Revenge Porn, Hilangnya Consent dan Pendidikan Seksual yang Masih Dianggap Tabu

Revenge Porn, Hilangnya Consent dan Pendidikan Seksual yang Masih Dianggap Tabu

Dari kasus tersebarnya video seksual beberapa waktu lalu, kita bisa belajar beberapa hal terkait revenge porn, consent, dan pentingnya pendidikan seksual.

Revenge Porn, Hilangnya Consent dan Pendidikan Seksual yang Masih Dianggap Tabu

Beberapa waktu lalu nama seorang artis menduduki kolom trending topic Twitter. Kabarnya terdapat video hubungan seksual mirip artis yang tersebar luas di media sosial. Dari kasus tersebut, kita bisa pelajari masih minimnya pengetahuan dan kesadaran terkait revenge porn, consent, dan pentingnya pendidikan seksual.

Respon dari warganet tentang video tersebut tertuju pada sosok perempuan yang mirip si artis. Kicauan warganet sudah melebihi hakim yang memutuskan perempuan tersebut benar atau salah tanpa proses penyelidikan dan penyidikan. Mulai yang menganggap perempuan itu moralnya rusak, atau menganggapnya sebagai karma yang layak diterima si perempuan. Kicauan warganet kebanyakan menjurus pada menyalahkan perempuan. Padahal, pada kebanyakan kasus penyebaran konten pornografi seperti ini, perempuan lah yang sering menjadi korban.

Terlepas dari benar tidaknya video tersebut mirip dengan sosok artis, kita bukan polisi moral yang berhak menghukum si peraga video. Apabila video tersebut dilakukan atas perizinan atau consent kedua belah pihak peraga maka hal tersebut tergolong ranah privat. Urusan privat tersebut beralih menjadi permasalahan ranah publik ketika hal yang awalnya menjadi consent kedua pihak peraga, tetapi akhirnya tersebar melalui orang lain yang tidak diberikan consent tersebut.

Sama seperti kasus video pornografi yang tersebar, masyarakat yang melihat konten tersebut pada dasarnya bukan pihak yang diberikan consent. Hal ini tentu merugikan korban yang oleh warganet, kesalahannya ditumpukan pada perempuan.

Dalam kasus semacam ini perempuan sering dicap gagal menjaga moralnya sekalipun dalam konten video tersebut juga melibatkan adanya laki-laki. Kurang lebih aggapan umumnya adalah, perempuan yang rusak akan wajar menarik laki-laki untuk berbuat rusak pula.

Kekerasan Berbasis Gender Online

Consent menjadi hal yang penting dan sering disalahgunakan dalam Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO). KBGO merupakan kekerasan yang terjadi dengan perantara media dan teknologi. Beda KBGO dengan kekerasan lainnya adalah ada unsur tujuan melecehkan korban berdasarkan gendernya di dunia maya. Dari catatan Tempo tanggal 6 Oktober 2020, kasus KBGO yang terjadi di Facebook dialami perempuan sebanyak 39%, instagram 23%, WhatsApp 14%, Snapchat 10%, twitter 9%, dan Tiktok 6%.

Plan International melakukan survei kepada 14.000 anak perempuan di 22 negara termasuk Indonesia dengan rentang umur 14-25 tahun. Survei tersebut menyatakan bahwa 58% dari mereka pernah menjadi korban KBGO. Pertanyaannya adalah mengapa perempuan sering menjadi korban KBGO? Jawabannya merujuk pada cara pandang masyarakat yang masih memandang rendah perempuan sebagai objek pemuasan hasrat seksual semata.

Berhubungan dengan consent yang sudah dibahas di awal, salah satu bentuk KBGO yang melanggar consent adalah tindakan revenge porn. Revenge porn menjadi bentuk KBGO yang paling sering terjadi menurut Catatan Tahunan Komnas Perempuan tahun 2019.

Revenge porn merupakan tindakan penyebaran konten pornografi yang pada umumnya menyasar perempuan sebagai korban. Penyebaran konten tersebut biasanya dilakukan oleh orang terdekat korban seperti pacar atau teman dalam satu lingkaran. Bisa jadi si korban memberikan consent kepada pacarnya dengan melakukan video call sex (VCS) atau foto topless. Sekali lagi consent tersebut hanya diberikan kepada pacarnya. Namun, banyak sekali peristiwa di mana pacar mengirimkan rekaman video atau gambar tersebut kepada orang lain yang notabene tidak diberikan consent oleh korban untuk melihat.

Motif awal penyebaran konten pornografi tersebut bermacam, ada yang balas dendam karena keinginannya tidak dipenuhi korban, ada yang menjadikannya sebagai bahan “gertakan” agar keinginan pelaku untuk mengakses kembali konten seks dipenuhi oleh korban, atau ada pula yang iseng ingin menyebar konten seksual tersebut agar dapat dinikmati di lingkaran pertemanannya sendiri.

Jika ada pertanyaan, kenapa perempuan yang menjadi korban bisa memberikan VCS atau foto toplessnya kepada pacar? Seperti yang sudah disinggung diawal, jika sudah ada consent dan mengetahui segala konsekuensinya, itu masuk ranah privat yang tidak perlu dihakimi publik. Namun sayangnya, banyak perempuan yang melakukan VCS atau foto topless dengan pacar karena tidak teredukasi tentang apa itu consent, tidak berani menolak, dan tidak mengetahui dengan seksama apa konsekuensi yang akan terjadi mendatang.

Sexual Consent dalam Pendidikan Seksual

Pandangan umum di masyarakat masih menganggap hal apapun yang berhubungan dengan seks adalah tabu, termasuk pendidikan seksual. Pandangan umum ini menjadi salah kaprah ketika pendidikan seksual dianggap mengajarkan anak kecil atau pelajar untuk berhubungan seks. Padahal poin utama pendidikan seksual ada di kata pendidikan, bukan seksualnya. Hal itu berarti ada unsur pendidikan tentang seksualitas yang diberikan sesuai umur agar sejak kecil anak mengetahui otoritas tubuhnya. Jika otoritas tubuh sudah diajarkan sejak kecil, maka anak akan lebih bijak dalam memperlakukan tubuhnya sendiri, termasuk tentang pemberian izin untuk melakukan kegiatan yang berhubungan dengan seks atau sexual consent.

Sexual consent adalah hal yang sangat penting dalam pendidikan seksual. Jika seorang perempuan tahu akan haknya memberikan perizinan dalam memberikan konten seksual, maka dia akan berani mengatakan tidak kepada permintaan pacar jika memang tidak berkenan. Dia tidak akan mau dipaksa. Banyak kasus VCS atau konten seks lainnya menjadi lingkaran setan karena perempuan terus diancam untuk selalu memproduksinya.

Kesadaran tentang sexual consent juga menjadi pengendali tentang siapa yang boleh menikmati konten seks yang dia buat secara sukarela. Jika memang consent hanya diberikan kepada pacar tetapi pacar menyalahgunakan dan menyebarkan ke pihak lain, maka consent sudah dilanggar. Hal ini lah yang bisa ditindaklanjuti sebagai perbuatan yang melanggar hukum.

Perempuan yang menjadi korban revenge porn dan tidak teredukasi tentang pentingnya consent berpotensi menyalahkan dirinya sendiri atas tersebarnya konten vcs atau foto topless. Naasnya, perempuan yang menjadi korban revenge porn dengan pendidikan seksual buruk cenderung tidak akan mencari bantuan atas kasus yang dia alami. Dia merasa malu dan tabu untuk menceritakan dan mencari pertolongan karena merasa kasusnya adalah aib yang akan menghantuinya seumur hidup.

Di sini perempuan menjadi korban tiga kali: korban dari peyebaran konten pornografi, korban pergunjingan masyarakat terhadap dirinya yang dianggap gagal sebagai perempuan bermoral, dan korban atas ketidaktahuan pendidikan seksual sehingga berbelok menjadi menyalahkan diri. Padahal ketika sexual consent sudah diberikan pada pendidikan seksual, maka dia bisa mengerti bahwa memberikan kesempatan foto topless atau vcs memiliki konsekuensi apa dan bisa mengambil sikap jika ia menjadi korban revenge porn.

Pendidikan seksual juga bisa mencegah pemikiran bahwa perempuan hanya makhluk pemuas seksual belaka. Laki-laki yang teredukasi pendidikan seksual akan menghargai tubuhnya dan tubuh lawan jenisnya sehingga Kekerasan Berbasis Gender baik itu online maupun offline tidak dia lakukan kepada perempuan. Pendidikan seksual yang tersampaikan dengan baik akan mengikis relasi kuasa yang timpang pada laki-laki dan perempuan. Otoritas dan penghargaan atas tubuh akan menyadarkan anggapan bahwa tanggung jawab tubuh dan perilaku seksualnya adalah kendali penuh si pemilik tubuh. Harapannya, hal ini akan mengubah pandangan secara total tentang perempuan sebagai satu-satunya penanggung ukuran moral di masyarakat.