Ramadhan, Tamu Agung yang Sering Dibegal

Ramadhan, Tamu Agung yang Sering Dibegal

Ramadhan, Tamu Agung yang Sering Dibegal
niat puasa

 

Ramadhan adalah Tamu Agung, semacam ‘utusan’ Allah untuk mengirim khazanah rahmat, ampunan dan pembebasan dari penderitaan. Ia mengunjungi orang-orang yang berpuasa sebagaimana seharusnya puasa, yakni orang yang benar-benar berlatih menjadi orang-orang yang bertakwa –   yang mengikuti perintah dan menjauhi larangan-Nya. Perintah dan larangan itu, secara ringkas adalah cara yang ditentukan Allah untuk manusia agar mereka merealisasikan hakikat penciptaannya: ‘sesungguhnya Aku tak menciptakan manusia/jin kecuali untuk beribadah kepada Allah,’ yaitu menjadi hamba.

Ramadhan adalah waktu atau masa yang memuat salah satu aturan yang ditetapkan Allah, yakni menyuruh manusia menahan keinginan-keinginan , minimal yang paling mendasar, makan, minum, seks. Ini adalah perlambang agar manusia mengendalikan hawa nafsunya yang bahkan paling halal sekalipun, setidaknya untuk sementara selama siang dan dalam sebulan saja.

“Halal” adalah hal-hal yang diperbolehkan dalam tata-aturan yang ditetapkan-Nya, dan karenanya, dalam tingkat tertentu, sesuatu yang halal adalah yang diridhoi oleh Allah. Oleh sebab itulah  Imam al-Ghazali membagi puasa dalam tiga tingkatan: puasa orang awam, khusus, dan khusus dari yang khusus. Ini berkaitan dengan level pengendalian yang dilakukan manusia selama berpuasa. Tetapi belakangan, bahkan pada level yang awam sekalipun kita banyak yang gagal. Puasa hanya menjadi ritual setahun sekali, memindahkan pemenuhan hasrat dari siang ke malam, tanpa menahan diri dari keinginan atau hal-hal yang sebenarnya tidak baik, atau setidaknya kurang baik.

Keinginan manusia itu nyaris tanpa batas. Dalam banyak tulisan ilmu sosial-ekonomi, kita telah bergeser dari era ‘produksi’ ke ‘konsumsi.’ Konsumsi pada dasarnya adalah pemenuhan hasrat dan kesenangan. Jadi, ringkasnya, segala sesuatu digerakkan oleh hasrat konsumsi. Maka, berlomba-lombalah orang memenuhi konsumsi yang tak kunjung habis. Ketika pasar tradisional sudah tak mampu lagi melayani hasrat konsumsi, orang bukannya menahan diri, namun justru membangun supermarket. Dan ketika supermarket pun kewalahan, maka berlomba-lombalah orang membangun mal dan supermal.

Perlahan tapi pasti hasrat konsumsi terus dikembangbiakkan – melahirkan waralaba-waralaba kecil yang menjamur hingga ke pelosok desa. Bahkan karena rakusnya orang pada hasrat dasar ini, sumber daya alam tak mampu lagi memenuhinya: maka diciptakanlah makanan-makanan sintetik, cepat-saji, makanan rekayasa genetik, dan seterusnya, demi memuaskan nafsu makan. Seolah itu belum cukup, orang lalu ramai-ramai melakukan aktivitas yang disebut “wisata kuliner,” bersenang-senang makan dan minum enak. Bahkan kedatangan Tamu Agung bernama ‘Ramadhan’ tak membuat orang sadar.

Ya, mereka mengikuti aturan tidak makan dan minum, namun hanya memindahkan waktu pemenuhan nafsunya dari siang ke malam, dan tak jarang dengan menu makanan yang jauh lebih lezat dan lebih banyak dibandingkan di luar bulan puasa.  Tak cukup dengan itu, di bulan ini muncul keinginan tambahan terutama menjelang hari raya idul filtri.

Lalu tiba-tiba muncul para pembajak: menciptakan ‘politisasi ramadhan’ – para politikus berjubah takwa dan alim, demi menarik hati konstituen, bukan demi mendapat ridho Allah. Hasrat kekuasaan tak peduli pada kedatangan Tamu Agung. Provokasi, caci-maki, dusta dan bahkan fitnah pun dengan mudah dijumpai di media sosial selama beberapa kali Ramadhan yang lalu. Bahkan Ramadhan dibegal oleh nafsu-kuasa manusia dengan cara mengkomodifikasikan Ramadhan menjadi alat promosi untuk mendapatkan manfaat duniawi.

Sekarang, misalnya, bayangkanlah tamu Ramadhan itu berwujud manusia yang diutus Tuannya untuk menemui manusia dan memberikan anugerah kepada orang-orang yang menjalankan perintah Allah untuk menahan diri. Namun sang Ramadhan justru menjumpai orang-orang yang hanya menggeser pencarian kepuasan dengan cara yang bahkan lebih mewah, menjumpai orang-orang yang menjual nama ‘Ramadhan’ demi hasrat dan keinginan akan kesenangan dan kekuasaan dunia.

Engkau bisa bayangkan betapa kecewanya sang Tamu Agung, karena bulan mulia dibajak demi hawa-nafsu, bukan demi mendapat anugerah Allah. Lalu, kepada siapa sang Tamu Agung Ramadhan mesti memberikan amanat rahmat, ampunan dan pembebasan dari Allah itu jika orang-orang tidak peduli pada Sang Pemberi Anugerah?

Barangkali tamu itu bahkan sejak hari pertama telah pergi dengan kecewa, pergi menemui hamba-hamba Allah yang mencintai-Nya, para Wali Allah, dan orang-orang yang ikhlas dan lurus dan berpuasa dan menahan diri dari seluruh keinginan yang selain Allah, lalu sang tamu agung itu menitipkan semua anugerah itu kepada mereka, para kekasih Allah, sebelum kemudian tamu agung itu diam-diam pulang kembali ke Tuhan, meninggalkan sekadar nama ‘bulan ramadhan’ kepada manusia yang sibuk menjual wadah ‘bulan ramadhan’ tanpa isi demi hasrat duniawi dan asyik memperturutkan hawa nafsunya . Mungkin, pada hakikatnya, tiada lagi ramadhan bagi sebagian manusia – sebab ‘mereka tiada mendapat apapun kecuali lapar dan dahaga.’

Apakah nanti kita termasuk yang akan membegal Tamu Agung itu? Wa Allahu a’lam

 

Mbah Nyutz, bisa ditemu di twitter @embahnyutz