Ratna Sarumpaet akhirnya buka suara terkait isu penganiayaan yang ia alami dan ternyata itu hoaks. Hal ini tentu saja membuat kita jengkel sekaligus tertawa. Bagaimana tidak, sedari kemarin kita dihebohkan dengan isu penganiayaan ini, lengkap dengan ragam opini dan bumbu narasi yang dipertontonkan ke publik laiknya kisah spionase ala film Bollywood, plus bumbu air mata dan teriakkan heroik menyalahkan lawan politiknya.
Tidak percaya? Coba kamu bayangkan adegan begini: “Seorang nenek berusia 70 tahun sedang berjalan bersama kedua temannya dari Afrika. Mereka bertiga berjalan beriringan pulang usai menghadiri sebuah konferensi. Di jalan pulang, taksi mereka dicegat oleh beberapa pria tak dikenal, dua orang itu disuruh keluar dan tinggalllah si Nenek itu ketakutan di dalam taksi bersama para penculik tersebut. Taksi pun berjalan dan Si Nenek digebukin, dinjak perutnya dan ditonjok mukanya.
Wajah nenek itu pun lebam dan ia dibuang di jalanan dengan tubuh penuh luka. Si Nenek lalu menelpon temannya dan dibawa ke rumah sakit. Si Nenek pun selamat. Beberapa hari setelahnya, dengan kekuatan media sosial, berita pun tersebar dan jadi gosip nasional: Seorang Nenek berumur 70 tahun dengan tega dipukuli orang tidak dikenal hanya karena ia kerap mengkritik rezim.”
Ya, itu bukan fiksi. Melainkan narasi yang dibangun oleh beberapa orang politisi nasional terkait Ratna Sarumpaet dan penganiayaan terhadapnya. Banyak yang mengaku tertipu oleh kisah hoaks ini, meskipun sebelumnya menggebu-gebu dan heroik dalam pengisahahan Ratna Sarumpaet sebagai korban. Mulai dari Aktris-Politisi dari Gerindra Rachel Maryam hingga pasangan Prabowo-Sandi.
“Terjadi suatu aksi kekerasan penganiayaan, suatu pukulan yang sangat kejam terhadap salah satu pimpinan daripada badan pemenangan kampanye kita, yaitu Ibu Ratna Sarumpaet,” tutur Prabowo.
Tentunya, narasi lebih heroik lagi diusung orang-orang di bawahnya. Bahkan, di media sosial kita akan menemukan banyak sekali yang sama sekali enggak nyambung dan cenderung melecehkan otak waras kita.
Bayangkan saja narasinya begini: penyerangan Ratna Sarumpaet adalah… Menyerang demokrasi… Cara-cara PKI… Polisi tidak bisa dipercaya… Cabut mandat Presiden… Kalau ibu Anda dianiaya gimana… Ini seperti Cut Nyak Dien… Dan lain-lain.
Lalu, semunya jadi luruh akibat investigasi kepolisian dan diafirmasi oleh Ratna Sarumpaet sendiri bahwa segalanya adalah bohong belaka. “Saya adalah pembuat hoaks terbesar,” tutur Ratna, diikuti isak tangis dan berkali-kali kata maaf dalam konferensi pers yang barusan terjadi.
Lalu, kita bisa apa? Apa kita membiarkan lagi-lagi berita bohong menaungi diri kita? Apa peristiwa ini tidak membuat kita menjadi kian waras dan woles lagi, apalagi terkait politik?
Kisah Ratna Sarumpaet dengan hoaks yang ia bikin ini mengingatkan kita tentang banyak hal, khususnya tingkah polah para politisi kita. Perilaku yang membuat nalar kewarasan kita sebagai manusia serasa dipermainkan.
Tentu saja kita tidak akan pernah lupa kejadian serupa beberapa bulan lalu yang menyeret politisi Golkar, Setyo Novanto. Setnov, entah siapa sutradara yang ia gaet untuk skenario luci ini, membuat sandiwara dengan mengajak tiang listrik sebagai sosok protagonis. Kok bisa-bisanya akal sehat kita dipermainkan begin. Tidak lama setelahnya, Ratna Sarumpaet malah melakukan hal sama.
Dalam diskursus hukum, sebenarnya para pembuat berita bohong dan para penyebarnya bisa dilaporkan. Hal itu diatur dalam Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) sebagaimana yang telah diubah oleh Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Di dalamnya, juga terdapat pasal 28 ayat 1 UU tersebut berbunyi, “Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik.
Lalu, apa hukumannya?
Para penyebar berita bohong ini bisa mendapatkan hukuman yang cukup berat. Ancaman hukumannya diatur dalam Pasal 45A ayat (1) yang berbunyi, “Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 1 miliar”.
Tapi, apakah hal itu cukup membuat jera para politisi atau penyebar hoaks? Sukar untuk bisa percaya terkait ini. Apalagi, banyak pasal karet dan kerap multitafsir.
Satu hal yang pasti, Ratna Sarumpaet dan hoaks politik ini mengajarkan satu hal penting: nalar kita harus tetap waras. Tetap bersetia pada nilai, bukan pada figur politik belaka. Semoga.