Ramadhan, Pesantren Kilat, dan Pendidikan Anti Radikalisme

Ramadhan, Pesantren Kilat, dan Pendidikan Anti Radikalisme

Ramadhan, Pesantren Kilat, dan Pendidikan Anti Radikalisme

Datangnya bulan Ramadhan sudah ditunggu-tunggu oleh umat islam di seluruh penjuru dunia. Di bulan ini, Allah menjanjikan akan melipatgandakan amal ibadah hambanya. Oleh karenanya, banyak muslim yang memanfaatkan momen bulan Ramadhan untuk berlomba-lomba dalam hal kebaikan, baik meningkatkan spiritualitasnya maupun berakhlak baik kepada sesama.

Di bulan ini juga tidak lepas dari kegiatan tadarrus al-Qur’an. Di setiap mushala dan masjid banyak kita jumpai orang membaca al-Qur’an hingga larut malam. Tidak hanya orang laki-laki saja melainkan juga kaum perempuan turut andil dalam memeriahkan tadarus al-Qur’an. Tradisi lainnya yang identik dengan bulan Ramadhan ialah adanya kegiatan kultum di masjid atau mushola. Di Yogyakarta misalnya, setiap masjid dan mushala mengadakan kegiatan kultum sehabis subuh dan menjelang maghrib sembari menunggu datangnya adzan.

Jika di masjid dan mushala mengadakan berbagai kegiatan untuk memeriahkan bulan Ramadhan, sekolah dan pesantren juga tidak kalah menarik dalam mengadakan kegiatan. Di saat datang bulan Ramadhan, sekolah dan pesantren selalu mengadakan sekolah khusus agama Islam atau yang dinamakan pesantren kilat. Materi yang dipelajari di dalamnya menyangkut masalah dasar-dasar agama seperti fiqih, aqidah, dan sebagainya.

Kegiatan pesantren kilat juga memiliki tujuan tersendiri yakni meningkatkan pemahaman, penghayatan, dan pengamalan tentang ajaran agama Islam. Kedua, menerapkan dan mengamalkan ajaran Islam dalam kehidupan sehari-hari dalam rangka membentuk mental spiritual yang tangguh, kokoh, dan mampu menghadapi tantangan negatif yang datang dari diri pribadi maupun dari luar. Selain itu juga terdapat beberapa nilai yang terkandung dalam kegiatan pesantren kilat berupa adanya rasa kebersamaan dan kesederhanaan, adanya suasana kekerabatan dan kekeluargaan, dan adanya peningkatan pengalaman penghayatan ajaran agama Islam.

Pesantren kilat ini diperuntukkan bagi kalangan umum namun yang menjadi prioritas ialah anak-anak santri dan pelajar. Hal ini tidak lain untuk mencetak generasi muda yang penuh toleran dalam beragama, tidak mudah menyalahkan orang lain yang berbeda pendapat, dan mampu menjawab persoalan sosial keagamaan.

Di saat fenomena radikalisme sudah tumbuh seperti cendawan di musim hujan, kegiatan tadarus, kultum, dan pesantren kilat perlu untuk dilakukan secara massif. Kegiatan semacam itu akan memberikan pemahaman lebih mengenai ajaran agama Islam dan tidak kaku dalam memahaminya. Dengan cara semacam ini diharapkan nilai-nilai yang terkandung dalam ajaran agama bisa menginspirasi diri kita dalam hal peningkatan spiritualistas dan hubungan dengan orang lain dan terhindarkan dari sikap yang bisa merugikan orang lain.

Tumbuhnya radikalisme juga tidak lepas dari peran pendidikan kepada khalayak umum. Anak-anak kecil hingga dewasa diberikan ilmu Islam yang bisa menjerumuskan ke dalam sikap ekslusivisme agama sehingga membuat anak didik merasa benar sendiri, dan akan mudah menyalahkan orang lain yang berbeda dengannya. Model pendidikan semacam ini tidak mengantarkan anak untuk bisa lebih menghormati sesama melainkan akan menyebarkan kebencian yang menjadi cikal bakal perseteruan baik sesama umat Islam maupun warga negara.

Pendidikan yang mengarah pada kebencian dan ekslusivisme diri sendiri akan menyebabkan rasa tidak nyaman bagi yang lainnya. Misalnya HTI, yang sedang diproses akan dibubarkan oleh pemerintah, yang mengajarkan umat Islam untuk terus berpikir bahwa sistem demokrasi Indonesia tidak Islami dan harus diganti dengan negara Islam yang dipimpin oleh seorang khalifah. Pengajaran semacam ini akan mengusik orang lain yang bisa memicu timbulnya konflik.

Ada satu contoh lagi mengenai dunia pendidikan ajaran agama Islam yang mengarah ke ranah kekerasan. Dibanyak pengajian yang diadakan oleh laskar-laskar yang mengaku sebagai pembela Islam, mereka mengajarkan cara berdakwah dengan menggunakan kekerasan dibolehkan dalam agama. Seperti saat bulan puasa datang, mereka melakukan sweeping di warung makan yang buka pada siang hari dengan dalih agama. Sehingga terjadilah bentrok antar kedua pihak.

Konflik antar kedua belah pihak sudah menodai kesucian bulan puasa yang awalnya bisa digunakan untuk hal-hal positif. Padahal kita tahu bahwa baik Allah maupun Nabi Muhammad sesungguhnya menyukai keindahan, kelemah lembutan, tanpa ada kekerasan dalam agama. Dengan kejadian semacam itu seakan-akan agama hanya diambil parsial saja tidak melihat agama tersebut secara utuh.

Oleh karenanya, di bulan yang suci ini mari kita perbanyak belajar mengenai ajaran agama Islam melalui berbagai cara agar terhindar dari lubang radikalisme. Manfaatkanlah waktu satu bulan ini dengan kegiatan positif seperti memperbanyak mengaji, tadarus, belajar agama dengan ahlinya, dan sebagainya. Wallahhu a’lam.

Muhammad Mujibuddin, penulis adalah pegiat di Islami Institute dan Gusdurian Jogja