Memanjatkan doa adalah keniscayaan yang dilakukan manusia sejak dahulu kala. Entah percaya atau tidak pada Tuhan, manusia pasti memiliki rasa takut dan pengharapan terhadap sesuatu. Apapun itu, yang dirapalkan adalah hal yang baik: Kesehatan, keselamatan, kesejahteraan, bahkan kemakmuran untuk dirinya dan orang sekitar. Semua orang melakukan itu.
Rendah diri dihadapan Tuhan adalah hal yang baik (setidaknya menurutku). Siapa sih aku? Seberapa rajin solatku? Seberapa banyak hafalan Qur’anku? Sudah jadi beban keluarga, beban bangsa, beban Nusantara bahkan. Kok berani-beraninya meminta sesuatu sama Yang Maha Agung?
Namun, pikiran tersebut langsung lenyap setelah membaca buku Menjadi Manusia Rohani. Dalam buku ini, Kiai Ulil Abshar Abdalla, atau yang biasa dipanggil Gus Ulil, menjelaskan dengan terang berbagai Mutiara hikmah dari kitab agung Al-Hikam karya Ibnu Athaillah.
Buku setebal 323 halaman ini berisi penjelasan dari 50 mutiara hikmah yang tertuang dalam kitab Al-Hikam. Awal bab selalu dibuka dengan kalam mutiara hikmah dari kitab tersebut, dalam Bahasa arab. Di bawahnya persis terdapat terjemahan dalam huruf latin dan Bahasa Indonesia.
Membaca buku ini vibes-nya (kalau kata anak sekarang), seperti ngaji ala pesantren alias Bandongan. Bandongan kurang lebih memiliki arti ngaji secara kolektif menyimak Kiai membacakan kitab dan menjelaskannya.
Tulisan yang disodorkan oleh Gus Ulil adalah tulisan yang sederhana. Saya yang orang awam saja cukup dibuat paham oleh tulisan Gus Ulil. Mutiara hikmah yang tampak ‘keramat’ mampu dijelaskan dengan cukup ringkas dan jelas. Sebagai contoh, pada halaman 228 penulis menjelaskan secara mendalam tentang Islam, iman, dan ikhsan dalam satu paragraf. Maka, tidak heran bila 50 kebijaksanaan dari kitab Al-Hikam mampu diselesaikan dalam 314 halaman.
***
Manusia adalah makhluk yang memiliki akal pikiran, dan nafsu. Berbeda dengan malaikat yang diciptakan untuk selalu beribadah kepada Allah, dan binatang yang hanya memiliki nafsu dan insting. Manusia, dengan demikian, secara sadar dapat melakukan apapun dengan alasan apapun dan memahami apapun konsekuensinya.
Sayangnya, tidak semua manusia memiliki tingkat kesadaran yang tinggi, alias sering lalai. Sebagai contoh, manusia kadang lupa beribadah. Namanya lupa, itu manusiawi. Tapi kalau lupanya terus terusan, itu bukan manusiawi lagi. Itu lah yang dinamakan lalai, sedangkan Tuhan mengecam orang-orang yang lalai dalam beribadah.
Beribadah sebenarnya bukanlah tuntutan Tuhan kepada manusia. Tuhan sangat demokratis. Kalau mau beriman monggo, kalau tidak beriman juga monggo. Beribadah adalah salah satu kebutuhan rohani manusia. Disadari atau tidak, beribadah dapat meringankan berbagai beban duniawi yang dipikul.
David Fontana, professor psikolog Universitas Cadiff, berpendapat bahwa spiritual adalah landasan energi positif baik secara fisik dan psikologi. Spiritualitas manusia harusnya berada di atas ritual yang sekedar dijalankan tanpa adanya kesadaran. Dimensi spiritualitas inilah yang menjadi titik berat pada buku ini. Dari definisi sampai penjelasan maknawi, semua itu dijelaskan dengan tujuan bahwa manusia memiliki kesadaran spiritualitas.
Termasuk penjelasan mengenai doa yang dijabarkan di bab enam, “Kehendak Kecil, Kehendak Besar”. Di situ tertulis “Kita meminta karena memang seorang hamba sudah seharusnya mengajukan permintaan (thalab)” yang kemudian disambung pada paragraf berikutnya “Jangan kita mengeluh atau merasa terdampar putus asa karena ‘kehendak kecil’ kita sebagai manusia tidak berjalan seiringan dengan ‘kehendak besar’ Tuhan.”
Kesadaran kita sebagai manusia itu harus benar-benar disadari. Hubungan Tuhan dan manusia itu hubungan yang vertikal 90 derajat. Benar-benar tegak lurus. Manusia berada jauh di bawah Tuhan. Hal tersebut menegaskan bahwa manusia memang hanyalah hamba yang tidak berdaya apa-apa. Hanya setitik air di lautan.
Dengan menyadari bahwa manusia adalah seorang hamba yang lemah di hadapan Tuhan, maka sudah seharusnya manusia itu secara sadar meminta kepada Tuhan. Maka, sangat manusiawi dan bahkan termasuk pengakuan yang sangat tegas dari manusia bahwa kita bukan siapa-siapa. Minimal dengan kesadaran koordinat Tuhan dan manusia, spiritualitas manusia dapat dipupuk dan dibesar sehingga manusia menjadi manusia rohani.
Di tengah dunia yang sedang gonjang-ganjing seperti sekarang ini, buku ini dapat menjadi pegangan untuk berbuat baik secara sadar. Walaupun bahasanya sederhana dan cenderung datar, buku ini tetap saja penting untuk dibaca. Laksana sedang mendaki ke puncak gunung, buku ini menjadi tongkat penahan beban untuk mengantarkan ke puncak.