Rasulullah, Perempuan Bersama Anjingnya dan Kisah Masjid

Rasulullah, Perempuan Bersama Anjingnya dan Kisah Masjid

Bagaimana melihat kasus seorang perempua memasukkan anjing di masjid dan kaitannya dengan kisah ini?

Rasulullah, Perempuan Bersama Anjingnya dan Kisah Masjid

Saya cukup sedih melihat komentar-komentar bernada SARA dalam unggahan video yang menampakkan seorang perempuan yang memasuki masjid dengan membawa seekor anjing. Di dalam video tersebut, si perempuan tampak dengan lantang menyebut dirinya sebagai “saya Katolik”.  Di dalam sebuah komentar, ada yang mengatakan seperti ini:

“Hari ini minoritas semakin berani semena-mena. Jangan sampai umat bertindak karena kemarahan.”

Tentu saja apa yang dilakukan si perempuan tidak dapat dibenarkan. Namun menggunakan peristiwa tersebut untuk menggeneralisir perbuatan suatu kelompok, tentu sebuah sikap yang keliru. Apakah kita bisa menjamin bahwa si perempuan benar-benar penganut agama tertentu? Jika iya, apakah si pelaku adalah penganut agama yang baik?

Dari jutaan pengikut suatu agama, selalu ada bagian-bagian yang disebut sebagai orang-orang yang tersesat. Islam sendiri mengenal beberapa konsep seperti dlolalah, zalim, munafik, fasik, dan lain sebagainya. Hal ini menunjukkan tidak semua orang bisa memiliki nikmat untuk mendapatkan kenikmatan beragama secara baik dan berperilaku rahmah. Ada banyak golongan yang merefleksikan agama dengan cara marah, alih-alih ramah.

Masjid adalah tempat suci. Tetapi yang membuat kesucian masjid itu terjaga adalah perilaku penghuninya. Ketika ada burung atau binatang lain membuang kotoran bahkan di tempat pengimaman, kesucian masjid tidak akan ternoda apabila para penghuninya langsung membersihkan. Apakah karena binatang tersebut membuang kotoran seenaknya membuat kita bisa leluasa untuk menyakitinya?

Begitu pula dalam menyikapi seorang perempuan dan anjingnya yang masuk ke dalam masjid tersebut. Kita tidak bisa melihat apa yang dilakukannya sebagai perilaku seorang penganut agama yang baik. Untuk menyikapinya pun semestinya dilakukan dengan cara-cara arif.

Rasulullah SAW mencontohkan ketika ada seorang badui yang tiba-tiba masuk ke dalam masjid dan kencing di dalamnya. Para sahabat yang melihat si badui kemudian siap mencabut pedang untuk menyakiti bahkan membunuh badui tersebut karena mengotori masjid.

Rasulullah menahan para sahabat dan meminta beberapa di antaranya untuk mengambil air dan membersihkan bekas kotorannya. Sementara si badui kemudian dipanggil dan diberi penjelasan bahwa masjid adalah tempat untuk beribadah. Untuk itu, setiap orang tidak diperkenankan untuk mengotorinya.

Sikap Rasulullah tersebut memberikan pelajaran bahwa untuk menyikapi orang yang tidak tahu adalah dengan cara memberi tahu dengan cara yang baik. Sebab esensi dakwah adalah mengajak dengan kebaikan. Inilah mengapa proses dakwah bukanlah proses instan yang bisa diketahui hasilnya dalam jangka waktu yang cepat.

Sayangnya kita terjebak pada sikap-sikap pembelaan terhadap agama dengan mengesampignkan aspek spiritualitas. Padahal inti dari agama adalah spiritualitas. Hadirnya Islam pada mulanya disebabkan hilangnya kehidupan spiritual dari masyarakat setempat di mana masyarakat dengan semena-mena membunuh bayi perempuan, mewariskan istri, melakukan perbudakan, dan lain sebagainya.

Agama hadir untuk menunjukkan cara hidup yang beradab ditandai dengan kehidupan sosial yang mengedepankan dialog, penerapan hak asasi manusia, dan penerapan prinsip-prinsip universal rahmatan lil’alamin, menjadi rahmat untuk seluruh alam.

Wallahua’lam.