Ada begitu banyak kosa kata antara Bahasa Indonesia dengan bahasa lain, Arab misalnya, yang secara pembunyian sama namun mengandung makna yang jauh berbeda. Malahan, antara Bahasa Indonesia dengan bahasa lokal seperti Bahasa Jawa juga bisa fatal jika tidak menimbang konteks penggunaannya.
Demikian halnya dengan Bahasa Al-Qur’an, sering saya dapati ekspresi beragam ketika menyimak mereka yang menartilkan QS. Yusuf ayat 87.
بَنِيَّ اذْهَبُوا فَتَحَسَّسُوا مِنْ يُوسُفَ وَأَخِيهِ وَلَا تَيْأَسُوا مِنْ رَوْحِ اللَّهِ إِنَّهُ لَا يَيْأَسُ مِنْ رَوْحِ اللَّهِ إِلَّا الْقَوْمُ الْكَافِرُون
Pada kata taiasū, umpamanya, saya mendapati tidak sedikit santri yang membacanya sambil malu-malu, dan ada juga yang mencampur bacaannya dengan sedikit tertawa geli, hingga yang paling ekstrim membacanya dengan langgam misuh dipadu dengan emosi memukau.
Maklum, adanya mereka masih dalam taraf sama sekali belum mengerti isi kandungan Al-Qur’an. Alih-alih mengenai konteks ayat, perihal makna kata pun terkadang masih kelewat awam. Maka, cukup wajar jika yang muncul dalam benak mereka justru homofon lintas bahasa atau sering disebut dengan false friend.
Contoh dari dalam negeri, orang-orang Mandailing biasa menyebut kata kelek untuk teman, sementara kata kelek dalam bahasa Jawa berarti ketiak. Tentu akan banyak contoh lain jika kita mau untuk saling memahami keragaman budaya kita. Meskipun hal ini menjadi keunikan tersendiri, adanya false friend ini menjadikan diksi-diksi yang bersangkutan lebih susah untuk diresapi.
Hal ini telah dibuktikan oleh Pascal Brenders dkk. dalam artikel mereka Word recognition in child second language learners: Evidence from cognates and false friends. Mereka (Brenders dkk.) menyatakan bukan hanya orang dewasa tetapi anak-anak juga mengalami hambatan ketika disuguhi dengan susunan kalimat yang mengandung false friend.
Memahami false friend berarti menerima bahwa kita sama namun berbeda, tidak memaksakan keragaman ini untuk diseragamkan, memaklumi dan menganggap setiap kita adalah setara.
Menyepadankan diksi kita hari ini dengan kata dalam Al-Qur’an untuk memaknainya adalah bentuk kegagalan memahami false friend. Kita meyakini bahwa Al-Qur’an shalih li kulli zaman yang setiap ajarannya pasti kontekstual. Akan tetapi menyepadankan kata dalam Al-Qur’an dengan diksi kekinian dan ke-di-sinian dalam bahasa kita sendiri justru melepaskan Al-Qur’an dari konteksnya.
Tidak sedikit orang yang entah saking takutnya dengan Covid-19 atau saking gambrengnya, mencari-cari kata corona dalam Al-Qur’an. Terus terang, kalaupun mau, saya juga bisa menukil dari Mufradat Alfadz al-Qur’an karya Raghib al-Asfahani untuk menjelaskan kata dengan bentuk madhi huruf qaf, ra’ dan nun. Saya berani jamin cocokologi yang saya buat akan terlihat lebih logis dan menyeramkan. Tapi, bukan itu poin saya, karena memang saya tidak mau.
Maka, dengan meriahnya mereka-mereka yang memamerkan fenomena cocoklogi virus Corona dalam ayat Al-Qur’an, sesungguhnya di saat yang sama telah terjadi sebuah ironi kebahasaan. Mengapa?
Pertama, kata corona dapat diartikan dengan qarn atau kaum pada suatu masa, bentuk jamaknya adalah qurun. Kita juga punya diksi kurun tetapi maknanya adalah peredaran tahun atau masa tidak merujuk pada kaum. Dalam Al-Qur’an kata qurun dan qarn banyak disebutkan untuk merujuk pada kehancuran kaum-kaum terdahulu.
وَلَقَدْ أَهْلَكْنَا الْقُرُونَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَمَّا ظَلَمُوا وَجَاءَتْهُمْ رُسُلُهُمْ بِالْبَيِّنَاتِ وَمَا كَانُوا لِيُؤْمِنُوا كَذَلِكَ نَجْزِي الْقَوْمَ الْمُجْرِمِينَ
Dan sungguh telah kami hancurkan kaum pada suatu masa sebelum kalian ketika mereka zalim dan datang kepada mereka utusan-utusan dengan berbagai penjelasan sementara mereka tidak hendak beriman. Demikian kami membalas kaum para pendosa. (Q.S. Yunus: 13)
وَكَمْ أَهْلَكْنَا مِنَ الْقُرُونِ مِنْ بَعْدِ نُوحٍ وَكَفَى بِرَبِّكَ بِذُنُوبِ عِبَادِهِ خَبِيرًا بَصِيرًا
Dan berapa banyak telah kami hancurkan kaum pada masa setelah Nuh. Dan cukuplah dengan Rabb-mu perihal segala dosa hamba-hambanya Maha Teliti lagi Maha Melihat. (Q.S.al-Isra: 17)
وَكَمْ أَهْلَكْنَا قَبْلَهُمْ مِنْ قَرْنٍ هَلْ تُحِسُّ مِنْهُمْ مِنْ أَحَدٍ أَوْ تَسْمَعُ لَهُمْ رِكْزًا
Dan berapa banyak telah kami hancurkan kaum pada suatu masa sebelum mereka adakah engkau melihat salah seorang dari mereka atau mendengar bisikan bisikan mereka? (Q.S. Maryam: 98)
ثُمَّ أَنْشَأْنا مِنْ بَعْدِهِمْ قُرُوناً آخَرِينَ # مَا تَسْبِقُ مِنْ أُمَّةٍ أَجَلَها وَما يَسْتَأْخِرُونَ
Kemudian setelah mereka kami ciptakan kaum pada suatu masa lainnya. Tidak ada satu umat pun yang dapat menyegerakan ajalnya, dan tidak pula menangguhkannya. (Q.S. al-Mu’minun: 42-43)
Sebagai kaum beriman, kita mendapat kabar turun-temurun bilamana sejumlah umat terdahulu dihancurkan karena dosa-dosa mereka. Kabar itu terus saja direproduksi untuk “edukasi” dini anak-anak, atau paling-tidak menjadi legitimasi sebagian kita dalam menuduh bencana sebagai azab Tuhan.
Dan, ya, tidak sedikit orang yang mengklaim bahwa kita memang telah melakukan banyak dosa, dan qurun kita akan hancur oleh Corona. Ngeri sekali, kita.
Kata corona juga bersinggungan dengan diksi al-iqtiran yang merupakan wujud menyatunya dua atau banyak sesuatu. Pun kata corona memiliki kaitan dengan kata qarin yang bermakna ikatan kuat antar person.
Ajaibnya lagi, ada seorang ustaz yang pada satu waktu ceramah keagamaan mengatakan bila Corona adalah konspirasi untuk menghancurkan persatuan umat Islam. Umat Muslim dilarang berkumpul bahkan untuk sekedar melaksanakan salat Jumat.
Saya pun lalu mencoba berpikir dengan logika si ustaz, apakah jangan-jangan para Zionis lebih ngalim daripada kita umat Muslim sampai-sampai mereka bisa menelisik akar kata qarn-qarin-qurun kemudian direfigurasi menjadi corona?
Betapa tidak, selain membuat virus, mereka juga meneliti secara seksama untuk sekedar memberi nama. Astaghfirullah!!! Covid-19 memang telah menjadi musibah yang mengancam kemanusiaan, bukan hanya negara Muslim yang terkena imbasnya.
Maka, kalau ada yang setuju kata qarn-qarin-qurun dalam Al-Qur’an disepadankan dengan kata corona, saya menduga bahwa pengetahuannya tidak jauh dengan para santri TPQ. Jadi, mari bersama-sama lafalkan wa lā taiasū, tertawa sedikit juga boleh.
BACA JUGA Brutalnya Netizen Menafsir Al-Quran dengan Cocoklogi Virus Corona ATAU Artikel-artikel Menarik Lainnya