Rasulullah Mengancam Pembunuh Non-Muslim

Rasulullah Mengancam Pembunuh Non-Muslim

Rasulullah Mengancam Pembunuh Non-Muslim

Untuk menilai kebenaran sebuah ajaran atau agama mestinya yang pertama kali diperhatikan adalah sumber agama tersebut. Sebab bisa jadi prilaku pengamal agama tidak mewakili seratus persen ajaran agama yang dianutnya. Oleh karenanya, sangat keliru jika sebagian orang menilai Islam sebagai agama teror lantaran tindak kriminal yang dilakukan oleh sekelompok orang yang mengatanasnamakan Islam.

Jika merujuk kepada ajaran Islam, pembunuhan dikategorikan sebagai dosa besar setelah syirik, baik yang dibunuh muslim maupun non-muslim. Dalam beberapa hal, pembunuhan memang diperbolehkan jika sesuai dengan aturan yang berlaku. Semisal, membunuh untuk menghukum (Qisas) atau membunuh karena kondisi perperangan.

Aturan ini berlaku untuk semua kalangan baik muslim ataupun non-muslim. Berati, diperbolehkan membunuh non-muslim apabila mereka membunuh orang Islam (aturan ini hanya berlaku untuk negara yang menerapkan hukum qisas) atau karena mereka memerangi umat Islam (kafir harbi). Seperti yang disebutkan dalam surat al-Baqarah ayat 190:

وَقَاتِلُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ الَّذِينَ يُقَاتِلُونَكُمْ وَلَا تَعْتَدُوا إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ

“Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah kamu melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.”

Ibnu al-‘Arabi dalam Ahkam Qur’an menjelaskan maksud dari kalimat wa la ta’tadu dalam ayat ini adalah orang kafir yang boleh dibunuh hanya mereka yang ikut berperang saja. Artinya mereka yang tidak ikut serta berperang tidak boleh dibunuh menurut pendapat sebagian ulama. Dalam konteks sekarang berati warga sipil non-muslim juga tidak boleh dibunuh meskipun dalam konteks perperangan. Andaikan dalam kondisi perperangan saja warga sipil tidak boleh diperangi, otomatis dalam kondisi damai tentu mereka juga tidak boleh dibunuh.

Di antara orang-orang yang tidak boleh dibunuh sekalipun dalam kondisi perperangan ialah:  perempuan, anak-anak, dan para pendeta. Hal ini sebagaimana yang diakatakan Ibnu al-‘Arabi:

ألا يقاتل إلا من قتل وهم الرجال البالغون، فأما النساء والولدان والرهبان فلا يقتلون

“Janganlah membunuh kecuali terhadap orang yang memerangimu. Orang yang boleh dibunuh di masa perperangan adalah  laki-laki dewasa. Adapun perempuan, anak-anak, dan pendeta tidak diperkenankan membunuhnya.”

Keterangan ini menunjukan bahwa betapa besarnya penghargaan Islam terhadap jiwa manusia. Orang kafir yang boleh dibunuh dalam masa perperangan adalah mereka yang memerangi umat Islam. Apabila orang Islam perang dengan Israel misalnya, maka non-muslim yang berada di Indonesia mestinya tidak boleh diperangi. Sebab mereka tidak terlibat memerangi orang Islam.

Pendapat ini diperkuat dengan hadis yang diriwayatkan al-Bukhari:

عن عبد الله بن عمرو عن النبي صلى الله عليه وسلم قال: من قتل نفسا معاهد لم يرح رائحة الجنة

“Dari Abdullah bin Umar dari Nabi SAW, ‘Siapa yang membunuh mu’ahad, maka dia tidak akan mencium bau surga”

Ibnu Muhammad al-Jaziri dalam  Nihayah fi Gharib Hadis mengatakan yang dimaksud dengan mu’ahad di sini adalah orang yang memiliki perjanjian dengan orang Islam untuk berhenti berperang selama masa yang ditentukan dan termasuk juga di dalam kategori mu’ahad ini  kafir dzimmi. Berdasarkan hadis di atas dapat dipahami tidak boleh membunuh non-muslim yang tidak memerangi orang Islam. Bahkan Nabi SAW mengancam pembunuh non-muslim tidak akan mencium bau surga jika orang yang dibunuhnya tidak ikut terlibat memerangi umat Islam.