Berhijab dan berjilbab dengan gaya mewah, pergi umrah plus, mengikuti jemaah pengajian berkelas di televisi, serta rajin sedekah ke panti asuhan yatim piatu, adalah fenomena lazim muslim perkotaan yang muncul sejak lima tahun terakhir. Kesalehan seperti ini, sudah dari dulu menjadi ciri khas bagi muslim kota.
Namun fenomena tersebut menjadi menarik ketika bulan Ramdhan tiba. Jumlahnya meningkat drastis. Hampir 24 jam kita mencium bau islami. Mulai dari pengajian di radio, di tv—baik yang kompetisi dakwah maupun hafalan al-Qur’an—dimana-mana orang jualan busana muslim/muslimah, begitu juga jumlah orang yang pergi umroh meningkat tajam. Ramadhan seakan menjadi bulan yang menawarkan produk ataupun jasa yang dapat dinikmati oleh banyak orang.
Tidak hanya itu, pasar kelas menengah muslim pun semakin menggeliat ketika bulan puasa tiba. Mulai dari produk makanan, minuman, baju, dan lain-lain. Kebutuhan akan berbagai produk dan jasa kesalehan modern pun berjibun hingga Hari Raya Idul Fitri.
Mal-mal dan pusat-pusat perbelanjaan mulai bersolek dan menawarkan berbagai program-program belanja untuk menarik perhatian konsumen. Hotel-hotel juga memberikan berbagai paket khusus spesial Ramadhan; mulai dari paket buka puasa bersama sampai sahur bersama. Semakin mendekati lebaran, permintaan produk terkait keperluan transportasi untuk mudik kian tak terbendung.
Gairah keberagamaan juga bisa kita lihat dengan semakin maraknya perempuan yang mengenakan jilbab. Dengan menggunakan trademark baru yang bernama hijab (dulunya kerudung/jilbab), kini perempuan muslimah Indonesia tidak malu-malu lagi bergaya dengan pakaian hijabnya. Bagi mereka, hijab bukan sekadar alat yang menutup aurat, namun sudah menjadi bagian dari gaya hidup muslimah masa kini. Seharusnya mengenakan hijab bagi muslimah mewujud dalam pribadinya. Bukan hanya berfungsi sebagai penghias diri bagian luar saja.
Mengapa hal itu terjadi? menurut Wasisto (2016) dalam Politik Kelas Menengah Muslim Indonesia, bahwa kelas menengah Muslim Indonesia sedang membangun identitas baru dalam beragama. Fenomena-fenoeman yang terjadi di atas, adalah sebuah identitas kesalehan yang sifatnya mudah, dapat menjadikan ‘suci’ atau ‘lahir kembali’ bagi pemilik/penggunanya, dan terpenting, hal ihwal tersebut menjadi pembeda dengan kelas sosial lainnya yang hadir di masyarakat luas.
Sejatinya, ada banyak cara bagi seseorang untuk menghadirkan kesalehan ke tengah publik modern. Salah satunya adalah dengan sering muncul di tempat-tempat pengajian yang berkelas bersama para artis sinetron ataupun ustadz tersohor. Tentunya dengan didampingi bintang iklan produk-produk kecantikan, pakaian, minuman, ataupun makanan suplemen lainnya.
Ekpresi atau perilaku seperti inilah dalam bahasa kelas menengah Muslim, semua itu dilakukan dengan argumen bahwa kesalehan tidak harus miskin. Kesalehan tidak harus anti belanja. Dan juga kesalehan tidak identik dengan kekumuhan yang menyebalkan. Bagi kelas menengah Muslim, kesalehan itu juga belanja, mewah, serta mewujudkan kebahagiaan dunia.
Momentum di bulan suci inilah yang seharusnya dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk meningkatkan amal ibadah, bukan hanya perkara asesoris/simbol. Akan tetapi, bulan Ramadhan dapat menjadi momentum ikut merasakan penderitaan sebagaimana yang dialami oleh fakir miskin yang tidak bisa makan, serta ujian dalam menahan hasrat nafsu duniawi. Dengan begitu, Ramadhan menjadi bulan untuk mendekatkan diri kita kepada Tuhan, bukan malah kita menuhankan Ramadhan. Wallahhu a’lam.
Arief Azizy – Mahasiswa Psikologi UIN Suka serta Pegiat Literasi Pramoedya Ananta Toer Blora, Alumnus Madrasah TBS Kudus.