Semenjak pandemi ini, bertani dan beternak adalah kesibukan baru saya, selain mengajar. Keputusan ini saya ambil dengan segenap rasa was-was, mengingat seumur-umur saya cuma pandai ngirim makalah tugas ke dosen.
Meski begitu, keragu-raguan ini saya coba tepis dengan menonton banyak video lewat Youtube pertanian, bertemu orang-orang sejalan, hingga akhirnya saya bertemu dengan satu buku yang menohok titik keraguan itu. Judulnya adalah Gesang di Lahan Gersang.
Buku itu ditulis oleh Diah Widuretno. Bercerita tentang pengalaman Mbak Diah mendampingi anak-anak dusun Wintaos, Panggang, Gunung Kidul, untuk berdaya dari desa, ia memang layak dibaca.
Mula-mula, kegiatan yang mereka lakukan adalah bimbingan belajar. Lalu, setelah pembacaan situasi sekitar, mereka belajar menanam. Mereka menamai komunitas sederhana itu sebagai Sekolah Sumbu Panguripan yang kemudian berganti menjadi Sekolah Pagesangan.
Jangan bayangkan kalau dusun Wintaos adalah perbukitan subur yang sawahnya terbentang hijau dan diminati oleh para pengusaha restoran penjual pemandangan. Sebaliknya, faktanya Dusun Wintaos adalah satu dusun kecil di perbatasan Bantul-Gunung Kidul yang kontur tanahnya berbatu.
Air sangat sulit didapat. Itu konsekuensi geografis. Mereka lalu mengandalkan air yang turun sepanjang musim hujan. Ketika musim sedang berpenghujan, masyarakat Wintaos bercocok tanam seperti jagung, padi dan ketela. Ketika musim kemarau tiba, maka orang-orang akan bekerja di kota : menjadi buruh (yang dibayar) murah.
Anak-anak dusun Wintaos jarang yang berpendidikan tinggi. Selulus SMP, mereka biasanya akan diberi dua pilihan oleh orang tua mereka: bekerja atau menikah. Walhasil, tak ada pilihan untuk melanjutkan sekolah seperti anak-anak gedongan.
Uniknya, beberapa anak yang aktif di Sekolah Pagesangan bersikeras untuk tetap sekolah. Beberapa anak-anak bisa menego hati orang tuanya, sedangkan sisanya kalah oleh himpitan keadaan.
Orang tua yang luluh mau menanggung beaya pendidikan anaknya. Karena sekolah SMA tak ada di desa, maka mereka bersekolah di kota. Dengan tetap berkomitmen menggerakkan komunitas, ntah setiap hari atau seminggu sekali, mereka pulang kampung.
Pada awalnya semua berjalan lancar, sampai akhirnya sekolah formal ternyata habis-habisan merampok waktu anak. Tak hanya sore, kadang sabtu-minggu pun mereka tetap berkegiatan di sekolah.
Perlahan mereka menghilang, baik karena kesibukan, juga karena silau dengan gemerlap kota. Desa akhirnya ditinggalkan, menyisakan orang-orang tua yang sudah tak diperlukan kota. Dengan kondisi seperti ini, Komunitas Sekolah Pagesangan sempat goyang. Dan, setelah ditimbang lagi pegiat komunitas yang tersisa melakukan pembacaan ulang. Akhirnya sekolah habis-habisan menggali potensi desa. Mereka ‘nekat’ mengajak anak-anak yang tersisa untuk bertani—sebuah profesi yang boleh jadi dihindari pemuda dusun.
Kepada anak-anak, ditanamkan bahwa bertani adalah wujud perilaku ekonomi dan spiritual. Secara ekonomi, bertani dapat mendatangkan kesejahteran apabila diolah dan dikemas dengan cara yang baik. Untuk itu, mereka belajar dari banyak orang untuk mengolah dan mengemas sehingga nilai jual produk mereka terjual lebih tinggi harganya.
Secara spiritual, bertani adalah proses untuk bersyukur pada Ilahi. Selama ini mereka sudah dihidupi oleh tanah, sejak zaman leluhur hingga bayi yang kemarin sore baru saja lahir. Untuk itu, bertani adalah jalan ninja mereka yang mampu merenungi setiap titipan Tuhan.
Lebih jauh, bertani dimengerti bukan sebagai aktivitas yang eksploitatif, menyerap habis-habisan sari tanah, membunuh segenap mikroorganisme melalui penggunaan pupuk kimia. Mereka beralih. Sedikit-demi sedikit mereka menghidupkan nyawa tanah dengan menumbuhkan milyaran mikroorganisme melalui pendekatan organik.
Jalan yang mereka lalui bukanlah jalan yang gemerlap seperti bianglala kota. Jalan mereka sepi, sunyi, kadang juga terjal-berliku. Berkali-kali mereka mencoba menggarap tanah. Gagal. Ganti tanah lagi, gagal lagi.
Tapi, Tuhan memang Maha Baik. Dia menguji seseorang tidak lebih dari kapasitas hamba-Nya. Walhasil, dengan kemurahan hati satu penduduk, mereka bisa menempati tanah yang layak.
Kesadaran ‘menghidupkan’ tanah ini bisa kita lihat pula dalam ajaran Islam. Sebutlah hablun minal alam, biar agak beken islami gitu. Ya, hubungan manusia dengan alam.
Hubungan manusia dengan alam bukanlah hubungan yang eksploitatif. Bedakan antara yang eksploitatif dengan yang memberdayakan alam. Kita tetap boleh mengambil dari alam, tapi kita juga punya tanggung jawab spiritual untuk merawatnya. Begini kata Gusti Allah:
“Dia telah menciptakan kamu dari bumi (tanah) dan menjadikan kamu pemakmurnya.” (QS. Hud [11]: 61).
Tentu saja, ada banyak hal yang menjadi penyebab eksploitasi alam. Selain faktor modus eksistensi yang sangat destruktif, ada juga peran sains modern dalam merusak keseimbangan alam.
Di titik ini, menarik untuk menyeret kritik Sayyed Hossein Nasr, seorang pemikir asal Timur tengah, tentang sains modern. Dalam seri kuliahnya di Universitas Chicago tahun 1966, ia mengkritik pemikiran sains modern yang disebutnya telah kehilangan visi spiritual dalam memandang alam semesta.
Modernisme, menurut Nasr, berwatak kuantitatif, sekular, materialistik dan profan yang menganggap alam raya hanyalah kumpulan onggokan benda mati yang tidak bernyawa, tidak berperasaan, tidak bernilai apa-apa kecuali sebagai nilai kegunaan ekonomis. Untuk itu, Nasr mengusulkan resakralisasi alam semesta (resacralization of nature) dalam memandang dunia melalui tradisi spiritualisme agama.
Tuntas membaca buku Mbak Diah, keraguan saya untuk mulai bertani mulai berkurang. Ketika menulis artikel ini, sudah satu bulan sejak saya memulai cangkulan pertama saya. Tak selalu mulus memang. Buktinya, keawaman saya itu harus dibayar dengan sedikitnya nyawa 1500 ekor bibit lele.
Saya sedih sekali, selain karena kerugian modal, batin saya rasanya ikut merasa berdosa karena menjadi faktor kematian massal itu.
Pada titik itu, saya lalu memahami bahayanya kebodohan. Saya ngeri membayangkan, bagaimana jika korban dari ketidaktahuan ini bukan lele, tapi manusia. Bayangkan, ada satu pemimpin yang bertugas merawat jutaan jiwa, tapi karena kebebalannya, menyebabkan ribuan bahkan jutaan rakyatnya mati. Ia memang tak secara langsung menghujamkan ke jantung, sama seperti halnya saya yang tak secara langusung menombak lele itu. Tapi karena keputusan yang diambil, akhirnya dampaknya sampai ke melayangnya jiwa.
Tidak heran, hisab seorang pemimpin jauh lebih berat. Kadang saya merasa aneh, dengan resiko dan tanggang jawab semengerikan itu. Banyak sekali orang yang mencalonkan dirinya menjadi pejabat negara. Tidak Cuma mencalonkan diri, banyak juga yang tak segan membayar mahal dengan mengeluarkan uang untuk membeli suara rakyat. Aneh, seperti membayar untuk dikalungi rantai pengekang. Eh, kok malah melebar sih. Udah ya, yang jelas, buku ini memang menarik dan layak sekali dibaca. Mengapa?
Sederhana saja, ia bukan hanya mengajak kita untuk mengerti bagaimana menjadi kahlifatu fil ard yang baik, tetapi juga menggelitik kesadaran betapa kita selama ini sangatlah awam dalam mengelola alam. Buktinya, kalau alam tetap seimbang, mana mungkin corona akan datang?
Udah ya, gausah bawa-bawa takdir Tuhan, karena itu adalah lain diskusi.