Ria Ricis dan Gejolak Masyarakat Post-Islamisme

Ria Ricis dan Gejolak Masyarakat Post-Islamisme

Ria Ricis dan Gejolak Masyarakat Post-Islamisme

Masyarakat modern berhasil membuat agama dan modernitas hidup rukun berdampingan dengan jerat kapitalisme yang ada disekelilingnya.

Nama aslinya adalah Ria Yunita tetapi lebih dikenal sebagai Ria Ricis. Adik dari artis Oki Setiana Dewi ini lahir pada tanggal 1 Juli 1995. Sosoknya mulai dikenal media sosial khususnya instagram karena sering membuat videogram dan foto meme yang lucu. Alhasil dengan kreatifitasnya tersebut dia menjelma menjadi selebgram dengan banyak orang yang mengikuti akun Instagram-nya.. Menurut saya Ria Ricis merupakan sosok yang berbeda dibandingkan selebgram lain. Dibalik hijab yang dipakainnya, Ria Ricis berani memposting beragam tingkah konyol dirinya dan gaya hidup muslimah ala kelas menengah. Sebuah praktik “pendobrakan” representasi seorang muslimah berhijab yang selalu diidentikan sebagai sosok yang santun, pendiam, lemah lembut dan sederhana. Ricis bukanlah ikon tetapi dia adalah representasi dari para muslimin dan muslimah era sekarang yang bukan hanya hidup dalam kedamaian antara modernitas dan ajaran agama. Mereka menjadi orang-orang post-islamisme.

Konsep tentang post-islamisme berasal dari pengamatan Arief Bayat (1996) terhadap munculnya acara-acara dakwah agama islam yang ditayangkan di televisi yang ada di negara Iran,Mesir serta Negara-negara Timur Tengah lainnya (Heryanto,2015: 50). Mereka para pemuka agama menggunakan media televisi yang merupakan buah dari proses modernitas zaman sebagai media untuk memberikan ajaran-ajaran agamanya. Secara sosiologis, konsep post-islamisme memperlihatkan bahwa agama dan modernitas tidak selalu bertentangan tetapi sebaliknya. Sebenarnya konsep Arif Bayat tentang post-islamisme yang berangkat dari pola baru dakwah pemuka agama di timur tengah juga terjadi di Indonesia. Di sini banyak sekali para pemuka agama yang menggunakan televisi sebagai media dakwah. Bahkan bukan hanya sekedar dakwah, para pemuka agama bisa menjelma sebagai penghibur di televisi dengan lawakannya walaupun tetap menyisipkan pesan-pesan agama didalam lawakannya tersebut. Sekarang, ketika internet semakin mudah diakses kegiatan dakwah pun dilakukan disana. Melalui media sosial atau website blog masyarakat muslim seperti Ria Ricis ataupun yang lain bisa mendapat ajaran agama di dunia maya. Internet berhasil menembus batas ruang dan waktu. Dengan kekuataan jaringan yang dimiliki internet telah menciptakan sebuah ruang baru. Ruang dimana semua orang berada dalam hiperealitas. Jean Baudrillard (1983) mengatakan bahwa realitas kini tidak sekedar dapat diceritakan,direpresentasikan dan disebarluaskan. Lebih jauh,realitas kini dapat dibuat,direkayasa dan disimulasi (Medhy Aginta, 2012:72).

Selain itu gejolak post-islamisme bukan hanya menjalar dalam segi perubahan media dakwah saja tetapi juga merangsek kedalam kebudayaan populer di masyarakat. Kemunculan film Ayat-ayat Cinta (2008), Perempuan Berkalung Sorban (2008) dan Ketika Cinta Bertasbih (2009) bisa dikatakan menjadi pionir lahirnya film-film Indonesia yang bertema religius. Selain film, gaya berpakaian pun juga tak mau kalah. Munculnya gaya-gaya baru dalam jilbab para muslimah oleh aktor-aktor budaya membuat motif menutupi kepala bagi muslimah bukan lagi soal ajaran agama tetapi sudah menjadi mode. Ricis dan para remaja muslim kelas menengah adalah generasi yang lahir bersama teknologi virtual. Generasi yang menikmati hiburan dari televisi dan internet yang bisa membawa realitas ke layar kaca. Mereka juga generasi yang menikmati kemudahan berkomunikasi tanpa jarak dan waktu. Dari kecanggihan teknologi itulah generasi multitasking. Generasi yang bisa menikmati beragam hal dalam satu waktu. Generasi yang bisa membaca kitab suci Al-quran di telepon pintar sembari mengecek pesan yang masuk ataupun melihat laman foto-foto di instagram ataupun status kawan di facebook.

Menjadi Komoditas

Fenomena post-islamisme yang ada sekarang membuktikan bahwa agama sudah bersanding dengan modernitas. Selain dalam wujud post-islamisme, agama dan modernitas juga menciptakan praktik komodifikasi agama. Praktik komodifikasi agama semakin massif terjadi sekarang. teknologi yang mampu merekayasa realitas ke masyarakat bukan membuat masyarakat menjadi terpukau dengan realitas yang dibuat tetapi terbius untuk menjadi konsumtif. Hal tersebut dilihat peluang oleh para pemodal untuk menciptakan praktik kapitalisme.

Kegiatan komodifikasi agama sebenarnya sudah cukup kuat terjadi walaupun perkembangan teknologi belum massif seperti sekarang. Dengan preferensi agama yang ada didalam masyarakat serta norma dan nilai di dalam agama, komodifikasi agama bersembunyi diantara keduanya sehingga praktik kapitalisme jarang dikritik bahkan disadari. Praktik komodifikasi agama di era sekarang dibantu bukan hanya atas preferensi dan hal-hal yang mengatur masyarakat beragama saja seperti nilai dan norma tetapi juga karena adanya modernitas dan globalisasi. Modernitas membuat wujud agama semakin modern. Agama bukannya berdamai dengan rasionalitas ataupun positivistik tetapi justru agama hadir sebagai oase dikala kedua hal tersebut tidak mampu memenuhi hasrat ketenangan batin masyarakat modern. Selain itu hampir sama seperti fenomena post-islamisme, persepsi agama yang dinilai tradisional dan kaku secara simbol mulai direkonstruksi ulang dengan beragam simbol-simbol baru yang bertujuan untuk menjaga eksistensi agama di zaman modern.

Di Indonesia praktik komodifikasi agama terjadi dalam beragam bentuk. Baik dalam kegiatan ekonomi ataupun praktik dakwah. Misalnya pada kegiatan ekonomi seperti industri fesyen. Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif terdahulu yaitu Mari Elka Pangestu pernah mengatakan bahwa Indonesia mampu menjadi kiblat fashion muslim se-dunia pada tahun 2020 (tempo.co 07/06/2014). Ucapan beliau nampaknya akan jadi kenyataan karena sosok-sosok desainer busana muslim asal Indonesia seperti Dian Pelangi, Jenahara dan Ria Miranda karyanya mendapat apresiasi yang bagus di luar negeri. Selain itu produk make up atau perias wajah juga ada praktek komodifikasi agama. Dengan sertifikat “halal” dari lembaga berwenang yaitu Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang dimiliki, status atau label tersebut dipakai sebagai branding yang bertujuan untuk menarik minat pasar. Bicara mengenai sertifikat halal, baru-baru ini sebuah produk hijab kenamaan sempat heboh dengan mengaku bahwa hijab yang dimilikinya halal. Status halal dari produk hijab tersebut membuat heboh karena mengindikasikan bahwa ada produk hijab yang tidak halal dan secara tidak langsung menyudutkan produk hijab lain yang tidak mendapat sertifikat halal.

Selain dalam ranah industri busana, Komodifikasi juga terjadi pada kegiatan dakwah. Pada tahun 2013, masyarakat sempat dihebohkan dengan pemberitaan bahwa salah seorang Ustad yang meminta bayaran dalam kegiatan dakwahnya. Kisahnya bermula ketika perkumpulan masyarakat Indonesia di Hongkong yang tergabung di Majelis Thoriqul Jannah meminta Ustad tersebut untuk mengisi dakwah disana. Pada awal perjanjian, pihak Ustad mengatakan bahwa dia mau dibayar dengan tarif seikhlasnya dan dua tiket pesawat untuk dirinya dan sang manajer. Tetapi setelah permintaan siap dipenuhi Ustad tersebut berubah pikiran dan meminta tambahan dua tiket lagi dan minta dibayar 10 juta dolar Hongkong (Liputan6.com 15/08/2013). Adanya fenomena tersebut mungkin sudah menjadi rahasia umum karena jika melihat gaya hidup hedon dari para Ustad yang selalu mengisi televisi secara logika kehidupan hedon membuat individu mengeluarkan biaya yang besar dalam mencapai kepuasaan.

Fenomena komodifikasi agama memang tidak terlepas dari kapitalime ekonomi. Ketika ada sesuatu yang memiliki nilai guna dan banyak peminat, para pemodal langsung memproduksinya dalam jumlah besar dan menjualnya kepada masyarakat. Tidak hanya sebatas menjual. Pemodal melakukan beragama upaya reproduksi ideologi agar para konsumen menjadi candu. Ini yang memperparah keadaan. Kapitalisme tidak hanya menindas para buruh tetapi juga konsumen. Ricis dan para manusia post-islamisme bisa jadi merupakan korban. Mereka yang selalu dipapari beragam produk di media sosial ataupun media komunikasi lainnya membuat mereka menjadi konsumtif. Lalu demi memenuhi mereka rela ditindas pemodal siang dan malam demi mencari pundi-pundi uang demi memenuhi hasrat hedon. Disitulah kapitalisme semakin subur dan berkembang. []