Dalam “Berangkat dari Pesantren”, KH. Saifuddin Zuhri menjelaskan upaya Jepang menaklukkan para kiai pesantren dengan meletakkan perwira intelijen muslim memepet para ulama, khususnya di Jawa. Yang paling ketat diawasi secara halus oleh teliksandi Jepang adalah keluarga KH. M. Hasyim Asy’ari.
Secara khusus, Abdul Hamid Ono, muslim Jepang yang menikahi perempuan Gresik, mendapat tugas mengawasi ulama terkemuka ini bahkan sebelum Jepang mendarat. Ia secara rutin juga ikut mengaji di Tebuireng. Tutur katanya halus, sikapnya santun, dan ia luwes bergaul (dalam buku “Guruku Orang-Orang dari Pesantren”, Kiai Saifuddin juga menggambarkan cara Ono beramah-tamah dengan Kiai Wahid Hasyim).
Dalam buku “Berangkat dari Pesantren” tersebut, Kiai Saifuddin menggambarkan peristiwa di mana Kiai Wahid Hasyim yang saat itu berada di Jakarta (sebagai pejabat Shumubu–cikal bakal Kementerian Agama) kedatangan seorang kiai asal Jatim yang mau memberi info rahasia.
Di kediaman Kiai Wahid ternyata sudah ada muslim Jepang yang tak membiarkan utusan dari Jatim tersebut menyampaikan misinya. Kiai Wahid terus dipepet, bahkan saat berada di mobil. Sehingga ayah Gus Dur ini harus bersandiwara jika mesin mobil mogok agar bisa mengobrol dengan sahabatnya tersebut. Dasar intel, si Jepang itupun bahkan tak mau lengah dalam kondisi demikian sehingga terus mengawasi dan mencuri dengar atas obrolan dua orang ini.
Kiai Saifuddin memang tidak menyebut nama telik sandi tukang pepet kiai ini. Namun besar kemungkinan, dia adalah Abdul Hamid Ono yang ditugaskan memepet para ulama. Saat itu memang ada beberapa pejabat Jepang yang beragama muslim yang menjalankan misi penaklukan ulama Indonesia.
Selain Ono, ada juga Haji Saleh Suzuki dan Abdul Mun’im Inada. Nama terakhir inilah yang punya tugas memepet Habib Ali al-Habsyi Kwitang. Sehingga manakala Jepang mendarat, Inada langsung mengunjungi Habib Ali disertai Kolonel Horie, perwira AD Jepang yang ditugaskan mengurusi perkara Islam di Indonesia.
Tan Malaka, dalam “Dari Penjara ke Penjara”, bahkan dengan terang menyebut Hamid Ono sebagai “spion shimizu” yang menjalankan misi penaklukan tak ubahnya Snouck Hurgronje dan Van Der Plas di Hindia Belanda maupun Lawrence of Arabia.
Sedangkan Aiko Kurasawa, dalam “Kuasa Jepang di Jawa”, mengakui jika para muslim Jepang ini menjalankan misi propaganda yang berada di bawah naungan BEPPAN, dinas intelijen militer tentara AD Jepang (lebih pada misi propaganda).
Ketika mewawancarai Hamid Ono–yang kembali ke Jepang setelah Indonesia merdeka–, Kurasawa menulis jika Ono menganggap dirinya sebagai muslim sebenarnya, bukan sebagai bagian dari kamuflase dan penyamaran sebagaimana yang dilakoni beberapa kawan-kawannya di BEPPAN.
Lalu, bagaimana respon ulama kita? Sebagian bersikap reaktif-revolusioner sebagaimana dilakoni KH. Zainal Musthafa, Singaparna, yang melakukan berlawanan hingga akhirnya beliau gugur menjadi syuhada bersama para pengikutnya. Ada juga yang melawannya dengan cara yang khas dengan berpegang teguh pada hadits Nabi Shallallahu alaihi wasallam, yaitu al-Harbu Khid’ah alias perang adalah tipudaya. Soal ini, KH. Abdul Wahab Chasbullah bersama KH. Abdul Wahid Hasyim jagonya.
Setelah melakukan lobi kelas tinggi di Jakarta demi pembebasan KH. M. Hasyim Asy’ari dan KH. Mahfudz Siddiq akhir 1942, hubungan antara Kiai Wahab, Kiai Wahid dan Abdul Hamid Ono semakin kuat. Hamid Ono butuh keberadaan kedua kiai ini sebagai bagian dari laporan rutinnya ke kantor pusat BEPPAN di Jakarta, sedangkan Kiai Wahab dan Kiai Wahid memanfaatkan posisi Hamid Ono untuk melakukan lobi strategis di tengah posisi Jepang yang mulai terdesak di Perang Pasifik, akhir 1944. Atas lobi Kiai Wahid, Jepang setuju membentuk Hizbullah, milisi santri.
Sebelumnya, atas lobi beberapa politisi muslim, termasuk Kiai Wahid, Jepang sepakat membentuk PETA, tentara cadangan dalam negeri yang 60% komandan batalyon dan wakilnya serta ketua kompinya merupakan para kiai. Inilah uniknya, di zaman Jepang, mereka lebih memilih tokoh muslim sebagai “kawan” daripada para bangsawan yang sejak awal dikenal sebagai antek Belanda.
Kembali ke bahasan awal, dari sini saya menilai apabila relasi antara Kiai Wahid dan Hamid Ono sangat unik. Kiai Wahid jelas mengetahui posisi Ono sebagai intel sekaligus propagandis andalan BEPPAN, namun Kiai Wahid Hasyim menolak takluk dan malah memanfaatkan jaringan serta kuatnya lobi Ono ke Gunseikan untuk pembentukan milisi santri.
Kelak, dari sekian banyak putra Kiai Wahid Hasyim, KH. Abdurrahman Wahid dan si bungsu Hasyim Wahid lah yang mewarisi keluwesan ayahnya dalam memanfaatkan potensi jagat telik sandi untuk kemaslahatan.
WAllahu A’lam Bisshawab.