Pada masa kecilnya, Rasulullah Muhammad dibesarkan bersama Halimah al-Sa’diyyah di perkampungan Badawi di luar kota Makkah. Dikirimnya Rasulullah pada usia anak-anak ke luar kota Makkah, dimaksudkan agar beliau terbiasa dengan cara berbahasa yang baik dari qabilah tempat Halimah Sa’diyyah bernaung.
Demikianlah cara orang Arab pada masa lalu di dalam mendidik anak-anak mereka. Keterampilan yang pertama kali diasah adalah keterampilan berbahasa. Keterampilan berbahasa tidak saja terkait dengan kesantunan serta kepekaan, tetapi juga mencakup keterampilan menalar dan membangun wawasan. Ketika Al-Qur’an diturunkan kepada beliau, kata-kata di dalam Al-Qur’an berisi gabungan kosa kata bahasa Arab yang berasal dari dialek-dialek suku yang ada di sekitar kota Makkah. Maka dari itu, Rasulullah mengatakan bahwa Al-Qur’an diturunkan dalam tujuh dialek bahasa Arab.
Mengikuti jejak Rasulullah, Ibu dari Imam Syafi’i mengirim Syafi’i yang berusia anak-anak ke perkampungan Bani Hudzail. Tujuannya adalah agar Imam Syafi’i terbangun keterampilan dan kepekaannya di dalam berbahasa. Sebagaimana ditulis di dalam sejarah etnografi bangsa Arab, Bani Hudzail dikenal sebagai suku yang paling tinggi cita rasa bahasanya.
Jauh dari negeri Arab, para ulama di Tanah Jawa sangat mengutamakan keterampilan berbahasa dengan penguasaan ilmu Nahwu dan shorof sebelum masuk ke dalam pengajaran disiplin lain dari ilmu-ilmu Islam. Maka dari itu, mereka mempersyaratkan penguasaan kitab Alfiyyah sebagai syarat untuk melanjutkan pembahasan Islam ke jenjang berikutnya.
Meskipun banyak kyai di Pulau Jawa (pada masa lalu) yang tidak pandai bercakap-cakap dengan bahasa Arab, banyak dari mereka yang mampu menulis kitab dengan menggunakan bahasa Arab yang luar biasa indah. Dapat disebut di sini antara lain Mbah Ihsan Jampes, Mbah Yai Fadhol Senori dan Mbah Yai Sahal Mahfudz yang tulisan-tulisannya di dalam bahasa Arab mampu bersaing dengan karya intelektual para sarjana asal Arab itu sendiri.