Tarik-ulur dan pro kontra atas perpanjangan izin FPI atau Front Pembela Islam menjadi salah satu isu terhangat oleh publik belakangan ini. Mengingat banyak kasus intoleransi yang terjadi di berbagai daerah yang kerap dilakukan oleh FPI. Kerap kali mereka melakukan swepping yang meresahkan masyarakat setempat. Alih-alih dengan menggunakan legitimasi “amar ma’ruf nahi mungkar”.
Tentu saja legitimasi tersebut digunakan oleh FPI sebagai alat untuk melakukan klaim dan menyebarkan ketakutan. Kelompok-kelompok islam garis keras seperti FPI ini selalu menunjukkan wajah garangnya dalam berislam dan menjadikan ayat-ayat dalam islam ini menjadi sesuatu momok yang menakutkan.
FPI lahir pada tahun 1998 disaat gendang reformasi ditabuh. Dari kelahirannya, ormas tersebut banyak menyisakan persoalan terutama catatan merah kemanusiaan.
Padahal, peran serta fungsi FPI seharusnya sejalan dengan cita-cita negara Indonesia. Sementara mereka tidak mendukung proses demokratisasi, terwujudnya keadilan ekonomi, dan menjaga pluralitas negara.
Hal ini bisa dilihat pada tahun 2010 tercatat ada beberapa kasus pengerahan massa FPI untuk melakukan aksi yang cenderung mengandung unsur intimidasi kelompok lain. Ratusan massa FPI tercatat pernah melakukan penyerangan terhadap Jemaat Gereja Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) Pondok Indah Timur, Bekasi, Jawa Barat (Tempo.co 08/08/2010).
Kejadian pilu juga terjadi di Makasar, perselisihan antara kelompok jamaah Ahmadiyah dan FPI ini juga menjadi sorotan. Pasalnya, warga Jamaah Ahmadiyah beberapa kali menjadi sasaran empuk korban persekusi, intimidasi, hingga korban pengusiran (Tempo.co 29/01/2011). Bukan hanya itu, kaum minoritas pun seperti waria menjadi korban pengusiran dan persekusi oleh massa FPI di Purwokerto, Jawa Tengah (Nasional Tempo 26/07/2011).
Inilah sederet kasus kasus kekerasan dan intimidasi yang dilakukan oleh FPI. Hal ini sangat bertentangan dengan nilai-nilai keindonesiaan.
Tentu saja ini menjadi catatan tersendiri bagi pemerintah untuk menimbang dan melakukan kajian ulang terhadap ormas-ormas yang cukup meresahkan masyarakat.
Maraknya kasus kekerasan yang dilakukan FPI ini sangat tidak sesuai dengan gagasan Maqashid as-Syari’ah (hakikat dari tujuan syariat). Misalnya dalam konsep Maqashid as-Syari’ah yang pertama adalah Hifdzul Nafs, yakni segala hal yang berhubungan dengan keselamatan fisik warga masyarakat dari tindakan badani di luar hukum.
Dari konsep tersebut, kita dapat mengoreksi tindakan main hakim sendiri dan tindakan-tindakan yang kurang sesuai dengan syari’at islam. Kita tentu saja tidak bisa membenarkan tindakan main hakim sendiri dari sekelompok oknum yang tidak bertanggung jawab. Dari beberapa konsep Maqasid as-Syari’ah ini seharusnya menjadi pegangan dan jaminan bagi setiap orang untuk terjaga dari tindakan main hakim sendiri.
Dari sini, kita perlu merawat ingatan terhadap kasus-kasus krisis kemanusiaan yang dilakukan oleh FPI. Perlu banyak menimbang kembali untuk perpanjangan izin dan terdaftar sebagai ormas legal di Indonesia. Pasalnya, rapor merah yang dimiliki FPI menyisakkan banyak kasus kemanusiaan yang seharusnya tidak perlu terjadi dalam kehidupan beragama saat ini. Wallahua’lam.
Arief Azizy, Pegiat Islami Institute Yogyakarta.