Kita akan menemukan banyak teladan mulia dari seorang Nabi Muhammad. Keluhuran pribadi Rasul SAW ini dapat dilihat dari kisah yang menggugah hati tentang respon Nabi Muhammad kepada penganut agama Nasrani.
Abd. Halim dalam buku Problem Solving ala Nabi menyebutkan, suatu hari, Tamim al-Dari, seorang penganut Nasrani baru saja datang dari negeri Syam. Di tangannya terdapat lampu minyak dan minyak zaitun lengkap dengan talinya. Melalui orang lain, Tamim menyuruh lampu minyak tersebut digantung di masjid Nabawi.
Beberapa saat kemudian, Nabi Muhammad keluar menuju masjid dan terheran-heran saat melihat masjid diterangi lampu.
“Siapa yang melakukan ini,” Nabi Muhammad bertanya dengan penasaran.
“Tamim al-Dari, wahai Nabi,” para sahabat menjawab.
Lantas, sikap Nabi Muhammad berikutnya sungguh mengejutkan. Tidak ada makian, tidak ada hujatan yang dialamatkan kepada Tamim. Bahkan Nabi Muhammad langsung mendoakannya, “Kamu telah menyinari Islam. Semoga cahaya Allah selalu menyinarimu di dunia dan akhirat. Seandainya saya punya anak perempuan niscaya akan kunikahkan dengan anakku.”
Sungguh sebuah penghargaan dan apresiasi yang sangat besar. Sebuah sikap yang dimiliki seorang pemimpin negara dan pemimpin umat yang menjunjung tinggi perdamaian. Narasi persaudaraan dan kerukunan antar umat beragama bukan isapan jempol belaka. Nabi Muhammad memberikan apresiasi setinggi-tingginya kepada orang yang mau meluangkan waktu dan hartanya demi hidupnya cahaya Islam, sekalipun dilakukan oleh mereka yang berbeda agama.
Inilah contoh perilaku yang sedang dibutuhkan rakyat Indonesia. Sikap saling menghargai, mengapresiasi, dan saling tolong menolong antar sesama warga negara, tanpa perlu memandang latar belakang agama, suku, dan golongan.
Bukankah kalimat “Seandainya saya punya anak perempuan niscaya akan kunikahkan dengan anakku” merupakan setinggi-tingginya penghargaan? Sejarah mencatat hanya segelintir sahabat yang mendapatkan kehormatan menikah dengan putri-putri Nabi Muhammad, seperti Sayyidina Usman bin Affan dan Sayyidina Ali bin Abi Thalib.
Kisah ini membuat saya teringat dawuh Gus Dur, “Tidak penting apa pun agama atau sukumu. Kalau kamu bisa melakukan sesuatu yang baik untuk semua orang, orang tidak pernah tanya apa agamamu.” Ternyata seorang Tamim al-Dari telah mengamalkan dawuh ini jauh sebelum Gus Dur lahir ke dunia. Sebuah kesinambungan sejarah yang sangat berkesan.
Pada akhirnya, sikap santun Nabi Muhammad ini berbuah manis, Tamim masuk Islam dengan sukarela pada tahun kesembilan Hijriyah. Sebuah metode dakwah yang tidak sedikit pun memakai ejekan sebagai peluru dan senjata tajam sebagai media. Bukankah kerelaan memeluk agama adalah sebuah prestasi terbesar dari dakwah yang dilakukan dengan mengedepankan sikap manusiawi? Nabi Muhammad hadir ke dunia untuk menyempurnakan budi pekerti yang mulia.
Seharusnya, pilihan mencontoh keteladanan jatuh kepada Nabi Muhammad, yang telah mengajarkan secara lengkap bagaimana hubungan dengan Allah, manusia, dan lingkungan sekitar. Sungguh dalam diri Nabi Muhammad terdapat budi pekerti yang luhur yang akan selalu lestari menjadi contoh bagi umat manusia sepanjang zaman.
Wallahu A’lam.