Kitab suci Al-Qur’an menempati posisi penting dan berperan besar dalam kehidupan umat Islam di Indonesia. Salah satunya, bisa dilihat dari gelombang transmisi keilmuan Al-Qur’an, fiqih, tasawuf dan tafsir Al-Qur’an yang digerakkan oleh para ulama Indonesia yang belajar di Mekkah dan di belahan dunia. Karya-karya tafsir ulama-ulama pesantren itu jadikan sebagai bahan ajar dan alat bantu untuk mempelajari Islam serta menjadi solusi bagi persoalan keummatan dari masa ke masa.
Maka, tak dapat dipungkiri bila kajian-kajian terhadap tafsir Al-Qur’an yang ditulis ulam pesantren itu demikian pesat dan dinamis sampai hari ini. Salah satunya terlihat dalam buku ini Tafsir Al-Qur’an di Nusantara (Ladang Kata & Asosiasi Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir se-Indonesia, 2020).
Ada sejumlah tafsir yang di bahas dalam buku ini. Di antaranya, Tafsir Tarjuman Al-Mustafid karya Abd Rauf Al-Singkili; Tafsir Faid Al-Rahman karya KH Shalih Darat; TafsirAl-Qur’an Al-Karim Tafsere A korang Ma’basa Ugi karya MUI yang dipimpin AG. H. Abd Muin Yusuf; Tafsir Al-Iklil Fi Ma’ani Al-Tanzil karya KH Misbah Mustafa; Tafsir Yasin karya KH. Bisri Mustafa; Tafsir Nurul Bajan dan Ayat Suci Lenyepaneun karya Muhammad Romli dan Moh. E. Hasim; hingga ke tafsir virtual yang berkembang di Indonesia.
Sorot kajiannya dari berbagai segi. Sebagian mencoba melihat dari segi kepenulisannya, aspek kecendrungan ideologis mufassirnya, menelaah sistematika, konsep dan metodologinya, model penafsiran dan aspek-aspek lainnya, hingga dampak dan pergolakan yang muncul dari tafsir-tafsir virtual di abad teknologi 4.0 sekarang.
Buku ini dibagi menjadi empat babakan. Bab pertama menarasikan tafsir Al-Qur’an: kemunculan dan perkembangannya. Bab kedua, geliat tafsir Al-Qur’an di pesantren. Bab ketiga, perkembangan tafsir kontemporer di Indonesia dan bab ke empat, perkembangan tafsir Indonesia: dari klasik, maudu’i hingga virtual. Tulisan ini hanya ingin menfokuskan pada beberapa bab dan tafsir saja.
Yang menarik dalam buku ini, ketika membahas tafsir yang lahir dari tangan dingin ulama pesantren. Ahmad Baidowi misalnya, mengkaji tafsir Al-Iklil karya KH Misbah Mustofa dengan melihat poros aspek vernakularisasi Al-Qur’an dan tafsirannya. Sebabnya ada dua alasan: pertama, Al-Qur’an merupakan kitab petunjuk sehingga nilainya tersampaikan ke masyarakat; kedua, bahasa daerah sendiri yang digunakan merupakan bukti kekayaan budaya lokal, sehingga vernakularisasi bisa menggambarkan kondisi sosio-kultural dalam tafsir tersebut.
Dengan melihat aspek vernakularisasinya, maka akan tampak unsur lokalitasnya. Tafsir Al-Iklil punya unsur lokalitas sangat kental, dari bahasa, penampilan kitabnya dan muatan penafsirannya. Misalnya, dari penggunaan bahasa, tafsir Al-Iklil menggunakan aksara Arab pegon dengan maksud untuk dibaca kaumnya, santri dan orang Jawa secara umum. Adapun dalam penerjemahannya menggunakan makna gandul, yaitu arti setiap kata yang digantungkan dalam setiap kata dari teks Arab, yaitu Al-Qur’an.
Dari aspek lokalitas penafsirannya, yang memang ditujukan kepada masyarakat Jawa, maka KH Misbah Mustafa memberikan respons terhadap hal dan tradisi yang menyangkut dalam kehidupan masyarakat Jawa. Beliau memberi kritik pada tradisi semisal kebiasaan orang Jawa ketika mendirikan rumah dengan menggunakan sesaji atau kenduri dengan membuat tumpeng yang dinilainya sebagai tradisi umat Budha. Bagi Kiai Misbah, dengan argumen tafsir ayat QS Al-Baqarah (2):10 (kata tambih), tradisi itu mencerminkan unsur-unsur kemunafikan karena tidak ada landasannya dalam Islam.
Kritik yang lain ketika menafsirkan QS. Al-Baqarah (2): 141, bahwa orang terkadang keliru dalam mentradisikan mengirimkan pahala kepada mayit dengan bacaan tahlil, dzikir, dan sebagainya (di sini yang dipermasalahkan bukan amalannya, melainkan praktikknya). Sehingga orang-orang kadang hanya mengandalkan tradisi “bantuan” orang lain untuk merapakalkan doa, bacaan Qur’an dan amalan lainnya kepada si mayit, tanpa memiliki upaya sendiri dalam meraih surga.
Padahal, menurutnya, nasib seseorang di akhirat sangat ditentukan bagaimana dia beramal di dunia, sebagaimana dikatakannya, opo maneh kanggo wong kang sembrono ono ing perkoro ngibadah lan ora anduweni roso ta’dhim marang Allah ono ing saben gibadah kag dilakoni” (h. 122). Dan di sini keikhlasan menjadi faktor penting dalam mengamalkan doa apalagi hanya “menitipkan” doa.
Dan juga, Kiai Misbah mengkritik kegiatan MTQ (Musabaqah Tilawatul Qur’an), kendati kegiatan ini sarat dengan kepentingan-kepentingan materialistik, bahkan semata-mata hanya hiburan, alih-alih sebagai niatan untuk syiar Islam.
Di tempat lain, ketika menjelaskan QS. Al-Taubah (9): 31, beliau mengkritik sikap pengkultusan terhadap guru-kiai karena tidak sesuai dengan ajaran Islam. Menurut Kiai Misbah, sebagian guru terkadang sangat berlebihan dalam mengajarkan kepada muridnya untuk tunduk kepada perintahnya, hingga murid lebih takut kepada perintah guru daripada kepada Al-Qur’an dan Allah itu sendiri. Hal demikian, akan mengekang jiwa sang murid, “gerak pikire santri lan murid, perkembangan jiwane tansah ditekan”, dan mungkin karena itu, alah-alih ajaran-ajaran masuk dan teresapi malah semakin terbuang-tertinggal.
Terakhir, ketika KH Misbah Mustafa menafsirkan QS. Al-Taubah (9): 13, beliau mendorong bagaimana agar sifat kemukminan bisa tumbuh dan berkembang untuk takut kepada Allah saja. Beliau menyadari krisis iman yang ada dikalangan umat Islam semakin menjadi. Maka beliau sangat menginginkan agar umat muslim bersifat mukminin dan bersikap Qur’ani, sehingga apa yang diinginkan umat Islam tercapai. Menurutnya, ini harus dimulai dari akarnya yaitu lembaga pendidikan umat Islam.
Di babakan tafsir kontemporer di Indonesia, Maula Sari membahas Ensiklopedi Al-Qur’an karya Dawam Rahardjo. Maula Sari menyoroti kepenulisan, sumber dan metode, corak panafsiran, sambilalu memberikan contoh penafsiran Dawam dan juga melihat kelebihan dan singkronasi Ensiklopedi Al-Qur’an dengan masyarakat.
Temuan Maula Sari yang menarik adalah ketika memetakan dan melihat alasan serta penguasaan Dawam dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an. Penguasaan Dawam menafsirkan Al-Qur’an ketika didekati dengan ragam keilmuan, seperti antropologi, atau keilmuan kesosialan yang mencoba keluar dari pekem mufassir selama ini. Yaitu, dia mencoba memfokuskan tafsir dalam diskursus sosial, ekonomi, pemerintahan dengan referensi tokoh-tokoh sosial seperti Sigmund Freud, Auguste Comte bahkan kitab agama lain.
Menurut Dawam, sebuah tafsir tidaklah harus mencakup keseluruhan Al-Qur’an. Tafsir Al-Qur’an bisa diwujudkan dalam karangan-karangan pendek sesuai disiplin ilmu yang dikuasainya. Dengan begitu, maka Al-Qur’an dapat disiarkan oleh banyak orang dari segi keahlian yang berbeda-beda. Bahkan menurutnya, menafsirkan Al-Qur’an mengatahui bahasa saja tidaklah cukup, kendati salah satu keistimewaan ayat-ayat Al-Qur’an dapat dipahami oleh berbagai macam tingkatan berfikir. Makna agar lebih mendalam bisa didapat oleh orang dengan tingkat berfikir yang lebih cerdas dan lebih berkembang (h. 257).
Bahkan dalam konteks syarat menafsirkan Al-Qur’an, Dawam tidak setuju dengan sejumlah pendapat yang memberatkan untuk menafsirkan Al-Qur’an. Bagi dia, orang kadang merasa dirinya tahu mengenai tafsir sehingga menyebarkan momok ketakutan menjadi seorang mufassir. Padahal, mereka sendiri tidak meningkatkan pengetahuannya dalam ilmu tafsir yang dapat memudahkan akses ajaran Al-Qur’an bagi orang-orang awam. Akibatnya, selain minat masyarakat berkurang, malah orang semakin takut dan berjarak pada Al-Qur’an.
Alhasil, buku ini mengajak seluruh komponen kembali menilik khazanah tafsir Nusantara dengan cara merawat, membaca, dan mengkajinya. Bahkan kalau bisa, digerakkan menjadi wacana, sebagaimana kata Dawam, agar masyarakat awam semakin vital dan dapat pencerahan dari kitab yang menjadi petunjuknya ini, Al-Qur’an.
DATA BUKU
Judul Buku: Tafsir Al-Qur’an di Nusantara
Editor: Ahmad Baidowi
Penerbit: Ladang Kata
Cetakan I: Februari 2020
Tebal: 428 halaman
ISBN: 978-623-7089-67-4