawkins bukan seorang rasis.” Jadi, siapa yang sesungguhnya bersikap rasistis?

Sampai 12 Agustus lalu, pro-kontra atas tweet Dawkins yang menghebohkan itu terus berlanjut.

Martin Robbins, seorang penulis liberal yang provokatif menanggapi kehebohan itu dalam sebuah artikelnya di Newstatesman, 9 Agustus lalu. Dengan nada mengejek, Robbins mengatakan tweet Dawkins itu adalah tweet-kurang-kerjaan. Mengapa Dawkins tidak membandingkan njomplang-nya selisih pemenang Nobel laki-laki dibandingkan perempuan? Mengapa usil membandingkan Dunia Islam dengan Universitas Cambridge? Dengan mengatakan bahwa kaum Muslim punya banyak prestasi pada Abad Pertengahan, menurut Robbins, Dawkins juga sedang melecehkan prestasi itu karena “setelah Abad Kegelapan, semua capaian harus dianggap meragukan!”

Menurut Robbbins, dengan menggunakan istilah “Dunia Islam” Dawkins bukannya tidak sadar sedang menggaris-bawahi diskursus rasistik Barat terhadap Muslim. Dawkins memang tidak secara langsung menyerang Islam sebagai agama, tetapi dia sedang “melancarkan perang terhadap sekelompok orang  yang diidentifikasi sebagai berasal dari suatu wilayah geografis tertentu dan yang diasosiasikan dengan etnisitas tertentu,” kata Robbins.

http://www.newstatesman.com/religion/2013/08/atheism-maturing-and-it-will-leave-richard-dawkins-behind

Melalui tweets itu, demikian Robbins melanjutkan, Dawkins sebenarnya sedang mencari dukungan dan perlindungan baru terhadap kampanye atheistiknya, sebuah promosi atas atheisme dengan A besar. Mengapa itu dilakukan sekarang, karena kampanye-kampanye anti-agamanya selama ini semakin mendatangkan kecaman bahkan dari para pembacanya di Barat sendiri. Dengan cara itu Dawkins, kata Robbins, justru sedang mendangkalkan dirinya sendiri. Ini tragedi seorang penganjur atheisme.

Lain reaksi Martin Robbins, lain pula Mustofa Akyol. Dalam artikelnya di Hurriyet Daily News, sebuah koran digital Turki berbahasa Inggris, 14 Agustus 2013 lalu, penulis prolifik itu menganggap penilaian bahwa statemen Dawkins dipenuhi sentimen rasis dan Islamofobia adalah penilaian yang berlebihan.

http://www.hurriyetdailynews.com/why-muslims-have-only-few-nobel-prizes.aspx?pageID=449&nID=52473&NewsCatID=411

Pertanyaan mengapa Dunia Muslim hanya memiliki sedikit pemenang Nobel, adalah pertanyaan yang valid dan faktual. Pertanyaan ini penting dijawab oleh kaum Muslim sendiri dengan kepala dingin. Akyol hanya heran, mengapa Dawkins mengajukan pertanyaan itu secara spesifik untuk Dunia Muslim. Bukankah pertanyaan yang sama sebenarnya juga berlaku untuk Dunia Kristen, misalnya di kawasan Amerika Latin? Bukankah Dunia Kristen di kawasan itu juga mengalami apa yang dialami Dunia Islam, bukan hanya menyangkut kemunduran dalam bidang ilmu pengetahuan dan sains, tetapi juga dalam demokrasi dan liberalisme?

Apapun motif Dawkins, pertanyaannya justru membuat kaum Muslim harus mencari penyebab-penyebab faktualnya. Menegaskan bahwa pada Abad Pertengahan kaum Muslim pernah melakukan banyak hal terbaik bagi peradaban dunia, Akyol mengutip seorang sejarawan Amerika, Martin Kramer, yang pernah mengatakan bahwa dari 1000 hadiah Nobel yang pernah dikeluarkan, sebagian besar harusnya diberikan kepada para tokoh Muslim masa lalu itu. Tetapi tentu saja, dengan mengutip Kramer secara demikian, Akyol menjadi anakronistik.

Juga tampaknya terlalu spekulatif ketika Akyol mendeteksi penyebab kemunduran Dunia Muslim sejak abad ke-13 itu sebagai terjadi karena pergeseran tektonik kekuatan ekonomi dari Dunia Arab ke Dunia Barat. Benar kemunduran ekonomi telah menyebabkan keterbelakangan peradaban. Tetapi menyebutkan keterbelakangan peradaban semata-mata karena hilangnya kemakmuran adalah sejenis penyederhanaan persoalan.

Saya lebih suka mengutip argumen Akyol berikutnya. Ia menyebutkan bahwa kesuksesan Dunia Muslim seribu tahun yang lalu itu terjadi karena mereka berhasil membangun peradaban yang berwatak kosmopolit.

Inilah yang mempengaruhi terbentuknya alam pikiran yang terbuka, yang tidak merasa takut atau minder ketika berhubungan dengan peradaban-peradaban lain. Itulah pula mengapa para sarjana Muslim ketika itu begitu percaya diri mengadopsi pemikran-pemikran Yunani Kuno, Kekristenan Timur, Yudaime, Persia, dan India, atau Cina – lalu mensintesakannya dengan Islam.

Dewasa ini budaya kosmopolit itu telah lenyap di Dunia Muslim. Alam pikiran Muslim sekarang cenderung – untuk mengutip Nono Anwar Makarim bertahun-tahun yang lalu – “mengurek ke dalam.” Akyol menambahkan, selain bersifat inward-looking, Dunia Muslim sekarang ini dipenuhi oleh ketakutan, prasangka, kecurigaan, dan hasil akhirnya: minderan. Dilatarbelakangi oleh kekalahan di segala bidang dibandingkan prestasi peradaban lain, alam pikiran Muslim itu kini menjadi tertutup. Terfokus pada kebutuhan untuk “melindungi” Islam dari pengaruh buruk dunia luar.

Diagnosis klinis terhadap peradaban Islam seperti yang dilakukan Akyol itu mirip dengan yang dulu dilakukan Wertheim terhadap kaum Muslim Indonesia. Wertheim pernah menyebut diidapnya secara kontradiktif “mentalitas minoritas” di kalangan Muslim, juga “mentalitas terkepung” oleh lingkungan luar yang dianggap memusuhi.

Dengan seluruh neurosis seperti ini, tak mengherankan jika muncul mentalitas defensif di kalangan Muslim. Akyol menyebut ciri-ciri neurosis yang sedang diderita kaum Muslim dewasa ini. Mereka misalnya selalu menolak gagasan-gagasan “kaum kafir,” dan karena itu lebih suka mengulang-ulang ajaran para leluhurnya. Mereka menutup pintu terhadap semua inovasi yang berasal dari luar. Bahkan curiga jika gagasan-gagasan inovatif itu datang dari generasi baru, itu dianggap sebagai infiltrasi.

Jadi?  Inilah kesimpulan Akyol: Jika kaum Muslim ingin mendapatkan Nobel lebih banyak, mereka harus melawan pemikiran cupat akibat mentalitas defensif itu. Mereka harus menjadi lebih terbuka. ***