Rasulullah Pembawa Rahmat, Bukan Pelaknat

Rasulullah Pembawa Rahmat, Bukan Pelaknat

Rasulullah Pembawa Rahmat, Bukan Pelaknat

Dalam al-Qur’an telah ditegaskan bahwa Nabi Muhmammad SAW adalah uswatun hasanah (panutan terbaik). Lantas, akhlak seperti apa yang perlu kita hidupkan di era saat ini?

Diriwayatkan dalam hadis shahih,  suatu ketika ada sahabat yang datang kepada Nabi Muhammad SAW untuk mengadukan kaum musyrikin yang mengganggu umat muslim. Sahabat tersebut meminta Nabi untuk mendoakan agar diturunkan laknat kepada kaum musyrikin. Sahabat itu berharap laknat ditimpakan kepada musuh mereka, mengingat doa Nabi adalah doa yang mustajabah.

Namun keinginan sahabat ini ternyata tidak terpenuhi.  Nabi Muhammad SAW tidak berkenan untuk memintakan laknat kepada Allah ta’ala untuk kaum musyrikin. Malah sebaliknya, Nabi menegaskan bahwa beliau diutus sebagai rasul bukan untuk menjadi tukang laknat.  Tetapi sebaliknya, diutusnya beliau adalah untuk menebar rahmat. Menebar kasih sayang untuk semesta alam.

Kisah ini terdapat dalam riwayat hadis shahih riwayat Imam Muslim (204-261 H):

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قِيلَ يَا رَسُولَ اللهِ ادْعُ عَلَى الْمُشْرِكِينَ قَالَ إِنِّي لَمْ أُبْعَثْ لَعَّانًا  وَإِنَّمَا بُعِثْتُ رَحْمَةً

Artinya:

Diriwayatkan dari Abi Hurairah ra., dimintakan kepada Rasulullah saw untuk melaknat orang-orang musyrik, maka Nabi menjawab: “Sesungguhnya aku diutus bukan untuk menjadi pelaknat, tetapi aku diutus untuk menjadi rahmat.” (H.R. Muslim)

Imam al-Nawawi (631-676 H) dalam kitab Syarh Shahih Muslim menjelaskan bahwa hadis di atas merupakan  bukti bahwa melaknat bukanlah kebiasaan seorang muslim. Sebaliknya, seorang muslim harus senantiasa menebar rahmat dan kasih sayang kepada sesama. Baik sesama muslim ataupun dengan pemeluk agama lain. Bahkan dalam teks hadis di atas, jelas ditunjukkan bahwa melaknat orang musyrik pun, Nabi Muhammad saw tidak berkenan.

Kisah ini merupakan sekelumit kisah kecil dari keteladanan Nabi. Hingga kini, contoh ini sangat relevan. Penting bagi kita selaku umat Nabi Muhammad untuk selalu mengingat suri teladan mulia ini. Momentum Maulid Nabi Muhammad saw tahun ini, mesti kita maknai sebagai momen introspeksi. Mengingat, dalam beberapa tahun terakhir, kita dihadapkan pada tantangan maraknya ujaran kebencian. Satu kelompok mudah menyalahkan kelompok lain. Satu majelis pengajian mudah membidahkan majelis lain. Sebagian kalangan lagi ada yang mudah menyalahkan kebijakan pemerintah. Lebih ironis lagi, sebagian gerakan ektremis mudah mengafirkan sesama saudara muslim. Ujungnya adalah menghalalkan harta dan darahnya. Jika kita pikir dengan nalar sehat, hal  ini tentunya sudah sangat jauh dari ajaran dan suri teladan dari Nabi Muhammad SAW.

Menjaga tutur kata

Dalam segi tutur kata, Nabi Muhammad SAW juga telah mencontohkan. Disebutkan bahwa karena ketepatan gaya bahasa yang dipilih, semua orang yang pernah bertemu dan berinteraksi dengan Nabi merasakan kedekatan. Hal ini tercemin dari keyakinan setiap sahabat merasa menjadi orang dekat Nabi. Tutur kata dan sikap Nabi membuat setiap orang yang berkomunikasi dengan beliau merasa dekat. Merasa dihormati dan dihargai.

Hal ini ditegaskan dalam al-Qur’an surat Ali Imran ayat 159, andaikata Nabi bersikap keras dan berhati kasar, niscaya orang yang diajak oleh Nabi akan lari menjauh. Mereka tidak akan terkesan dan berkenan untuk masuk Islam. Dakwah mestinya dimulai dengan hati yang lembut, serta ucapan yang santun. Bukan dengan perkataan yang isinya menyakiti atau merendahkan orang lain.

Tidak aneh jika dalam sebuah riwayat hadis shahih riwayat Imam al-Bukhari (194-251 H), nabi Muhammad menegaskan bahwa barang siapa yang beriman kepada Allah dan Hari Kiamat, maka hendaknya berkata dengan perkataan yang baik. Atau jika tidak bisa, maka sebaiknya diam. Inilah akhlak yang semestinya senantiasa diingat oleh masyarakat muslim.

Selain menjaga lisan, Nabi Muhammad saw juga mencontohkan agar selalu berbuat baik kepada orang lain. Ditegaskan bahwa sebaik-baiknya manusia adalah orang yang paling bermanfaat untuk orang lain. Sebaliknya, Rasulullah melarang keras untuk merugikan atau menyakiti orang lain. Baik dengan lisan ataupun dengan kedua tangan kita. Baik dengan ujaran kebencian ataupun dengan  menyebarkan isu yang kurang bertanggung jawab.

عَنْ جَابِرٍ رَضِيَ الله عَنْهُ قاَلَ سَمِعْتُ رَسُولَ الله صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ الْمُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ

Artinya:

Dari Shahabat Jabir ra., saya mendengar Rasulullah saw. bersabda: “Seorang muslim adalah seseorang yang orang muslim lain merasa aman (tidak terganggu) dari lisan dan tangannya.”(H.R. al-Bukhari)

Imam Badr al-Din al-‘Aini (885 H) dalam kitab ‘Umdah al-Qari, syarah kitab Shahih al-Bukhari menjelaskan bahwa hadis di atas memberi penegasan bahwa perilaku tidak menyakiti kepada sesama muslim merupakan bagian integral dari keimanan seseorang. Dalam artian, kuat lemahnya iman di lubuk hati dapat dilihat dari apakah ia terbiasa menyakiti orang lain dengan perkataannya atau tidak.

Menjaga persaudaraan

Selain menjaga sikap dan tutur kata, Nabi Muhammad SAW juga menekankan pentingnya menjaga tali persaudaraan. Baik antar sesama masyarakat muslim atau non muslim yang hidup di Madinah, Nabi terbukti telah menjadi pelopor dalam mengupayakan terjaganya tali persaudaraan. Piagam Madinah menjadi bukti fakta sejarah ini. Di mana perbedaan suku dan kepercayaan tidak menghalangi untuk bekerja sama dalam menjaga keamanan bersama. Bukan berarti lantas mengaburkan prinsip tauhid dan ajaran agama, Nabi dapat berhubungan baik dengan orang Yahudi Madinah. Tentunya dalam konteks hubungan sesama warga yang mendiami Madinah. Memiliki hak dan kewajiban bersama untuk menjaga keamanan.

Demikian halnya, Nabi sering sekali mengingatkan para sahabat untuk saling menghormati dan menjaga persaudaraan antar sesama muslim. Tidak diperkenankan antar sesama muslim untuk saling hasud, dengki, dan membenci. Tidak lain karena, hakikatnya, sesama muslim adalah saudara. Dalam riwayat hadis shahih riwayat Imam Muslim (204-261 H) dijelaskan:

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم لاَ تَحَاسَدُوا وَلاَ تَبَاغَضُوا وَلاَ تَجَسَّسُوا وَلاَ تَحَسَّسُوا وَلاَ تَنَاجَشُوا وَكُونُوا عِبَادَ اللهِ إِخْوَانًا

Artinya:

Dari Shahabat Abi Hurairah ra. berkata Rasulullah SAW: “Janganlah kalian saling mendengki, saling membenci, saling memata-matai, dan saling bersaing dalam penawaran jual beli. Adalah kalian semua sebagai hamba-hamba Allah yang bersaudara.” (HR: muslim)

Imam al-Nawawi (631-676 H) dalam kitab Syarh Muslim menyatakan bahwa hadis di atas tidak hanya sekedar melarang umat Islam untuk saling mendeki dan mencaci, tetapi juga melarang ragam tindakan yang dapat menyebabkan dan menyulut kedua perilaku buruk tersebut. Permusuhan dan memutus tali persaudaraan tidak lain adalah larangan agama. Karena hal ini akan menimbulkan ketidakharmonisan dalam hidup bermasyarakat.

Dari titik ini, dapat dipahami bahwa menjaga tutur kata dan mempererat tali silaturahim adalah akhlak mulia yang telah diajarkan dan dicontohkan oleh Baginda Nabi Muhammad saw. Di tengah maraknya ujaran kebencian dan permusuhan, bahkan aksi teror yang mengatasnamakan Islam, penting kiranya momentum Maulid Nabi 1441 H dijadikan sebagai titik pijak untuk introspeksi diri. Alangkah malunya jika kita mengaku sebagai umat Nabi Muhammad, tetapi perkataan dan perilaku kita menyimpang dari apa yang telah dicontohkan beliau.

Sudah waktunya, umat Islam dapat mengejawantahkan ajaran dan akhlak Nabi. Yakni menjauhi kebiasaan melaknat orang. Sebaliknya, kita berupaya menebar rahmat dan manfaat untuk sebanyak-banyaknya orang di sekeliling kita.

*Tulisan ini pernah dimuat di Buletin Muslim Muda Indonesia