Relasi Suami-Istri dalam Al-Qur’an

Relasi Suami-Istri dalam Al-Qur’an

Relasi Suami-Istri dalam Al-Qur’an
Ilustrasi suami-istri (Freepik)

Dalam al-Qur’an disebutkan bahwa kalian kaum perempuan adalah pakaian bagi kaum lelaki, dan kalian kaum lelaki adalah pakaian bagi kaum perempuan (QS: Al-Baqarah ayat 187). Ayat ini jelas memposisikan lelaki sama dengan perempuan: sama-sama bagaikan pakaian bagi pasangannya.  Kenapa pakaian? Ada beberapa alasan:

Pertama, pakaian berfungsi untuk menutup aurat. Artinya suami harus bisa menutupi kekurangan dan aib istri dan istri harus bisa menutupi kekurangan dan aib suami. Soal rumah tangga harus ditutupi, privasi, tidak dibeberkan ke publik.

Kedua, pakaian berfungsi untuk melindungi tubuh dari sengatan panas matahari dan dinginnya suhu udara serta angin. Suami dan istri harus sama-sama melindungi rumahtangganya dari gangguan yang datang dari luar, intervensi dan pihak ketiga.

Ketiga, pakaian adalah simbol kemuliaan dan kehormatan serta perhiasan/keindahan. Seseorang dihormati orang lain lantaran berpakaian. Tidak percaya? Silahkan telanjang lalu jalan-jalan ke pasar. Orang lain menyangka orang gila atau minimal orang lain tidak menghormatinya. Suami-istri harus tampil baik di hadapan publik, agar terjaga kehormatannya.

Kemudian dalam ayat lain dikatakan, “Perempuanmu adalah hartsun (tanah ladang) bagi kamu sekalian lelaki”. Ayat ini menjelaskan bahwa perempuan/istri adalah tanah ladang dan lelaki/suami adalah benih. Ladang dan benih saling membutuhkan dan saling menentukan.

Sebagus apapun dan seunggul apapun benih, jika ladangnya tandus dan jelek semisal ladang gambut, maka tidak bisa menghasilkan tanaman yang dapat dipanen secara maksimal. Sebaliknya pun sebaik apapun ladangnya, jika benihnya buruk atau gabug, maka tidak bisa menghasilkan tanaman yang baik. Sehingga ladang dan benih adalah dua unsur yang sama-sama penting, saling menentukan.

Relasi suami dan istri terkadang terjadi ketimpangan relasi, lantaran suami merasa punya otoritas segalanya di atas istri, sebab suami menganggap dirinya bekerja mencari uang sedangkan istri mengurus persoalan rumah tangga dan anak. Istri dianggap tidak bekerja yang dapat menghasilkan uang.

Cara pandang ini harus dirubah. Karena, sejatinya istri pun bekerja, yaitu mengurus rumahtangga, menjaga dan mendidik anak. Jika anak masih bayi, istri menyusuinya. Setiap saat harus terjaga manakala bayi bangun minta susu. Al-ummu madrasatul al-ula (ibu adalah sekolah yang paling utama) bagi anak-anaknya.

Nabi Muhammad sendiri menjahit sandal yang robek dan menyuci serta merapikan baju sendiri. Beliau membantu pekerjaan rumahtangga. Beliau pun tidak pernah sekalipun memukul dan melakukan KDRT terhadap istri-istrinya.