Relasi Muslim dan Non-Muslim Menurut KH. Ali Mustafa Yaqub

Relasi Muslim dan Non-Muslim Menurut KH. Ali Mustafa Yaqub

Relasi Muslim dan Non-Muslim Menurut KH. Ali Mustafa Yaqub

Sebagian oknum berpendapat bahwa ahli hadis identik dengan tekstualisme. Artinya semakin seseorang dikenal sebagai ahli hadis, maka sudah bisa dipastikan sebagian besar fatwa-fatwa keagamaannya akan terkarengkeng oleh teks (baca al-Qur’an dan Sunah). Namun berbeda dengan almarhum KH. Ali Mustafa Yaqub, salah seorang ahli hadis Indonesia yang wafat pada 28 April 2016 yang lalu. Beliau dalam pandangan-pandangan keagamaanya dikenal sebagai ulama yang moderat dan inklusif, termasuk dalam menyikapi relasi antara muslim dengan non muslim.

Melalui penguasaan yang totalitas dan pemahaman yang holistik terhadap teks al-Qur’an dan hadis, beliau dengan yakin dan bertanggungjawab menyebutkan bahwa agama (Islam) tidak pernah mengumumkan perperangan kepada non muslim hanya gara-gara perbedaan agama. Memang benar umat Islam pernah berperang dengan mereka, namun sebagian besarnya disebabkan oleh hal-hal lain selain agama. Misalnya saja perang Badar yang terjadi pada tahun kedua hijriah, terjadi gara-gara umat Islam di Madinah diserang oleh kaum musyrik Mekah.

Begitu juga dengan perang Khaibar pada tahun ketujuh hijriah, terjadi akibat orang-orang Yahudi secara sepihak membatalkan perjanjian damai antara mereka dengan umat Islam. Demikian pula halnya dengan perang-perang lain yang terjadi pasca hijrahnya Nabi ke Madinah, semuanya terjadi sekali lagi bukan karena agama, namun hanya sebagai usaha defensif dalam rangka mempertahankan diri dan keyakinan. Lantas pertanyaannya sekarang adalah, bagaimana sebenarnya relasi antara Nabi dan kaum muslimin dengan non muslim kala itu.?

Dalam bukunya Kerukunan Umat Perspektif al-Qur’an dan Hadis yang terbit pada tahun 2000 silam, KH.  Ali Mustafa Yaqub telah menjelaskan dengan sangat apik relasi tersebut. Pertama, beliau memetakan terlebih dahulu teks al-Qur’an dan Hadis ke dalam dua kategori besar, yaitu teks yang berbicara tentang perperangan dan teks yang berbicara tentang perdamaian. Rumusan yang dipakai adalah setiap ayat atau hadis yang berbicara tentang perperangan harus diterapkan dalam kondisi perang, sementara itu ayat atau hadis yang membahas perdamaian maka harus diaplikasikan dalam situasi yang damai pula.

Klasifikasi seperti ini menurut beliau, didasarkan kepada Q.S. Al-Mumtahanah : 8-9 yang menyebutkan bahwa Allah Swt tidak melarang umat Islam untuk berbuat baik dan adil kepada non muslim yang tidak memerangi mereka. Oleh karena itu, ia mengeritik keras oknum yang keliru dalam memahami klasifikasi ini, yaitu mereka yang menggunakan teks-teks perang untuk situasi damai dan sebaliknya, menggunakan teks-teks perdamaian pada situasi perperangan. Hal inilah yang disinyalir menjadi penyebab utama munculnya gerakan-gerakan radikal yang menjadikan agama sebagai sumber permusuhan dan perperangan.

Dengan demikian, ayat atau hadis yang memerintahkan perang seperti Q.S. al-Baqarah : 193, Q.S. al-Taubah : 36, Q.S. al-Tahrim : 9, dan hadis riwayat Muslim yang memerintahkan untuk memerangi manusia sampai mereka bersyahadat, pada hakikatnya harus dipahami sesuai dengan konteksnya, yaitu perperangan. Hal ini terbukti dari sikap Nabi yang selalu menjalin hubungan baik dengan non muslim yang ada di sekitar beliau, baik dengan golongan Yahudi, Nasrani ataupun suku-suku Arab yang berada di Madinah ketika itu. Semua riwayat yang menceritakan hubungan baik tersebut bernilai valid dan bisa dipertanggungjawabkan.

Di antara contohnya adalah hubungan baik yang dijalin Nabi dengan Raja Najasyi, seorang non muslim yang menjadi Raja Habasyah (Abessenia), ketika umat Islam hijrah ke sana untuk menyelamatkan diri dari gangguan orang-orang Quraisy pada tahun ke-8 sebelum hijriah. Begitu juga dengan sikap Nabi yang membolehkan 60 orang Nasrani Najran untuk melakukan kebaktian di dalam masjid Nabawi ketika beliau berada di Madinah. Demikian pula dengan sikap ramah yang beliau tunjukkan kepada mertua beliau yang merupakan seorang tokoh Yahudi Quraizah di Khaibar pasca menikahi Shofiyah binti Huyay ibn Akhtab.

Hubungan yang harmonis juga ditunjukkan Nabi dan istri beliau, Aisyah, ketika menerima beberapa perempuan Yahudi di rumah beliau untuk berdiskusi atau sekedar bertamu sebagaimana yang disebutkan dalam kitab Shahih Bukhari dan Muslim. Bahkan dalam bidang muamalah sehari-haripun Nabi pernah menerima hibah dari seorang Yahudi yang bernama Mukhairiq dan mengizinkannya untuk ikut serta memperkuat pasukan muslim dalam perperangan Uhud pada tahun ke-3 hijriah serta Nabi pernah menggadaikan baju perangnya kepada seorang Yahudi lainnya yang bernama Abu Syahm beberapa saat sebelum beliau wafat.

Sementara itu,  KH. Ali Mustafa Yaqub sendiri, berdasarkan argumentasi dan bukti-bukti teks yang telah ia tuliskan di atas, juga menerapkan konsep itu secara nyata dalam kehidupannya. Pada tanggal 10 November 2010 lalu, beliau diminta untuk menyambut kunjungan Presiden AS Barack Obama di Masjid Istiqlal, Jakarta. Meskipun sebagian ulama ada yang tidak setuju dengan sikap beliau, tapi dengan ilmu dan pengetahuannya yang luas terhadap al-Qur’an dan Hadis, ia tetap membolehkan kunjungan tersebut dengan dalil kisah Nabi yang mengizinkan 60 utusan Nasrani Najran untuk melakukan kebaktian di Masjid Nabawi di atas.

Namun meskipun Nabi menjalin hubungan harmonis dengan non muslim serta saling tolong-menolong bersama mereka dalam hal muamalah sehari-hari, bukan berarti Nabi mengikuti akidah dan ibadah mereka. Ketika orang-orang non muslim Quraisy datang dan mengajak Nabi untuk menyembah tuhan mereka selama setahun dan merekapun akan menyembah Allah selama setahun, maka dengan tegas Nabi mengucapkan, “lakum dinukum waliyadin” (Bagimu agamamu dan bagiku agamaku. Q.S. Al-Kafirun : 6). Ungkapan ini adalah sebagai wujud komitmen yang kuat dalam menjaga akidah Islamiyah yang menjadi substansi ajarannya.

Tulisan ini pernah dimuat di bincangsyariah.com