Relasi Adem-Panas Bung Karno dan NU

Relasi Adem-Panas Bung Karno dan NU

Relasi Adem-Panas Bung Karno dan NU

Di antara perbedaan NU dengan ormas lain adalah merunut akar pandangan terhadap Bung Karno. Ini penting. Di ormas lain, pandangan terhadap Bung Karno sumir, nyinyir, menuduhnya sebagai sekuler, pembunuh partai Islam, pengkhianat Islam karena menghapus 7 kata dalam Piagam Jakarta, pemberangus aspirasi politik umat Islam, pembonsai Masyumi, hingga tuduhan kasar lainnya.

Bagi sebagian besar warga NU, dengan beberapa kekurangan yang dipunyai, Bung Karno adalah salah satu putra terbaik yang pernah dimiliki oleh Indonesia. Tak heran ketika umat Islam kebingungan memilih pemimpin, apakah SM. Kartosuwiryo dengan Negara Islam Indonesia (NII)-nya, atau Bung Karno dengan Republik Indonesia yang (tampak) sekuler?

Kubu NU dengan tegas memilih yang kedua dengan cara membuat manuver dalam konferensi para ulama di Cipanas, 1954, yang dipimpin oleh KH. Masykur, Menteri Agama yang juga mantan Panglima Sabilillah, dengan memberi gelar “waliyyul amri ad-dharuri bisy syaukah” (pemegang otoritas/pemimpin yang secara de facto berkuasa dalam kondisi darurat). Keputusan ini mengukuhkan Bung Karno sebagai kepala negara yang sah secara fiqh, dan oleh karena itu harus dipatuhi semua umat Islam.

KH. Wahab Chasbullah, Rais Am Syuriah PBNU, menjelaskan dalam sidang parlemen menggunakan kacamata fiqh: pertama, Bung Karno muslim, shalat, menikah dengan cara Islam dan disumpah dengan cara Islam pula. Kedua, pemerintah tidak melarang umat Islam menjalankan ibadahnya juga tidak memerintahkan kemaksiatan dan kemungkaran. Ketiga, mengapa ada istilah “dhaduri” (darurat) dalam gelar waliyyul amri bagi Bung Karno? Sebab klasifikasi imam al-a’dzam (pemimpin agung) dengan kualifikasi mujtahid mutlak sudah tidak ada lagi.

Keempat, dalam pidatonya di Parlemen, 29 Maret 1954, Kiai Wahab juga menjelaskan apabila rakyat belum mau mengakui dari sudut pandang agama, bahwa pemerintah Bung Karno adalah pemerintahan yang sah meskipun darurat, niscaya akan muncul bermacam-macam waliyyul amri untuk sendiri-sendiri.

Kelima, dalam kacamata fiqh, muslimah yang tidak mempunyai wali nasab perlu kawin di depan wali hakim (tauliyah). Yang berhak mengangkat hakim adalah pemimpin negara yang legitimatif secara Islam. Dengan gelar ini maka Bung Karno sudah diberi kekuasaan (syaukah) untuk menunjuk hakim melalui Departemen Agama.

Sekadar catatan. Gagasan tentang Waliyyul Amri Ad-Dharuri bisy-Syaukah berasal dari kebijakan yang dikeluarkan oleh Departemen Agama pada tahun 1952 melalui Menteri Agama, Fakih Usman sebagai Menteri Agama (berasal dari partai Masyumi). Departemen Agama melalui Menteri Agama mengeluarkan kebijakan tentang “Tauliyah Wali Hakim” pada tahun 1952, yang diatur dalam surat Keputusan Menteri Agama No. 4 tahun 1952. Surat Keputusan Menteri Agama No. 4 tahun 1952 berisi tentang kewewenangan Menteri Agama untuk melakukan tauliyah (pengangkatan) Wali Hakim bagi wanita yang tidak memiliki wali nikah.

Dengan legitimasi yang kokoh, sang proklamator pun telah kukuh statusnya sebagai presiden RI dalam tinjauan fiqh. Tidak ada dualisme kepemimpinan dalam republik. Karena itu, siapapun yang mengangkat senjata bisa dikategorikan sebagai tindakan berontak (bughat). Maka, di era 1950-an, ketika ketidakpuasan terhadap pemerintahan pusat digalang melalui kekuatan bersenjata, Bung Karno berusaha keras menumpasnya, baik DI/TII, PRRI/PERMESTA, gabungan DEWAN BANTENG, GARUDA & GAJAH di Sumatera dll.

Demi memperkuat basis pendukungnya untuk menyeimbangkan kekuatan politik berhadapan dengan militer, Bung Karno membuat gagasan NASAKOM. Masyumi ogah masuk, tapi NU bergabung mawakili unsur agama. Tujuannya: menyeimbangi manuver PKI dan nasionalis garis keras di sekitar Bung Karno. Kalau kedua kubu ini dibiarkan berhadap-hadapan tanpa pencegah, kondisi perpolitikan akan semakin liar. Resikonya, Kiai Wahab Chasbullah dituduh penjilat Soekarno, Kiai Nasakom, Kiai Palu Arit dan tuduhan kasar lainnya. Seorang petinggi Masyumi bahkan dengan sinis berkata, : :”….apabila tempurung kepala Kiai Wahab kita belah niscaya kita dapati palu arit di dalamnya.” Wuih. Bagaimana reaksi ulama yang juga pahlawan nasional ini? Cuek!

Ketika kemudian Bung Karno membubarkan konstituante dan membentuk kabinet Gotong Royong, 1960, NU kembali bergabung. Tujuannya, kata Kiai Wahab, masuk dulu, kalau nggak cocok keluar. Simpel. Langkah ini membuat NU masuk dalam percaturan politik rumit: angkatan darat yang menguat di bawah Nasution dan PKI yang semakin stabil di bawah Aidit. Pada saat Bung Karno mengganti Jenderal AH. Nasution dengan jenderal kesayangannya, Ahmad Yani, sebagai KASAD, saat itu pula Nasution dengan posisi baru Kepala Staff ABRI, tak punya komando penuh atas pasukan. Di sisi lain, Yani yang sangat anti-komunis menjadi sangat waspada terhadap PKI, terutama setelah partai ini menyatakan dukungannya terhadap pembentukan kekuatan kelima (selain keempat angkatan bersenjata dan polisi).

Bagaimana sikap NU? Mereka mengimbangi manuver ini dengan cara membentuk Barisan Ansor Serbaguna (BANSER), 1962. Tindakan yang diambil ini merupakan reaksi atas langkah dua kubu: kubu TNI AD yang menyerukan isu wajib militer untuk mendukung konfrontasi dengan Malaysia, dan kubu PKI yang mengipasi Bung Karno agar membentuk angkatan kelima (rakyat yang dipersenjatai). Selain ini, dalam suasana yang memanas, pembentukan Banser juga untuk menghadapi konfrontasi terbuka dengan Pemuda Rakyat PKI dan Barisan Tani PKI yang beberapa kali terjadi di beberapa daerah.

Inilah penjabaran konsep Aswaja bernama At-Tawazun (seimbang) dalam politik kebangsaan. Fungsi penyeimbang politik juga terjadi pada saat Aidit membisiki Bung Karno agar membubarkan HMI, setelah pemimpin besar itu sudah membuyarkan Masyumi beberapa tahun sebelumnya. Melihat gelagat ini, KH. Saifuddin Zuhri, Menteri Agama sekaligus sekjend PBNU, menolak dengan menyodorkan berbagai argumentasi. Bung Karno pun tidak jadi membubarkan organisasi kemahasiswaan ini.

Dominasi Kaum Muda di NU

Hubungan Bung Karno dengan NU di era 1960-an juga mengalami pasang surut. Di satu sisi, Bung Karno mengapresiasi gerakan politik NU. Bahkan, dalam Muktamar NU di Solo, presiden flamboyan ini tampak merayu NU, “Saya sangat cinta sekali kepada NU. Saya sangat gelisah jika ada orang yang mengatakan bahwa dia tidak cinta kepada NU. Meski harus merayap, saya akan tetap datang ke muktamar ini, agar orang tidak meragukan kecintaan saya kepada NU!” tegas Soekarno dalam sambutan di Muktamar NU ke-23 tersebut.

Bahkan, dalam Operasi Trikora, Bung Karno secara khusus meminta pertimbangan kepada KH. A. Wahab Chasbullah, Rais Am Syuriah PBNU. Kiai Wahab dengan pertimbangan fiqh menyetujui operasi militer ini.

Meski dekat dengan kalangan ulama NU seperti Kiai Wahab, namun Bung Karno memiliki sensitifitas tinggi terhadap para politisi muda NU. Dia gerah dengan beberapa manuver sayap politisi NU seperti KH. Imron Rosyidi, seorang diplomat didikan pesantren yang punya karier cemerlang. Akibat manuver mendirikan Liga Demokrasi yang mengkritisi Bung Karno, Kiai Imron Rosyidi dipenjara oleh rezim Orde Lama selama 4 tahun tanpa melalui proses pengadilan. Sayap politisi NU, yang kebanyakan dipimpin oleh generasi kelahiran era 1910-an, seperti KH. A. Sjaichu, Djamaluddin Malik, maupun H. Nuddin Lubis, mulai bergerak mempreteli kekuasaan Bung Karno melalui DPR-GR, usai G-30S/PKI. Bahkan “Resolusi Nuddin Lubis” turut mempercepat turunnya Bung Karno dari singgasananya. Politisi muda NU, Subchan ZE, juga menggerakkan eksponen mahasiswa dan pemuda untuk menggeser Bung Karno.

Ketika kubu muda ini dominan di tubuh NU, maka loyalis Bung Karno seperti KH. Saifuddin Zuhri, suaranya tenggelam di tengah hingar bingar faksi anti-Bung Karno. Apalagi pada pergantian orde ini, kesehatan Kiai Wahab, pucuk pimpinan NU, sudah mulai menurun.

***

Mencermati relasi Bung Karno dengan NU itu persis roller coaster, naik turun dengan cepat. Hal ini, antara lain, karena Bung Karno memiliki dinamika pemikiran yang unik. Di era 1920-an, dia banyak dipengaruhi mertua sekaligus mentornya, HOS Tjokroaminoto. Di era 1930-an dia terpercik pemikiran Ahmad Hassan, pendiri ormas Persatuan Islam. Ini yang dapat kita pelajari dari korespondensi keduanya. Sedangkan di dua era berikutnya dia banyak berdiskusi dengan Pak Mulyadi Joyomartono, cendekiawan Muhammadiyah, dan KH. A. Wahab Chasbullah, Rais Aam Syuriah PBNU. Setidaknya dua nama ini yang seringkali disebut oleh Bung Karno dalam berbagai pidatonya di acara keagamaan di istana negara, baik Maulid Nabi, Nuzulul Qur’an, Isra’ Mikraj, dan lain sebagainya.

 

*) Rijal Mumazziq Z (Ketua Lembaga Ta’lif Wan Nasyr PCNU Kota Surabaya)