Relasi Islam dan Politik; Kekuasaan dalam Perspektif al-Amiri (Bag. I)

Relasi Islam dan Politik; Kekuasaan dalam Perspektif al-Amiri (Bag. I)

Relasi Islam dan Politik; Kekuasaan dalam Perspektif al-Amiri (Bag. I)
Filsuf dan Ahli Politik Islam
Islam merupakan agama yang menjadi panutan dalam berbagai lingkup kehidupan. Semua ilmuwan mengkaji Islam dari berbagai aspek keilmuan yang digelutinya. Salah satu tokoh yang mengkaji Islam dalam frame filsafat politik adalah al-Amiri. Baginya, Islam dilihat dari sudut pandang Filsafat adalah ajaran yang aturannya menyeluruh.
Dari aspek filsafat politik, Islam mempunyai kekuatan yang luar biasa dalam memberikan corak kehidupan dalam bermasyarakat. Beliau sangat menentang adanya pemisahan antara pemahaman keagamaan dan susunan ketatanegaraan. Bahkan seluruh aspek kenegaraan secara filosofis harus dikaitkan dengan agama, yang mana al-Qur’an dan hadits sebagai sumber utama dalam menentukan kebijakan.
Sekilas tentang Al-Amiri
Al-‘Amiri dilahirkan di Nîsâbûr pada permulaan abad ke-4 H/ ke-10 M dan meninggal di tempat  kelahirannya pada tanggal 27 Syawal 381 H/6 Januari 992 M.[1] Ia adalah seorang filosof yang mempunyai kecenderungan pada sufisme, bersahabat dengan para sufi dan bahkan menulis beberapa persoalan yang menjadi subjek kalangan sufi. Ia mendapat pendidikan dari tokoh yang terkenal pada masa itu yaitu Abû Zayd Ahmad ibn Sahal ibn Balkhi.
Al-Amiri juga melakukan pengembaraan ke wilayah-wilayah yang jauh, yang biasanya dilakukan untuk mencari ilmu, pencerahan, dan juga mencari perlindungan bahkan untuk mendekati penguasa.[2] Dalam pengembaraannya itu, salah satu yang dikunjungi adalah Baghdad bahkan sampai dua kali. Pertama, sebelum 360/970, dalam kunjungannya tersebut ia menghadiri perkumpulan (majlis) Abu Hamid al-Marwarrudzi dan mendiskusikan persoalan hukum, yang memperbincangkan penghalalan anggur/khamr (tahlil al-khamr). Kedua, pada tahun 364/974, perjalanan yang dilakukan untuk menyertai Abu Fath Dzu al-Kifayatain ke kota damai (Madinah al-Salam). Dalam kesempatan ini, ia mengikuti kegiatan dan perdebatan yang dilakukan oleh para filosof.  Kemudian ia kembali ke Iran, tepatnya di Rayy dan menghabiskan waktu selama lima tahun untuk belajar ilmu kepada Ibn Abu Amid. Namun pada tahun 375/982 ia kembali ke tempat kelahirannya Khurasan  sampai meninggal dunia pada tahun 381/991.[3]
Pandangan al-‘Amiri Tentang Kekuasaan
Islam pada abad pertengahan, terutama pada masa al-Amiri belum dikenal demokrasi,[4] tetapi yang ada sistem monarki.[5] Monarki ini muncul sejak pada Amawiyah, Abbasiyah dan sampai pada saat ini seperti yang ada di Arab Saudi.[6] Pola monarki ini dikenal dari kebudayaan Persia. Sistem monarki adalah sistem yang dianut oleh al-Amiri. Baginya, dalam tata negara tidak ada sistem pemilihan kepala negara dan hak-hak rakyat yang ada seperti pada saat ini.
Menurut al-Amiri, secara natural bahwa setiap manusia dilahirkan membawa potensi sendiri-sendiri, ada yang menjadi orang merdeka ada pula yang menjadi hamba. Kenyataan ini tidak akan merusak citra manusia itu sendiri. Sebab, secara umum mereka akan mempunyai tugas masing-masing dan tidak akan terjadi tumpang tindih dalam menjalankan kehidupan mereka. Oleh karena itu, setiap orang harus menerima dan menjalankan profesinya masing-masing yang sudah ada sejak dilahirkan. Orang dalam kehidupan pertama kali yang harus dilihat adalah dirinya sendiri (instropeksi diri). Sebab, dengan instropeksi diri, seseorang akan mampu untuk menjadi baik. Dalam hal ini, untuk menilai seseorang yang menjadi perhatian adalah pekerjaannya bukan perkataannya.[7]
Dengan adanya posisi manusia yang membawa tabiatnya masing-masing, maka yang perlu diketahui ialah berkaitan dengan kedudukan pemimpin. Pemimpin yang berhak memimpin, secara umum dibagi menjadi dua; pertama kenabian yang benar, kedua raja (mulk) yang benar. Sebab tidak ada yang mencapai ilmu dan hikmah di atas dari Nabi dan tidak ada yang mempunyai kekuasaan dan keagungan di atas kepemimpinan raja. Kesemua itu adalah berasal dari langit.[8] Pemikiran ini, menurut al-Amiri didasarkan pada al-Qur’ân surat al-Nisa/4: 54 dan surat al-Maidah/5: 20
Jika dilihat pada pemikiran al-Farabi, ditemukan bahwa pemimpin itu tidak bisa sembarang orang. Orang yang dapat menjadi kepala negara adalah masyarakat atau manusia yang paling sempurna, dari kelas yang tertinggi, dibantu oleh orang-orang yang menjadi pilihan yang sederajat. Pemimpin tersebut adalah yang memenuhi salah satu dari dua kriteria,[9] yaitu orang yang secara fitrah dan natural siap untuk memimpin yang biasa dikenal dengan para filosof dan kedua dengan hay’ah, malkah dan kehendak Tuhan, atau biasa disebut dengan Nabi.[10]
Selanjutnya, bagi al-Amiri setiap masyarakat wajib untuk mempercayai bahwa raja harus mempunyai akhlak yang mulia. Setiap raja pasti berakhlak mulia. Sebab secara un sich bahwa raja adalah panutan bagi orang lain, sebagaimana kaca bagi orang yang bercermin. Kaca jika tidak bersih maka tidak dapat dijadikan untuk berhias dengan sempurna. Jika seorang raja tidak mempunyai akhlak maka langsung akan menjadi gunjingan para rakyat dan semua kejelekannya akan langsung diketahui oleh rakyat.
Bagi al-Amiri berpolitik mempunyai bagian, tujuan dan kemestian pada dua hal yaitu: pertama bagian politik adalah kepemimpinan, tujuannya untuk memperoleh keutamaan dan kemestiannya adalah memperoleh kebahagiaan abadi. Kedua politik adalah untuk memenangkan, tujuannya adalah menyiapkan akhlak dan akhirnya kehancuran dan khidmah. Hal ini dapat dimengerti karena setiap manusia mempunyai potensi untuk berbuat baik dan berbuat buruk.
Permasalahan pertama yaitu untuk mencapai negara utama dan kebahagiaan abadi adalah konsep yang sama dengan pemikiran al-Farabi dalam kitab al-Madinah al-Fadhilah,[11] dan juga tujuan politik dari Aristoteles.[12] Dalam kitabnya, al-Farabi, menyatakan bahwa secara mendasar setiap manusia membutuhkan orang lain untuk berinteraksi. Maka dari itu, manusia tidak akan sampai pada tingkat yang sempurna kalau ia tidak berinteraksi dengan orang lain. Bila ditilik dari konsep untuk mencapai al-Madinah al-Fadlilah maka seorang pemimpin suatu negara haruslah pemimpin yang amanah, pemimpin yang bisa mengelola bumi dan untuk menjalankan itu harus memenuhi 12 syarat.[13]
Untuk memenuhi semua itu, bagi Al-Farabi, adalah sangat susah ada dalam seseorang. Oleh karenanya, jika tidak memenuhi keseluruhannya maka hendaknya lima atau enam dari dua belas dapat dipenuhi. Jika tetap tidak ada yang memenuhi syarat maka yang dijadikan dasar adalah syariat dan sunah Rasul. Dan ia berhak menjadi pengganti dari kriteria pemimpin pertama.  Artinya minimal ia memenuhi menjalankan syariat dengan baik dan pada masa dewasanya memenuhi beberapa syarat.[14]
 Daftar Rujukan
[1] Joel  L. Kramer, Renaisans Islam (Bandung: Mizan, 2003), h. 317-8
[2] Hal ini merupakan fenomena yang umum dalam dunia Islam. Oleh karena itu ada yang menganalisa bahwa ilmu pengetahuan yang berkembang di Islam selalu berkaitan dengan politik tidak seperti di dunia Barat di mana perkembangan ilmu bisa terlepas dari politik lihat Abu ‘Abid al-Jabiri, Nahnu Wa al-Turats, h. 129
[3] Joel L. Kramer, Renaisans Islam,  h. 233
[4] Demokrasi dalam Islam memang tidak dikenal. Sebab demokrasi itu adalah bentuk pemikiran dari dunia Barat, yaitu Yunani. Dasar pemikiran demokrasi adalah masyarakat mempunyai hak yang sama dalam membuat keputusan, adanya sistem pemilihan umum, berdasar hukum, adanya sistem representasi dan lain sebagainya. Lihat pada Lyman Tower Sargent, Contemporary Political Ideologies (California: Cole Publishing Company, 1987), h. 35-6
[5] Dalam konteks Islam yang dikenal adalah syûrâ (QS: Ali Imran 159) bukan demokrasi. Demokrasi tidak sama dengan syura dan Syura bukan demokrasi. Artinya, Islam mempunyai ciri tersendiri dalam menentukan sistem ketatanegaraan. Untuk keterangan lebih lanjut ada pada, Muhammad Abid al-Jabiri, al-Khithâb al-Arabiy al-Ma’âshir, (Beirut: Markaz al-Dirasât al-Islamiyah, 1994), h. 83-103
[6] Hal ini dapat dibaca dalam buku-buku sejarah Islam terutama periode setelah masa Muawiyah dan seterusnya. Mereka semuanya menganut aliran bahwa raja merupakan pembawaan dan keturunan dari kerajaan lainnya. Selain itu, untuk menjadi raja baru harus melalui pemberontakan sebagaimana yang dilakukan oleh Bani Abbasiyah terhadap Amawiyah, Fatimiyah terhadap Abbasiyah dan lain sebagainya. Untuk lebih jelasnya lihat pada A. Syalabi, Sejarah Kebudayaan Islam (Jakarta: Alhusna Zikra, 1977), terutama jilid 2 dan tiga. Khusus mengenai keberadaan negara Arab yang menganut sistem monarki sampai pada tahun 1930 an lihat pada David Potter, Democaratization (Mylton Keynes, The Open University, 1997), h. 235
[7] Abu Hasan Muhammad Ibn Yusuf al-‘Amiri, Kitab al-I’lam bi Manaqib al-Islam (Kairo: Dar al-Katib al-‘Arabi, 1967), h. 151
[8] Abu Hasan Muhammad ibn Yusuf al-‘Amiri, Kitab al-I’lam bi Manaqib al-Islam (Kairo: Dar al-Katib al-‘Arabi, 1967), h. 151-2
[9] Al-Farabi, Ara al-Madinah al-Fadhilah (Beirut: Dar al-Masyriq, 2002), h. 124
[10] Pemikiran ini adalah sama dengan yang ditulis oleh Amiri hanya saja Amiri menyebut raja dan Nabi sedangkan al-Farabi menyebut secara tabiat dan Nabi.
[11] Dalam hal ini kita membandingkan atau mengutip pemikiran al-Farabi sebab ia adalah ada lebih dahulu dari Amiri
[12] Aristoteles menyatakan bahwa tujuan bernegara adalah sama dengan tujuan hidup manusia yaitu untuk memperoleh kebahagiaan.  Franz Magnis Suseno, Etika Politik (Jakarta: PT Gramedia Pustaka, 2003)., h. 188
[13] Al-Fârâbî, Ara al-Madinah al-Fadhilah., h. 127-9
[14] Ibid., h. 129-130

*) Penulis adalah pengurus lembaga Wakaf PBNU