
Beberapa waktu lalu, sebuah akun mengunggah video di X, memperlihatkan seorang personel seni tradisional Jathilan sedang dikerubungi dan dikejar-kejar oleh para penggemarnya yang mayoritas perempuan. Video tersebut menuai gelombang komentar bernada mencibir dari para warganet. Ujaran bernada diskriminatif seperti “aura kabupatenya sangat terlihat” atau “jatuhnya kaya maling”, menghiasi kolom komentar postingan tersebut.
Agus Mulyadi, influencer yang memang dekat dengan kesenian Jathilan buru-buru membuat klarifikasi bahwa bahan cibiran para warganet adalah seorang personel kesenian yang memang populer di daerah Magelang. Setelahnya, diskusi menjadi berimbang, dengan banyaknya aspirasi dari kalangan warganet.
Narasi-narasi ofensif terhadap masyarakat tradisional pedesaan semacam itu semakin sering kita temui. Contoh lain misalnya, maraknya penggunaan istilah-istilah seperti “warga kabupaten” atau “jamet”, sebutan untuk merujuk penampilan atau gaya hidup yang dianggap tidak sesuai dengan standar urban.
Belum lagi kritik-kritik membabi-buta terhadap ekspresi keagamaan muslim pedesaan yang juga semakin masif di dunia maya.
Lantas, sebenarnya apa penyebab dari fenomena ini?
Dominasi Kelas Urban
Survei Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) tahun 2024 mencatat bahwa 70 persen pengguna internet Indonesia didominasi oleh kalangan urban. Presentasi ini tidak jauh berbeda dalam lanskap pengguna media sosial. Bahkan di platform X (latar studi kasus di atas), pengguna kelas urban menyentuh 78 persen, sementara masyarakat rural hanya menyumbang 22 persen. Ketimpangan ini, terutama disebabkan oleh rendahnya tingkat penetrasi internet masyarakat pedesaan, akibat distribusi infrastruktur dan keterampilan digital yang belum merata.
Dominasi kelas urban yang cukup signifikan, pada tahap tertentu, membentuk semacam “monopoli identitas” dalam ruang digital kita. Maksudnya, habitus atau cara menjalani hidup (ways of living) dan cara hadir (ways of being) dari kelompok urban menjadi tolak ukur dominan dalam interaksi dan narasi media sosial. Kelas urban menjadi pemain, dan diskursus utama social space digital.
Sayangnya, kelas urban sebagai penguasa diskursus publik, kerap kali menyalahgunakan privilese tersebut. Alih-alih menggunakan kesempatan ini untuk tujuan “emansipatoris”, mereka justru menggunakannya untuk memproduksi segregasi sosial-kultural terhadap masyarakat rural. Upaya tersebut bisa dilihat dari contoh-contoh di awal tulisan, yang mencerminkan adanya pelanggengan kekerasan simbolik terhadap warga pedesaan, berupa diskriminasi, penegasan superioritas, stereotyping, dan lain sebagainya.
Dalam kerangka Pierre Bourdieu, fenomena ini bisa dibaca sebagai bentuk distinction, yaitu upaya kelas dominan (dalam hal ini kelas urban) untuk menegaskan superioritas selera dan gaya hidupnya. Lalu, apakah kekerasan simbolik terhadap kelas rural ini hanya sebatas permasalahan etis, dan merupakan sebuah dinamika sosial biasa dan alami, yang tidak perlu kita perhatikan secara serius?
Relasi Urban-Rural dalam Pusaran Populisme Politik
Distingsi terhadap kaum rural menyimpan bahaya lanjutan, yaitu meningkatkan keterasingan kultural. Pengguna dari kalangan masyarakat pedesaan kerap kali terpinggirkan. Bukan hanya sebagai subjek, diskursus tentang kelompok rural juga acapkali menjadi “other” dalam perbincangan media sosial yang urban-sentris.
Sehingga, kelompok rural merasa bahwa eksistensi diri, nilai-nilai, ekspresi, bahkan cara hidup mereka tidak memiliki tempat dalam ruang sosial digital yang kini menjadi arena utama pergaulan publik. Kelas rural merasa terasing, dan kemudian menjauhkan diri dari segala hal tentang kelas urban. Jarak sosial pun makin melebar. Solidaritas sipil lintas kelas, yang sangat dibutuhkan dalam menghadapi tantangan kolektif sekarang ini, menjadi semakin sulit terbangun.
Ketidakharmonisan relasi urban-rural juga berperan langsung dalam menyuburkan populisme politik. Jarak sosial yang lebar, rasa keterasingan dan ketidakpuasan, merupakan faktor penting kenapa retorika populisme bisa dengan mudah diterima dalam satu kelompok sosial.
Gejala ini misalnya terjadi di Amerika Serikat, seperti yang ditulis Katherine J. Cramer dalam bukunya berjudul The Politic of Resentment: Rural Consciousness in Wisconsin and The Rise of Scott Walker (2016).
Sejak 2012, melalui pendekatan etnografi, Cramer meneliti obrolan-obrolan masyarakat pedesaan di berbagai wilayah Wisconsin. Berdasarkan pengamatannya, para warga pedesaan merasa tidak mendapatkan perlakuan secara adil (baik secara ekonomi maupun sosial), diabaikan, tidak dihormati, bahkan direndahkan oleh para simpatisan kaum demokrat liberal—yang umumnya berasal dari kota-kota besar.
Di tengah akumulasi situasi tersebut, narasi-narasi emosional seperti “Make America Great Again”, berhasil membangkitkan memori kolektif masa lalu yang dianggap lebih sejahtera dan bermartabat. Tawaran “emosional”—ciri khas retorika populis—menjadi mudah diterima oleh kelompok sosial yang juga tengah mengalami krisis emosional.
Cramer menyimpulkan, bahwa kemarahan masyarakat pedesaan terhadap kaum elit perkotaan menjadi salah satu sebab kenapa mereka memilih Scott Walker sebagai gubernur Wisconsin, berlanjut dengan Donald Trump sebagai presiden. Keduanya merupakan lawan dari kandidat yang banyak mendapat dukungan kalangan perkotaan.
Contoh dari Cramer menunjukan, keterasingan yang dirasakan kaum rural memicu dampak yang lebih luas. Distingsi dengan kekerasan simbolik terhadap kaum rural, selain menghasilkan interaksi sosial yang tidak sehat, memperlemah solidaritas lintas kelas, juga berpotensi ikut andil dalam mereduksi upaya membendung populisme dan totalitarianisme politik—yang selama ini dihembuskan oleh para intelektual urban sendiri.
Narasi-narasi diskriminatif terhadap kaum rural harus dihentikan, diubah menjadi lebih emansipatif. Kelas non-pedesaan perlu melihat masyarakat pedesaan sebagai sekutu yang senasib dan setara, bukan sebagai kelompok other yang perlu diisolasi.
(AN)