Kita beberapa kali mendengar bahwa ada dua arus besar dalam pemikiran Islam yang hendak dilakukan oleh para pembaharu, yaitu arabisasi dan modernisasi terkait dengan warisan Islam yang dimiliki oleh dunia Arab. Kelompok pertama yang menghendaki arabisasi didorong oleh alasan yang menyatakan bahwa selama kejayaan Islam, bahasa Arab dan budaya Arab adalah merupakan hal nyata yang digunakan untuk kemajuan bersama.
Kelompok yang kedua adalah kelompok yang cenderung ke arah modernisasi dan memang agak sekularisasi, sebagaimana yang dilakukan oleh Kemal Ataturk terhadap negara Turki, yang mencoba membangun negaranya dengan paradigma Barat. Dia mengembalikan agama sebagai urusan privat dan negara tidak mencampurinya.
Di antara dua kelompok besar itu muncul kelompok pembaharu moderat, yang mencoba untuk mempertahankan warisan Islam, di sisi lain juga berupaya melakukan pembaharuan terhadap pemikiran Islam, salah satunya adalah Muhammad Rasyid Ridha.
Muhammad Rasyid Ridha, lahir di Qalmun, sebuah desa sekitar 4 km dari Tripoli, Libanon pada 27 Jumadil Awal 1282 H. Beliau adalah bangsawan Arab yang memiliki garis keturunan langsung dari Sayyidina Husen, putra Ali bin Abu Thalib dan Fatimah putri Rasulullah SAW, sehingga beliau memiliki gelar Sayyid.
Gelar Sayyid pada awal namanya merupakan gelar yang biasa diberikan kepada semua orang yang mempunyai garis keturunan tersebut. Keluarganya dikenal sebagai keluarga yang taat beragama, serta menguasai ilmu-ilmu agama sehingga mereka dikenal juga dengan sebutan Syekh.
Pendidikan awal Muhammad Rasyid Ridha dijalani di lingkungan keluarganya sendiri, kemudian pada usianya yang ketujuh tahun, Muhammad Rasyid Ridha dimasukkan oleh orang tuanya ke sebuah lembaga pendidikan dasar yang disebut Kuttab yang ada di desanya.
Di sinilah beliau mulai membaca Al-Qur’an, menulis dan berhitung. Beberapa tahun kemudian, setelah menamatkan pelajarannya di lembaga pendidikan dasar tersebut. Muhammad Rasyid Ridha meneruskan pendidikannya di Madrasah Ibtidaiyah al-Rasyidiyah di kota Tripoli, Libanon.
Di madrasah tersebut beliau belajar nahwu, sharaf, berhitung, geografi, akidah dan ibadah. Semua mata pelajaran tersebut disampaikan kepada para siswa dalam bahasa Turki. Hal itu tidak mengherankan karena tujuan pendidikan dan pengajaran pada madrasah itu melahirkan tenaga-tenaga kerja yang menjadi pegawai kerajaan Utsmani.
Rasyid Ridha pun akhirnya keluar dari madrasah itu setelah kurang lebih satu tahun lamanya belajar di sana. Pada tahun 1882 M, beliau meneruskan pendidikannya di Madrasah Al-Wataniyah Al-Islamiyah, sebuah Sekolah Nasional Islam yang ada di Tripoli yang didirikan oleh Syekh Husain al-Jisr. Di Madrasah ini, selain bahasa Arab diajarkan juga bahasa Turki dan Perancis. Di samping pengetahuan-pengetahuan agama, pengetahuan-pengetahuan modern juga diajarkan.
Di madrasah tersebut, Muhammad Rasyid Ridha mempelajari mantiq, matematika, dan filsafat. Syekh Husain al-Jisr sendiri, merupakan sosok yang berjasa dalam menumbuhkan semangat pembaharuan dalam diri Muhammad Rasyid Ridha. Karena gurunya tersebut mempunyai pandangan bahwasanya untuk memajukan umat Islam, salah satu caranya adalah memadukan pendidikan agama dan pendidikan umum dengan menggunakan metode Eropa.
Selain itu, Muhammad Rasyid Ridha juga memperoleh tambahan ilmu dan semangat keagamaan melalui membaca kitab-kitab yang ditulis Imam Al-Ghazali, antara lain Ihya’ Ulumiddin, yang sangat mempengaruhi jiwa dan kehidupannya, terutama sikap patuh pada hukum dan baktinya terhadap agama.
Muhammad Rasyid Ridha mulai mencoba menjalankan ide-ide pembaharuannya sejak beliau masih berada di tempat kelahirannya dan ketika berada di Suriah. Tetapi usaha-usahanya mendapat tantangan dari pihak kerajaan Utsmani. Kemudian beliau pindah ke Mesir dan tiba di sana pada bulan Januari 1898 M. Di Mesir inilah, beliau kemudian ketemu dengan Muhammad Abduh yang juga merupakan tokoh pembaharuan Islam. Walaupun sebelumnya sudah pernah ketemu, ketika Muhammad Abduh berada di pengasingan yaitu Beirut.
Salah satu gagasan pembaharuan Muhammad Rasyid Ridha adalah bidang pendidikan. Salah satunya dengan membentuk lembaga pendidikan yang bernama Al-Dakwah Wal Irsyad” pada tahun 1912 M di Kairo. Lembaga tersebut didirikan karena adanya keluhan-keluhan dari negeri-negeri Islam, diantaranya Indonesia, tentang aktivitas misi Kristen di negeri-negeri mereka. Untuk mengimbanginya, sekolah tersebut dipandang perlu mengadakan sekolah misi Islam.
Ide pembaharuan dalam bidang pendidikan Muhammad Rasyid Ridha adalah perlunya penambahan pelajaran ke dalam kurikulum, mata pelajaran seperti: teologi, pendidikan moral, sosiologi, ilmu bumi, sejarah, ekonomi, ilmu hitung, ilmu kesehatan, bahasa-bahasa asing dan ilmu mengatur rumah tangga (kesejahteraan keluarga), disamping fiqh, tafsir, hadits dan lain-lain yang biasa diberikan di Madrasah-madrasah tradisional.
Gagasan lainnya adalah upaya mewujudkan tafsir yang kontekstual. Muhammad Rasyid Ridha melihat perlu diadakan tafsir modern atau penafsiran modern dari Al-Qur’an yaitu tafsiran yang sesuai dengan keadaan zaman. Beliau kemudian menganjurkan kepada Muhammad Abduh yang merupakan guru sekaligus patnernya, supaya menulis tafsir modern tersebut. Tafsir tersebut kemudian terwujud melalui kuliah-kuliah tafsir yang dimulai pada tahun 1899 M, dan keterangan-keterangan yang diberikan oleh Muhammad Abduh dalam kuliahnya yang kemudian dikenal dengan Tafsir al-Manar.
Tafsir ini bersumber dari perkuliahan Muhammad Abduh tentang Tafsir Al-Qur’an yang disampaikan di Universitas Al-Azhar. Setelah Muhammad Abduh meninggal, tafsir belum selesai tersebut diteruskan oleh Muhammad Rasyid Ridha, dan diberi judul Tafsir Al-Qur’an Al-Hakim. Namun kemudian, kitab ini lebih populer dengan sebutan Tafsir Al-Manar yang pernah diterbitkan secara serial dan periodik.
Muhammad Rasyid Ridha adalah sosok pemikir reformis, dimana selain mewujudkan sebuah tafsir modern beliau juga pernah mengkritik praktek tasawuf yang baginya membawa kemunduran Islam. Beliau meninggal pada tanggal 23 Jumadil ‘Ula 1354 H, bertepatan dengan 22 Agustus 1935 M.