Sebagian masyarakat masih merasa bingung dan bertanya-tanya, bagaimana redaksi dari do’a iftitah yang sebenarnya. Hal itu wajar karena memang redaksi do’a iftitah yang warid dari nabi Muhammad ﷺ ada banyak. Diantara redaksi do’a tersebut adalah:
اللَّهُ أكْبَرُ كَبِيراً، وَالحَمْدُ لِلَّه كَثِيراً، وسبحان الله بُكْرَةً وَأصِيلاً
وَجَّهْتُ وَجْهِيَ لِلَّذِي فَطَرَ السَّمَوَاتِ وَالأَرْضَ حَنِيفاً مُسْلِماً وما أنا من المُشْرِكِينَ، إنَّ صَلاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبّ العالَمِينَ لا شَرِيكَ لَهُ وَبِذَلِكَ أُمِرْتُ، وأنَا مِنَ المُسْلِمينَ، اللَّهُمَّ أنْتَ المَلكُ، لا إلهَ إِلاَّ أنْتَ أَنْتَ رَبِّي وأنا عَبْدُكَ، ظَلَمْتُ نَفْسِي واعْتَرَفْتُ بِذَنْبِي فاغْفِرْ لي ذُنُوبِي جميعا لاَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلاَّ أنْتَ، وَاهْدِني لأحْسَنِ الأخْلاقِ، لا يَهْدِي لأحْسَنها إلاَّ أَنْتَ، وَاصْرِفْ عَنِّي سَيِّئَها، لا يَصْرِفُ سَيِّئَها إِلاَّ أَنْتَ، لَبَّيْكَ وَسَعْدَيْكَ، والخَيْرُ كُلُّهُ في يَدَيْكَ، وَالشَّرُّ لَيْسَ إِلَيْكَ، أنا بِكَ وَإِلَيْكَ، تَبارَكْتَ وَتعالَيْتَ، أسْتَغْفِرُكَ وأتُوبُ إِلَيْكَ
اللَّهُمَّ باعِد بَيْني وبَيْنَ خَطايايَ كما بَاعَدْتَ بَيْنَ المَشْرِقِ وَالمَغْرِبِ، اللَّهُمَّ نَقِّنِي مِنْ خَطايايَ كما يُنَقّى الثَّوْبُ الأبْيَضُ مِنَ الدَّنَسِ، اللَّهُمَّ اغْسِلْنِي مِنْ خَطايايَ بالثَّلْجِ وَالمَاءِ وَالبَرَدِ
Sebenarnya masih banyak redaksi-redaksi do’a iftitah yang lain, namun yang penulis sebutkan adalah yang populer di masyarakat. Kita boleh memilih redaksi yang mana saja untuk dibaca, tidak masalah.
Masalah muncul ketika sesuatu yang bukan masalah malah dipermasalahkan. Apa masalahnya ? yaitu ketika redaksi-redaksi do’a iftitah tersebut digabung, boleh apa tidak ?
Dalam hal ini ulama berbeda pendapat, ada yang mengatakan boleh bahkan dianjurkan supaya mendapat pahala lebih banyak, ada juga yang mengatakan tidak boleh dengan alasan tidak pernah dilakukan Nabi ﷺ. Dalam fatwa yang ditulis IslamWeb disebutkan:
فإن من أهل العلم من يرى استحباب الجمع بين الأدعية المأثورة، ومن ذلك دعاء الاستفتاح، وعلى هذا القول فلا مانع من الجمع بين الصيغ الواردة في دعاء الاسفتاح في الصلاة، إلا إذا كان المصلي إماما فلا يشرع له ما يشق على المأمومين، ومن أهل العلم من يرى أن السنة أن يأتي المستفتح برواية أحيانا ورواية أخرى أحيانا ولا يجمع بين روايتين أو أكثر
“Sebagian Ulama memandang anjuran untuk menggabung do’a-do’a yang warid dari Nabi, yang di antara do’a tersebut adalah do’a iftitah. Maka berdasarkan pendapat tersebut maka tidak masalah menggabung redaksi do’a iftitah yang berasal dari Nabi, kecuali bila orang itu berstatus imam, maka tidak dianjurkan menggabung do’a-do’a iftitah karena akan memberatkan makmum (menunggu terlalu lama).
Sebagian ulama lain memandang, sebaiknya sesorang itu ketika ingin membaca do’a iftitah tidak boleh digabung, tetapi membaca redaksi do’a itu satu-satu, saat ini baca redaksi A, di lain waktu baca redaksi B”.
Di antara ulama yang menagatakan bolehnya menggabungkan beberapa redaksi do’a dalam sekali baca adalah al-Qodhi Abu Yusuf al-Hanafi (w 182 H), Abu Ishaq al-Marwarzi as-Syafi’i (w 340 H) al-Wazir Ibnu Hubairoh al-Hanbali (w 560 H) Imam Nawawi as-Syafi’i (w 676 H) dan lainnya. Dalam kitab al-Mausu’ah al-Fiqhiyah al-Kwaitiyyah disebutkan:
مذهب أبي يوسف صاحب أبي حنيفة، وجماعة من الشافعية، منهم أبو إسحاق المروزي، والقاضي أبو حامد، وهو اختيار الوزير ابن هبيرة من أصحاب الإمام أحمد: أن يجمع بين الصيغتين الواردتين
“Madzhab Abu Yusuf dan sebagian besar ulama Syafi’iyah yang di antaranya adalah abu Ishaq al-Marwazi, al-Qodhi Abu Hamid, termasuk al-Wazir Ibnu Hubairoh yang merupakan ulama Hanabilah mengatakan bolehnya menggabung dua redaksi do’a yang sama-sama warid dari Nabi ﷺ”
Berangkat dari pendapat inilah tersebar redaksi do’a iftitah gabungan yang kemudian menjadi populer, khususnya di masyarakat Nu, di antara redaksi tersebut adalah :
اَللهُ أَكْبَرُ كَبِيْرًا وَالْحَمْدُ ِللهِ كَثِيْرًا وَسُبْحَانَ اللهِ بُكْرَةً وَأَصِيْلاً إِنِّىْ وَجَّهْتُ وَجْهِيَ لِلَّذِيْ فَطَرَالسَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضَ حَنِيْفًا مُسْلِمًا وَمَا أَنَا مِنَ الْمُشْرِكِيْنَ إِنَّ صَلاَتِيْ وَنُسُكِيْ وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِيْ ِللهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ لاَشَرِيْكَ لَهُ وَبِذلِكَ أُمِرْتُ وَأَنَا مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ
Imam Nawai dalam al-Adzkar setelah menyebutkan begitu banyak redaksi do’a iftitah mengatakan :
هذا ما ورد من الأذكار في دعاء التوجه، فيستحبّ الجمع بينها كلها لمن صلى منفرداً، وللإِمام إذا أذن له المأمومون
“Ini semua adalah redaksi-redaksi yang telah warid dari Nabi ﷺ tentang do’a Iftitah, maka dianjurkan untuk menggabung redaksi-redaksi tersebut bagi orang yang sholat munfarid atau imam apabila mendapat izin dari makmum”
Sementara di antara ulama yang memandang tidak bolehnya menggabung beberapa redaksi dalam sekali baca adalah Ibnu Taimiyyah (w 728 H) dan Ibnu Utsaimin (w 1421 H). Dalam kitabnya Syekh Ibnu Utsaimin mengatakan:
لكن لا يجمع بين هذه الاستفتاحات، بل يقول هذه مرة وهذه مرة ليأتي بالسنة على جميع وجوهها
“Tetapi redaksi-redaksi do’a Iftitah ini tidak boleh digabung, tetapi baca satu redaksi sesekali dan redaksi yang lain sesekali supaya mengikuti sunah dalam semua redaksi tersebut”
Mengacu pada pendapat ini maka sebagian kaum muslimin lebih memilih mengamalkan satu redaksi saja dalam membaca do’a iftitah dalam setiap sholat. Seperti warga Muhamadiyah yang lebih sering memakai redaksi do’a ifititah sebagai berikut:
اللَّهُمَّ باعِد بَيْني وبَيْنَ خَطايايَ كما بَاعَدْتَ بَيْنَ المَشْرِقِ وَالمَغْرِبِ، اللَّهُمَّ نَقِّنِي مِنْ خَطايايَ كما يُنَقّى الثَّوْبُ الأبْيَضُ مِنَ الدَّنَسِ، اللَّهُمَّ اغْسِلْنِي مِنْ خَطايايَ بالثَّلْجِ وَالمَاءِ وَالبَرَدِ
Akhirnya pilihan kembali pada masing-masing, amalkan do’a iftiftah yang sudah dihafal, para ulama yang bertakwa tidak mungkin mengajarkan sesuatu tanpa dasar dalam agama.
Bila ada yang mempermasalahkan, lebih baik diberi senyuman saja, karena yang sebenarnya salah adalah yang mempermasalahkan sesuatu yang bukan masalah dan yang sengaja meninggalkan do’a iftitah.