Review Film How to Train Your Dragon, Teknik Membangun Masyarakat yang Berbeda

Review Film How to Train Your Dragon, Teknik Membangun Masyarakat yang Berbeda

Review Film How to Train Your Dragon, Teknik Membangun Masyarakat yang Berbeda

Berkisah tentang Hiccup, remaja Viking yang tinggal di pulau Berk, tempat di mana manusia dan naga saling bermusuhan selama berabad-abad, Dreamworks kembali sukses dengan film How to Train Your Dragon (selanjutnya disingkat; HTTYD) yang kali ini di-remake versi live-action.

Disutradarai oleh Dean DeBlois, orang yang sama di balik trilogi animasinya, versi live-action ini setia pada tulang punggung cerita aslinya. Kita kembali bertemu Hiccup, putra Kepala Suku Stoick the Vast, yang kecerdasan dan kreativitasnya justru membuatnya terasing. Ia dianggap “gagal” memenuhi standar keberanian Viking.
Titik baliknya tiba ketika ia bertemu Toothless, seekor naga jenis Night Fury—naga paling misterius dan ditakuti.

Saat ada kesempatan, alih-alih membunuh sang naga seperti yang diharapkan masyarakat, ia justru menjalin persahabatan yang “unik” dengan Toothless.
Sebagai penggemar berat trilogi animasinya, saya datang dengan dua beban: ekspektasi dan nostalgia. Mampukah versi realistis ini menangkap ekspresi menggemaskan Toothless? Bisakah versi ini memenuhi sisi nostalgia saya, menikmati scene-scene ikonik seperti ketika Hiccup membuat bonding dengan Night Fury dengan menyentuh kepalanya.
Atau ketika Hiccup sedang “test-drive” si Night Fury dengan sayap ekor buatannya, membuat manuver-manuver indah di langit dengan sentuhan scoring music indah ala John Powell.

Sebelum menonton ini, imaji naga di benak saya adalah monster buas seperti di The Lord of The Rings, Harry Potter, dan Game of Thrones. Rupanya, HTTYD live-action berani mengambil jalan tengah; sebuah kompromi antara desain “menggemaskan” dari animasinya dengan realisme yang membuatnya tetap terlihat mematikan. Menurut saya, kompromi visual ini berhasil.

Dalam film ini, sisi manja dan muka imut Night Fury tidak dieksploitasi habis-habisan. Ia tetap dipotret sebagai apex predator mematikan dan penguasa langit.

Wajahnya bisa menampilkan rasa penasaran layaknya seekor kucing, namun di scene berikutnya bisa berubah menjadi sangat intimidatif. Tetapi semakin lama menonton film ini, keinginan untuk bernostalgia justru makin luntur. Saya malah hanyut dalam versi live action ini.

Salah satu pondasi cerita yang membuat plot film ini kuat adalah soal permusuhan berabad-abad antara manusia dan naga. Bangsa Viking ingin memusnahkan naga karena mereka merasa terancam oleh naga. Sang Kepala Suku bahkan berambisi untuk ekspansi dan menaklukan sarang naga utamanya yang belum diketahui di mana.
Menurut mereka, naga adalah hama yang wajib dimusnahkan karena mengganggu hajat hidup masyarakat di pulau Berk.

Salah satu kredo yang terpatri dalam benak bangsa Viking adalah “naga harus dibunuh! Jika tidak, maka naga yang akan membunuh manusia”.

Doktrin ini melahirkan tradisi turun temurun berupa “latihan membunuh naga” bagi remaja yang akan menjadi prajurit bangsa Viking. Plot ini dihadirkan sejak awal film dan menjadi basis konflik yang kuat untuk plot selanjutnya.
Doktrin ini diperkuat oleh klaim antroposentris bahwa “tanah Berk adalah milik bangsa Viking”—sebuah arogansi yang mengabaikan fakta bahwa nagalah penghuni asli teritori tersebut.

Status quo ini begitu kokoh hingga setiap suara yang menentangnya dianggap sebagai pengkhianatan terhadap bangsa Viking.
Tak disangka, antitesis dari semua itu justru lahir dari Hiccup, sang putra mahkota. Melalui persahabatannya dengan Toothless, ia membongkar akar dari kebencian tersebut. Meminjam tesis Edward Said, bangsa Viking melakukan “othering” terhadap naga, menciptakan stereotip absolut karena mereka tidak pernah mencoba memahami “liyan”.

Hiccup sadar, ayahnya dan kaumnya membenci naga bukan karena mereka jahat, tapi karena mereka tidak pernah benar-benar mengenalnya. Stigma “naga adalah pembunuh” yang melekat pada Hiccup runtuh justru ketika ia bertemu dengan naga yang dianggap “paling mematikan” di jagad universe-nya How to Train Your Dragon.

Hiccup tidak sendiri. Bersama Astrid, seorang pejuang perempuan Viking yang akhirnya berpihak kepadanya. Interaksi yang lebih dalam dengan Toothless mengantar Hiccup dan Astrid pada fakta bahwa akar “serangan” para naga ke Berk bukanlah tindakan agresi, melainkan keterpaksaan.

Para naga itu dieksploitasi oleh predator alfa yang jauh lebih besar di sarang mereka. Fakta ini meruntuhkan seluruh justifikasi perang kaum Viking.

Dalam film HTTYD, Hiccup dan Astrid merupakan representasi anak muda sebagai katalisator perdamaian dan resolusi konflik. Keduanya secara tidak langsung dihadapkan oleh para pejabat tinggi Viking yang dipenuhi orang tua yang kolot dan keras kepala.

Keduanya menawarkan sintesis norma baru bagi kaum Viking bahwa harmoni sosial lahir dari kesediaan setiap individu untuk menghargai eksistensi sang liyan, bukan menaklukkannya. Hiccup muncul dengan pandangan baru bahwa naga tidak berbahaya. Yang “membunuh” adalah egosentris manusia atas teritorinya.
Naga adalah bagian dari ekosistem alam. Justru manusia lah yang memulai konflik dengan membunuh naga-naga ini. Mereka tidak hanya belajar cara melatih naga, tetapi juga cara membangun masyarakat yang baru.

Tak hanya soal society, HTTYD juga merupakan studi karakter yang intim tentang hubungan ayah dan anak. Jantung emosional film ini berdetak dalam dinamika antara Hiccup dan ayahnya, Stoick the Vast. Stoick adalah cerminan dari tekanan sosial itu sendiri: seorang pemimpin dan ayah yang mencintai putranya, namun cintanya terkondisikan oleh ekspektasi kaku tentang bagaimana seorang “Viking sejati” seharusnya bersikap.

Perjalanannya adalah tentang melepaskan ego dan doktrin untuk akhirnya melihat bahwa keberanian putranya tidak terletak pada otot, melainkan pada empati dan welas asih. Momen ketika ia akhirnya menerima Hiccup apa adanya menjadi katarsis yang lebih kuat daripada pertempuran melawan naga mana pun, membuktikan bahwa untuk membangun dunia baru, perubahan seringkali harus dimulai dari unit sosial terkecil; keluarga.

Ini film mahal. Bukan hanya soal pesannya, tetapi visualnya. CGI-nya elit dan engga pelit. Cinematic-nya sangat indah dan memanjakan mata, terutama ketika kita diajak Hiccup dan Toothless berselancar di sela-sela awan di langit yang luas. Penyesalan soal film ini hanya satu dan itu datang dari kesalahan saya sendiri, yaitu kenapa tidak menontonnya di layar besar iMax.
… Hemmmm.