Rasa Mati: Tahan Uji dan Empati

Rasa Mati: Tahan Uji dan Empati

Rasa Mati: Tahan Uji dan Empati
Dalam sebuah hadits riwayat Imam Muslim diceritakan, suatu ketika Rasulullah Saw. Pernah ditanya seorang perempuan perihal ibunya yang meninggal dunia dalam keadaan masih menanggung puasa nadzar; apakah dia boleh mengqadha’ atas namanya.

Semua makhluk hidup pasti mati, akan tetapi apakah semua merasakan kematian? Pertanyaan ini timbul menyikapi peredaran video detik-detik orang mati yang kelihatan “cepat” sehingga terkesan enak atau seolah-olah tak berasa. Apa betul enak ataukah tetap merasakan sakit pada saat dicabut nyawanya?

Pertanyaan semacam ini tak bisa dijelaskan secara rasional maupun empiris sebab hanya orang yang sudah mati yang merasakan, sementara mereka tak dapat dikonfirmasi lagi. Terus siapa yang dapat menjelaskan? Tentu saja kitab suci, dan pengalaman Nabi yang sempat dicatat orang-orang terdekat beliau.

Dalam kitab suci Al-Qur’an dijelaskan, “Tiap-tiap jiwa merasakan kematian” (QS: al-Anbiya: 35). Pengalaman Rasulullah SAW di detik-detik akhir hayatnya juga dicatat sahabat yang sekaligus cucu beliau –al-Hasan r.a.–. Rasulullah SAW sempat mengutarakan rasa sakit jelang kematian: “ukuran rasa sakitnya dan kesusahannya sebanding dengan 300 tusukan pedang”.

Dengan demikian, setiap manusia pasti merasakan sakitnya kematian sekalipun caranya berbeda satu dengan yang lain, termasuk para Nabi. Atas dasar itu pula Syekh Muhammad Mutawalli as-Sya’rawi dalam “Tafsir Khawathir”-nya berpendapat: “Tak perlu membeda-membedakan kematian karena hakekatnya semua kematian itu baik. Kematian itu baik bagi orang saleh sebab mempercepat mereka untuk meraih janji-janji Allah. Begitu pula kematian itu baik buat para pegundal sebab memberikan kesempatan buat orang yang mati dan orang-orang yang hidup untuk merasakan kenyamanan dan terlepas dari gangguan kejahatan.

Oleh sebab itu jika ada orang yang menganggap keburukan atas kematian seseorang maka seharusnya dia mengaca diri: jangan-jangan dia sendiri yang buruk. Bukankan dalam kelanjutan QS. al-Anbiya: 35 itu Allah SWT berfirman, “Dan kamu uji kalian dengan kebaikan dan keburukan sebagai fitnah.” Artinya bukan saja yang buruk sebagai fitnah akan tetapi yang baik pun menjadi fitnah.

Ya, kita sebetulnya diselimuti fitnah. Miskin adalah fitnah buat orang kaya. Kaya raya juga fitnah buat orang miskin. Jahat adalah fitnah bagi orang saleh. Kesalehan juga fitnah buat orang-orang jahat. Kenapa begitu? Sebab Allah SWT bermaksud melakukan penilaian: Siapa di antara kita yang sabar dan tabah dengan kondisi dirinya yang mungkin sedang kaya atau sebaliknya sedang miskin: sedang menjadi orang saleh atau sebaliknya sedang menjadi orang jahat?

Jadi, kalau misalnya menganggap diri kita sebagai orang saleh, lalu ada orang jahat mati dan mengvonisnya sebagai golongan biadab, maka pada dasarnya kita belum lulus diuji Allah SWT. Kenapa begitu? Kita belum paham bahwa Allah SWT punya tujuan tertentu, yakni ingin membebaskan pengaruh kejahatan dalam kehidupan manusia: entah yang secara langsung dirasakan kita maupun orang yang mati itu.

Oleh sebab itu, sekiranya ada orang mati yang selama hidupnya tak shalat,  kemudian kita dimintai kesaksian: apakah orang mati ini baik? Maka jawablah: baik! Sebab dengan kematiannya itu Allah menetapkan jalan yang terbaik untuk yang bersangkutan dan untuk kita yang hidup. Justru kalau kita tak mau menjawab: baik! Sama halnya kita lebih memilih jahat sebab Allah SWT berkehendak baik dalam setiap peristiwa kematian.