Dalam tiga hari ini, ada tiga peristiwa yang menjadi perbincangan publik kita. Pertama adalah duka cita atas bencana alam gempa dan tsunami di Palu dan Donggala. Kedua adalah lagi-lagi soal bencana alam, yaitu meletusnya gunung Soputan di Minahasa. Ketiga adalah sosok Ratna Sarumpaet, seorang aktivis perempuan yang belakangan menjadi oposan pemerintah dan sekaligus menjadi Juru Kampanye Nasional Prabowo-Sandi di Pilpres mendatang. Adapun yang menghebohkan dari Ratna adalah kabar bahwa ia mengalami penganiayaan, yang konon berkaitan dengan posisinya sebagai bagian dari tim Jurkam Pilpres.
Kabar soal penganiayaan itu mula-mula ramai diperbincangkan di media sosial (medsos). Bertubi-tubi foto Ratna yang lebam-lebam memenuhi story dan time line medsos. Dalam kabar burung itu juga disertai caption yang berisi duka cita atas kejadian kekerasan itu. Selanjutnya, kabar bahwa Ratna Sarumpaet mengalami penganiayaan hingga lebam-lebam mulai diberitakan oleh media massa online. Kemudian, setelah dua hari kabar burung itu menjadi trending yang mampu menyaingi berita duka atas bencana alam, akhirnya pemberitahuan itu ditutup dengan pengakuan Ratna Sarumpaet bahwa itu adalah kabar bohong. Dan ia mengakui bahwa dirinya sendiri yang membikin reka-reka cerita itu.
Sebagaimana dengan dugaan Prabowo dalam konferensi pers yang pertama pada tanggal 02 Oktober, saat ia mengatakan bahwa peristiwa yang dialami Ratna ada kaitannya dengan posisi Ratna sebagai Jurkam Nasional Prabowo-Sandi. Berkaitan dengan hal itulah kemudian kabar bohong soal Ratna Sarumpaet dianiaya orang (yang ternyata adalah ia habis menjalani operasi sedot lemak) menjadi ramai diperperbincangkan publik dan dipercayai banyak politisi, khususnya kubu Prabowo dimana Ratna sendiri menjadi bagian Jurkamnya.
Awal mulanya kabar bahwa Ratna Sarumpaet dianiaya hingga lebam-lebam, bagi kubu Prabowo, kabar itu merupakan komoditas yang bisa menguntungkan bagi kubunya. Sebagaimana dalam konferensi persnya yang pertama, Prabowo dengan berduka cita menyampaikan bahwa tindakan kekerasan kepada perempuan umur 70 tahun adalah sebuah tindakan pengecut dan pelanggaran HAM. Akan tetapi, setelah kabar itu menjadi ramai diperbincangkan publik. Akhirnya Ratna mengakui bahwa kabar penganiayaan itu adalah hoaks.
Dari serangkaian drama yang dilakukan oleh Ratna Sarumpaet ini ada beberapa hal yang perlu kita catat dan diskusikan. Pertama adalah soal kabar bohong atau hoaks yang dibikin oleh Ratna sendiri. Yang mengherankan dari hoaks bikinan Ratna itu adalah ia bukan hanya mengibuli seluruh publik tanah air, akan tetapi ia berhasil pula mengibuli kawan-kawan satu kubunya sendiri. Tidak tanggung-tanggung, ada tokoh sekaliber Amien Rais, Capres Prabowo Subianto, Fadli Zon, Djoko Susanto, Hanum Rais dan elit-elit partai pendukung Prabowo-Sandi dalam Pilpres mendatang.
Yang mengherankan dari tertipunya Prabowo dan tim suksesnya adalah ia tak mampu berfikir kritis tentang hoaks penganiayaan Ratna Sarumpaet. Sebagaimana kebiasaan politisi kita, apapun ketika hal itu dapat menguntungkan kubu mereka sendiri, isu itu, tanpa ada kritisismenya, dijadikan bahan untuk menyudutkan pihak lainnya. Kemudian, yang bikin kita semua miris adalah, sebelum konferensi pers pertama Prabowo dan tim suksesnya, Prabowo dan tim suksesnya sudah bertemu langsung dengan Ratna Sarumpaet, dan secara gagah berani mengatakan kabar pengeroyokan itu benar adanya.
Persoalan kedua adalah soal konsistensi politisi kita dalam membela HAM. Prabowo dan tim suksesnya segera setelah menemui Ratna Sarumpaet, langsung menggelar konferensi pers dan mengatakan bahwa mereka berbela sungkawa atas tindakan pelanggaran HAM yang dialami Ratna Sarumpaet.
Begitu heroiknya politisi kita dalam membela HAM? Tidak! Politisi kita tidak pernah konsisten memperjuangkan HAM. Mereka menyuarakan isu HAM hanya ketika isu tersebut hanya menguntungkan pihak mereka saja. Padahal, dalam kasus pelanggaran HAM sebelumnya mereka tidak sama sekali memperjuangkan HAM. Bahkan ketika mereka menjadi oposisi, mereka tidak pernah memperjuangkan kasus pelanggaran HAM yang dialami oleh aktivis Munir misalnya.
Dari persoalan di atas, menggambarkan keprihatinan kita terhadap situasi politik kita. Kita tidak pernah menggunakan kritisisme dalam berpolitik, hoaks digunakan untuk komoditas politik. Kemudian juga tidak ada konsistensi para politisi kita dalam memperjuangkan hal-hal yang berkaitan langsung dengan kerakyatan dan kemanusiaan, sebagaimana kasus HAM di atas. Sepertinya, masa depan politik kita masih suram? Wallahua’lam bishawab.
M. Fakhru Riza, Penulis adalah pegiat di Islami Institute Jogja.