يَا مَنْ خَلَقَ فَسَوَّى، يَا مَنْ قَدَّرَ فَهَدَى، يَا مَنْ يَكْشِفُ الْبَلْوَى، يَا مَنْ يَسْمَعُ النَّجْوَى، يَا مَنْ يُنْقِذُ الْغَرْقَى، يَا مَنْ يُنْجِي الْهَلْكَى، يَا مَنْ يَشْفِي الْمَرْضَى، يَا مَنْ اَضْحَكَ وَاَبْكَى، يَا مَنْ اَماتَ وَاَحْيَى، يَا مَنْ خَلَقَ الزَّوْجَيْنِ الذَّكَرَ وَاْلأُنْثَى
Wahai Yang Menciptakan lalu Menyempurnakan, wahai Yang Menentukan lalu memberi hidayah, wahai Yang Menghilangkan petaka, wahai Yang Mendengar semua rintihan, wahai Yang Menyelamatkan yang tenggelam, wahai Yang Menyelamatkan yang binasa, wahai Yang Menyembuhkan yang sakit, wahai Yang Membuat orang tertawa dan menangis, wahai Yang Mematikan dan Menghidupkan, wahai Yang Membuat pasangan laki-laki dan perempuan.
(Do’a Jausyan Kabir, bait ke-41)
Membaca doa Jausyan Kabir menjadi salah satu rutinitas amalan menghidupkan malam Lailatul Qadr pada bulan Ramadhan di berbagai masjid di Iran. Tak terasa air mata mengalir begitu saja saat melantunkan bait demi bait dari doa ini. Sungguh indah dan penuh makna tiap bait doa ini, membuat saya semakin yakin akan keagungan Sang Pencipta. Biasanya, kita mengenal ada 99 nama Allah atau yang lebih sering disebut dengan asmaul husna. Namun doa Jausyan Kabir terdiri dari 100 bait yang berisi 1.001 asmaul husna. Doa ini merupakan untaian mutiara 1.001 asma Allah yang indah dengan sifat-sifat-Nya yang agung.
Suara lantunan maddah (pembaca doa) mendayu-dayu mengalun hingga ke pelataran masjid. Para jamaah duduk berjam-jam dengan sabar. Sesekali suara isak tangis terdengar. Anak-anak berebut membagikan kurma dan gula-gula. Itulah suasana syahdu yang selalu dinanti warga Iran pada malam-malam terakhir bulan Ramadhan.
Namun ada yang berbeda pada Ramadhan tahun ini. Ya, karena covid-19 sedang melanda dunia. tak terkecuali di Iran. Masyarakat di seluruh penjuru dunia pun sedang berjuang keras untuk mengatasinya. Kita dianjurkan untuk menjaga jarak sosial dan menghindari berbagai kerumunan. Termasuk dalam soal ibadah. Pilihan ibadah di rumah menjadi bagian yang tak bisa dihindari.
Di Iran sendiri, sejak pemerintah setempat memberlakukan pembatasan aktivitas sosial, berbagai kegiatan ritual seperti shalat jamaah dan shalat Jumat dihentikan sementara. Bahkan untuk mencegah penyebaran virus corona ini, situs-situs ziarah yang dianggap paling suci di Iran seperti makam Imam Ali Ar-Ridha di Mashhad dan makam Sayidah Maksumah di Qom ditutup untuk sementara waktu. Keputusan yang cukup berat, mengingat dua situs ini tak pernah tutup pada kondisi perang sekalipun.
Pada bulan suci Ramadhan seperti sekarang ini, kerinduan untuk mengikuti acara-acara keagamaan, tentu semakin kuat. Rindu beribadah di masjid, sholat berjamaah, tadarus Al-Quran, doa dan zikir bersama, itikaf, mendengarkan ceramah, mengikuti kajian, ziarah kubur, buka bersama dengan keluarga atau teman-teman, dan sebagainya.
Sekali lagi, perang melawan covid-19 memang memerlukan kekompakan seluruh elemen masyarakat. Para ulama di Iran yang biasanya dikenal cukup tegas dalam penerapan ritual keagamaan, kini berdampingan dengan tim medis menganjurkan warga untuk tetap beribadah di rumah, selama masa pandemi, termasuk berbagai ritual di bulan Ramadhan. Bahkan, salah seorang ulama Isfahan, mengeluarkan fatwa yang cukup tegas: “Barang siapa yang tidak peduli dan menyebabkan virus ini menyebar luas, maka ia telah melakukan hal yang haram dan perbuatannya dihitung sebagai dosa!”
Meskipun masjid-masjid untuk sementara waktu tidak menyelenggarakan kegiatan keagamaan yang sifatnya masal, tetapi beberapa aktivis masjid, dengan tetap mengindahkan protokol kesehatan, melakukan penggalangan dana serta menyalurkannya kepada warga yang kurang mampu. Selama masa pandemi ini, banyak warga yang terkena imbas ekonomi langsung. Ternyata gerakan tersebut mendapat perhatian dari Ayatullah Khamanei. Pemimpin tertinggi di Iran ini memuji sekaligus juga menghimbau untuk lebih meningkatkan kegiatan serupa selama bulan Ramadhan, sebagai bulan amal.
Tak perlu waktu lama. Masjid-masjid dan rumah ibadah di berbagai wilayah Iran segera beralih fungsi menjadi rumah sosial. Puluhan sajadah terbentang yang biasanya diisi para jamaah shalat, kini berisi paket bingkisan yang siap diberikan kepada warga yang membutuhkan. Di beberapa masjid yang ukurannya cukup luas dan memungkinkan, digunakan juga untuk produksi (iya, produksi!) alat-alat kesehatan, seperti: membuat masker, alat pelindung diri (APD), hand sanitizer, sarung tangan, dan cairan disinfektan. Meskipun skala produksinya kecil, tetapi karena dilakukan secara serentak di hampir semua wilayah, pengaruhnya cukup terasa.
Alhamdulillah, sebagai pelajar asing yang tinggal di kota Qom, gerakan ini juga cukup saya rasakan manfaatnya. Terutama bersamaan dengan datangnya bulan Ramadhan. Sering kali pintu rumah kami diketuk dan berbagai bantuan mengalir mulai dari yang memberikan alat-alat kesehatan, paket sembako, maupun takjil atau makanan berat untuk iftar dan sahur. Selama masa pandemi, saya hampir tak pernah membeli masker maupun berbagai alat pelindung kesehatan lainnya.
Kesyahduan dan keindahan bacaan doa Jausyan Kabir memang tak lagi semarak terdengar dari masjid-masjid, seperti Ramadhan tahun-tahun sebelumnya. Tetapi, ada kebaikan lain yang akan selalu kami kenang. Kebaikan untuk sama-sama saling menjaga diri agar covid 19 tak semakin menyebar. Kebaikan saling berbagi yang sama pentingnya dengan ibadah ritual lainnya. Semoga pandemi ini segera berakhir dan semoga amalan-amalan kita di bulan Ramadhan ini diterima oleh Allah Swt. [rf]