Relasi Islam dan Politik; Kedudukan Rakyat Perspektif al-Amiri (Bag. II-Habis)

Relasi Islam dan Politik; Kedudukan Rakyat Perspektif al-Amiri (Bag. II-Habis)

Relasi Islam dan Politik; Kedudukan Rakyat Perspektif al-Amiri (Bag. II-Habis)
Filsuf dan Ahli Politik Islam

Al-Amiri salah seorang sarjana Islam masa klasik yang memiliki perhatian cukup tinggi dalam persoalan hubungan antara agama dan Negara. Bahkan jauh sebelum Ibnu Khaldun menulis karya agungnya Muqaddimah, al-Amiri telah mengulas persoalan solidaritas umat. Tulisan ini merupakan kelanjutan dari tulisan sebelumnya yang mengulas tentang pandangan al-Amiri tentang kekuasaan https://islami.co/relasi-islam-dan-politik-kekuasaan-dalam-perspektif-al-amiri-bag/

Kedudukan Rakyat

Rakyat adalah masyarakat yang menjadi bagian penting dalam struktur pemerintahan. Sebab suatu pemerintahan itu akan berdiri dengan tegak ketika rakyatnya mendukung mereka dan rakyatnya merasa tenteram dalam lindungan para penguasa yang memerintahnya. Bahkan dalam pandangan Ibn Khaldûn, rakyat yang mengkristal menjadi ‘Ashabiyyah merupakan struktur dasar yang sangat penting yang dapat mempengaruhi bergerak, tumbuh dan hancurnya suatu kekuasaan. [1]

Dalam pemikiran pada masa pemerintahan Khulafa` al-Rasyidin dinyatakan bahwa rakyat mempunyai peranan penting dalam mengontrol suatu kekuasaan. Misalnya, Abu Bakar ketika ia dikukuhkan sebagai khalifah, menyatakan meskipun mendapat kepercayaan untuk memimpin rakyat tetapi tidak berarti bahwa dia lebih baik dari pada anggota masyarakat itu. Oleh karenanya, rakyat diminta untuk membantu jika keputusannya itu baik dan mengoreksi jika keputusannya salah. [2] Bahkan ia menyatakan bahwa rakyat yang lemah adalah pihak yang kuat dan berhak mendapat perlindungan daripada rakyat yang kuat di mana yang ada pada mereka adalah kewajiban-kewajiban. [3]

Sedangkan menurut Amiri, pada dasarnya rakyat itu lebih cenderung untuk membesarkan keberadaan rajanya. Sebab, setiap makhluk adalah instrumen ketika ia dibutuhkan dan setiap individu mempunyai hak. Oleh karenanya, setiap orang berusaha untuk memperbaiki kehendaknya, maka ia akan menjadi raja untuk dirinya. [4]

Berdasarkan premis yang dibangun di atas maka dapat diketahui bahwa secara umum rakyat itu ada yang lemah dan ada pula yang tinggi, ada  yang mulia dan ada pula rendah ada yang saling bersitegang ada pula yang damai. Jika keadaan rakyat berbeda-beda seperti itu, maka mereka mempunyai hak dan kewajiban masing-masing. Hak dan kewajiban ini harus didasarkan pada agama. Misalnya, rakyat yang kuat maka ia mempunyai kewajiban untuk bekerja dan memelihara yang lemah. Namun jika rakyat tersebut lemah, maka perlu diperinci kelemahannya itu, jika lemahnya dari segi gender, wanita, maka ia mempunyai beberapa dispensasi dalam kehidupan ini, jika lemahnya dari segi umur, yatim,  maka adalah menjadi kewajiban raja untuk memeliharanya dan menjaganya. Jika lemahnya dari segi kehidupan maka berhak mendapat sandang dan pangan dari raja. Jika lemahnya karena status sosial seperti sebagai hamba maka hak yang ia dapat adalah untuk dimerdekakan.

Dalam al-Qur’ân memerdekakan hamba adalah pekerjaan yang sangat mulia. Jika status lemahnya karena sebagai pengembara maka haknya adalah sebagaimana statusnya dalam Ibn Sabil yang ada dalam al-Qur’ân.

Rakyat juga dapat dilihat dari segi sifat mulia dan rendahnya status. Status mulia dan rendah itu ada saling berkaitan satu sama lain. Orang dikatakan mulia jika dikaitkan dengan orang yang statusnya ada di bawahnya dan begitu pula sebaliknya. Pemikiran seperti ini di dasarkan pada hadits yang berbunyi

كلكم راع وكلكم مسؤل عن رعيته فالامام راع وهو مسؤل عن رعيته, فالرجل راع فى اهله فهو مسؤل عن رعيته والمرأة راعية فى بيت زوجها وهى مسئولة عن رعيتها والخادم راع فى مال سيده وهو مسئول عن رعيته والرجل راع فة مال ابيه وهو مسئول عن رعيته وكلكم راع وكلكم مسئول عن رعيته (رواه بخارى مسلم، داود عن ابن عمر)

Artinya:

         Kalian semua adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinan itu. Imam adalah pemimpin dan akan diminta pertanggungjawaban atas yang dipimpin, laki-laki adalah pemimpin dalam keluarganya dan akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya, perempuan adalah pemimpin dalam rumah suaminya dan akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya, pembantu adalah pembantu pada harta majikannya dan akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya, anak laki-laki adalah pemimpin bagi harta orang tuanya dan akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya. Setiap kalian adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya.(HR: Bukhari, Muslim, Abu Daud dari Ibn Umar)

Sedangkan contoh dibuat oleh Amiri yaitu seseorang harus menjaga hak dan kewajiban orang tuanya, orang tua harus menjaga hak dan kewajiban orang kakek dan neneknya. Begitu seterusnya sampai kepada penguasa. [5] Amiri membuat contoh seperti di atas juga didasarkan pada beberapa hadits. [6]

Rakyat jika dilihat dari segi yang saling menguasai dan bermusuhan.  Saling mengasihi dalam pandangan Amiri ada tiga wilayah munasabah, wilayah mu’aqadah, wilayah diyanah.[7] Dilihat dari segi saling yang bermusuhan maka dapat dibagi menjadi mulhid, musyrik dan kitabi.[8]

Posisi Solidaritas sosial

Sebelum Ibn khaldun membahas mengenai solidaritas sosial, ternyata Amiri sudah membahas. Hanya saja istilah yang ia gunakan adalah alAjyal. [9] Bagi Amiri, kekuasaan adalah anugerah dari Allah yang diberikan kepada yang dikehendaki dan dianggap mampu oleh-Nya. Oleh karenanya seseorang yang mendapat kekuasaan hendaknya menjaga dan tidak menyia-nyiakan.

Berkaitan dengan pembagian daerah dan masyarakat yang berdampak pada solidaritas sosial, maka Amiri membagi membagi jenis penduduk dengan sebagai berikut: 1). Bagian Barat bumi ini di tempati oleh orang Cina dan arah Selatannya adalah Turki, 2). Bagian Timur bumi ini penduduknya adalah Habsyi dan arah Selatannya adalah Barbar dan Qibth. 3). Tengah bumi ini adalah Hindia, arah Baratnya adalah  Rum.[10]

Dari pembagian daerah tersebut kesemuanya merupakan perisai dari Persia dan jazirah Arab. Di antara keadaan negara yang sangat beruntung posisi iklim dan alamnya adalah Arab dan ‘ajm. Kedua alam negara ini memiliki posisi yang paling sempurna iklimnya. Secara historis posisi negara Arab  sebelum Islam adalah masa kebodohan.

Daftar Rujukan

[1]  Abd al-Rahman Ibn Khaldûn,  Muqaddimah  Ibn Khaldûn (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1998), h. 111

[2] Hal berdasarkan pidato beliau ketika di angkat (baiat) menjadi khalifah. Untuk keterangan isi pidato tersebut dapat dilihat antara lain pada, Jalâl al-Dîn al-Suyûthi, Târîkh al-Khulafâ (Fajalah: Maktabah Mishr, 2001), h. 71

[3] Munawir Sadzali, Islam dan Tata Negara (Jakarta: UIP, 1990)h. 28

[4] Al-Amiri, al-I’lam., h. 163

[5] Al-Amiri, al-I’lam., h. 165

[6] Untuk kutipan Hadits yang dipakai lihat pada Al-Amiri, al-I’lam., h. 165 bandingkan dengan Jalal al-Din Suyuthi, Jami al-Shaghir., h.142, 133 dan 180.

[7]Dalam hal ini Amiri tidak memberikan definisi dan penjelasan, lihat pada Amiri, al-I’lam, h. 166

[8] Amiri, al-I’lam, h. 166

[9] Term Ajyal merupakan bentuk plural dari singular jayl atau jil artinya golongan manusia (al-shinf min al-nas) segolongan dalam zaman. Lihat pada Luis Ma’luf, al-Munjid fi al-Lughah wa al-A’lam (Beirut:Dar al-Syuruq, 2000), h. 135

[10] Amiri, al-I’lam., h. 171