Rasulullah Saja Memerintahkan Bayar Pajak, Mengapa Kamu Justru Menolaknya?

Rasulullah Saja Memerintahkan Bayar Pajak, Mengapa Kamu Justru Menolaknya?

Rasulullah Saja Memerintahkan Bayar Pajak, Mengapa Kamu Justru Menolaknya?

Buat Apa Bayar Pajak Motor Kalau Prabowo Tidak Jadi Presiden ?? Masa saya harus bayar pajak ke pemerintahan rezim china ? #AyoHindariPajakMotor

Kalimat tersebut ditulis oleh seorang pemuda yang pernah memimpin organisasi kepemudaan berbasis agama yang cukup besar di negeri ini. Namun dari kalimatnya agak sulit memahami mengapa orang yang insyaallah mengerti agama justru melawan perintah Rasulullah SAW dalam mengelola negara.

Jika pemuda berinisial DAS tersebut pernah membaca kisah Rasulullah, tentu dia paham salah satu yang diperangi Rasul adalah mangkir dari pajak. Bahkan asbabun nuzul Alquran surat Al-Hujarat ayat 6 diawali dari peristiwa seorang sahabat bernama Walid bin Uqbah yang diminta Rasul mengambil pajak dari Bani Musthaliq.

Mendengar akan ada kunjungan dari utusan Rasul, Bani Musthaliq menyambut dengan antusias. Mereka menyiapkan penyambutan yang cukup meriah bagi Walid. Namun Walid melihatnya berbeda. Karena pernah mengalami konflik sebelum mereka masuk Islam, sambutan meriah yang dilakukan Bani Musthaliq malah dianggap sebagai ancaman terhadapnya. Belum sampai Walid bertemu dengan penduduk, ia langsung balik badan dan kembali ke Madinah.

Sesampai di Madinah, ia menceritakan kepada Rasul tentang keengganan penduduk setempat membayar pajak bahkan sampai melakukan ancaman. Untuk mengklairifikasinya, Rasul pun kemudian mengirim panglima terkuatnya, Khalid bin Walid, untuk melakukan investigasi terhadap pengakuan Walid tersebut. Apakah Bani Musthaliq benar-benar mangkir dari pembayaran pajak? Setelah diselidiki, ternyata terjadi kesalahpahaman antara Bani Musthaliq dengan Walid.

Pajak dan negara saling menopang satu sama lain. Pembangunan di sebuah negara tak bisa dijalankan kalau pajak tidak dibayar oleh warganya. Seruan tidak membayar pajak adalah sebuah kekeliruan besar baik dipandang dari segi hukum atau pun agama.

Apakah DAS tidak pernah belajar kaidah fikih yang mengatakan bahwa jika ada dua kemadharatan (bahaya) yang saling berhadapan, maka pilihlah salah satu yang paling sedikit efek buruknya bagi masyarakat?

Saya coba menggunakan logika DAS yang sangat menggebu-gebu dalam mendukung calon presiden tertentu.

Situasi A:

Jika Prabowo tidak jadi presiden adalah sebuah kemadharatan karena 44% masyarakat menginginkan dia jadi presiden

Situasi B:

Jika sebagian masyarakat tidak membayar pajak akan melemahkan negara yang menghamba rezim china

Sekarang coba kita pilah satu persatu.

Apakah benar jika Prabowo tidak jadi presiden madharatnya besar? Nyatanya 55% lebih masyarakat menginginkan lawan Prabowo sebagai presiden. Dari kacamata hukum siyasah atau ketatanegaraan, jelas memaksa Prabowo sebagai presiden adalah kemadharatan karena melawan hukum yang disepakati.

Kedua, apakah benar pemerintahan saat ini adalah pemerintahan rezim china? Lawan Prabowo adalah WNI, Islam, dan memiliki guru ngaji. Bahkan wakilnya adalah ulama yang memiliki garis keturunan hingga ke Syekh Nawawi Al-Bantany, salah satu ulama terkemuka di nusantara. Keislaman lawan Prabowo dan keindonesiaannya tidak diragukan. Sementara tuduhan bahwa lawan Prabowo adalah kacung china, aseng dan lain sebagainya adalah asumsi dan propaganda yang tidak pernah terbukti bahkan merupakan fitnah. Apakah kualitas seorang mantan pemimpin organisasi kepemudaan yang memiliki titel akademik begitu rendah sampai menggunakan hoaks dan fitnah sebagai dasar tuduhan?

Bulan puasa semestinya membuat umat Islam bersikap lebih berhati-hati. Sangat disayangkan jika tokoh muslim semuda itu yang semestinya memberi optimisme bagi masa depan bangsa justru menunjukkan teladan yang buruk bagi masyarakat luas. Ironisnya hanya karena politik lima tahunan. Apakah DAS menjamin bahwa yang didukungnya lebih Islam dari lawannya sehingga dia menuduh demikian? Wallahua’lam.

Yang jelas, saya hanya ingin berbagi cerita pada DAS dan orang-orang yang sepemikiran dengannya. Ketika penulis nyantri di sebuah pondok pesantren, salah satu kiai mengatakan haram bagi masyarakat untuk membeli barang black market. Kenapa? Karena barang BM menghindari pajak. Kemudian salah seorang santri bertanya:

“Kalau kita bayar pajak tapi dikorupsi bagaimana?”

Kiai sepuh tersebut menjelaskan menggunakan perspektif dua madharat seperti di atas.

Situasi A:

Jika bayar pajak, nanti uangnya dikorupsi

Situasi B:

Jika tidak bayar pajak, nanti negara hancur.

Mana yang lebih madharat, uang dikorupsi atau negara hancur? Tentu saja, kami bersepakat kehancuran negara lebih besar madharatnya.

“Ini perlu saya sampaikan agar kalian tidak menjadi warga negara yang menghancurkan tanah airnya sendiri”.

Begitulah ajaran yang selalu penulis ingat dari kiai yang tidak memiliki kepentingan pada dunia politik. Kewarasan berpikir memang suatu kemewahan di saat orang tidak lagi melihat Rasulullah sebagai teladan dalam menjalankan agama Islam. Orang lebih memilih menyalurkan syahwat duniawinya tanpa melihat kebaikan untuk semua orang. Naudzubillahi min dzalik. Semoga kita terhindar dari sikap angkuh yang menjauhkan kita dari ajaran agama sesungguhnya.