Pada bulan Dzulhijjah tahun 8 H, istri nabi, Mariyah melahirkan seorang bayi laki-laki. Memiliki anak laki-laki adalah kebanggaan bagi orang Arab, termasuk Nabi. Apalagi kedua anak laki-lakinya Qasim dan Abdullah meninggal di usia kanak-kanak.
Nabi memberitahukan para sahabatnya tentang kelahiran putera tercintanya itu dengan wajah sumringah. Bahagia nian perasaan beliau.
“Tadi malam aku dikaruniai seorang anak laki-laki. Aku memberinya nama Ibrahim, seperti nama kakekku.” (HR. Muslim, Abu Daud dan Ahmad)
Sebagaimana tradisi di Arab, Ibrahim disusui tidak oleh ibunya melainkan oleh Ummu Saif, istri Abu Yusuf.
Di tengah kesibukan, Nabi selalu menyempatkan diri menemui Ibrahim. Di saat umat Islam mulai memperluas pengaruhnya di dataran Arab dan sekitarnya, Nabi selalu menyempatkan diri untuk bermain dengan putera tercintanya.
Kebahagiaan terasa makin sempurna saat Ibrahim menginjak usia setahun lebih, kekuatan Islam semakin berkembang di Jazirah Arab hingga cukup disegani Kekaisaran Romawi. Orang dari berbagai daerah berbondong-bondong masuk Islam.
Kebahagiaan memiliki anak laki-laki yang akan meneruskan garis keturunan teramat istimewa. Tapi semuanya menjadi mengkhawatirkan saat Ibrahim jatuh sakit. Mariyah sangat sedih melihat anaknya terbaring tak berdaya.
Selang beberapa hari, tepatnya pada Selasa bulan Rabiul Awwal tahun 10 H, Ibrahim tutup usia. Dia meninggal pada usia 18 bulan. Usia ketika anak sedang lucu-lucunya, menggemaskan dan memikat hati.
Kesedihan pun kembali menghantam Nabi. Hingga pada saat ibrahim mendekati ajal, Nabi yang sudah tua harus dipapah oleh Abdurrahman bin Auf menuju rumah puteranya terbaring.
Diciumnya Ibrahim dengan penuh kasih sayang. Air mata menetes perlahan menandakan gemuruh hati karena duka mendalam.
Nabi kemudian mendekap Ibrahim di pangkuannya, beliau berkata “Ibrahim, kami tidak dapat menolongmu dari kehendak Allah yang Maha Kuasa.”
Mariyah dan adiknya, Sirin menangis tersedu-sedu di samping jenazah. Semua orang terlarut dalam kesedihan bersama Nabi dan keluarganya.
Melihat air mata Nabi bercucuran, Abdurrahman bin Auf berkata: “Engkau juga menangis Rasulullah?”
“Ini adalah tangisan kasih sayang,” jawab Nabi.
Dalam riwayat lain Nabi mengatakan:
“Mata boleh menangis dan hati boleh berduka. Kami tidak mengatakan kecuali apa yang diridhai Tuhan kami. Kami semua benar-benar berduka berpisah denganmu, Ibrahim.” (HR Bukhari Muslim)
Kaum muslim yang menyaksikan Nabi terisak-isak dan larut dalam kesedihan mendalam mengkhawatirkan kondisi Nabi. Mereka seakan ingin mengingatkan Nabi agar jangan menangisi orang yang sudah meninggal.
Akan tetapi kemudian beliau mengatakan:
“Aku tidak melarang orang berduka cita. Yang aku larang adalah menangis sambil menjerit-jerit dengan suara yang meraung-raung.”
“Apa yang kalian saksikan pada diriku saat ini merupakan akibat dari rasa cinta dan kasih sayang yang ada di dalam hatiku. Orang yang tidak dapat menunjukkan kasih sayangnya, ia tidak akan mendapatkan kasih sayang dari orang lain.”
Setelah melihat Mariyah dan Sirin teramat berduka, baru kemudian Nabi menguatkan dan menenangkan hati mereka.
Dari rumah duka, jenazah dibawa ke liang lahat dengan memakai ranjang kecil. Nabi meratakan tanah yang mengubur anaknya itu dengan tangannya sendiri. Nabi kemudian menitikan air mata sambil meletakkan sebuah tanda di atas makam.
“Tanda ini sebenarnya tidak membawa dampak baik atau buruk. Tapi ia akan menyejukkan dan menyenangkan hati orang yang masih hidup.”